Memasuki dekade kedua abad ke-21 ini, planet bumi benar-benar telah mengalami krisis ekologi. Utamanya krisis iklim, yang kemudian memicu terjadinya pemanasan global, naiknya permukaan laut, hujan ekstrem, berikut banjir, tanah longsor, kekeringan, dan kebakaran. Berbagai macam bencana ekologis ini, satu atau lebih di antaranya bisa mendera kita sepanjang tahun dengan intensitas yang beragam.
Krisis ekologi ini, akibat dari sepak terjang mahluk bernama manusia, yang oleh Tuhan sendiri justru didamba-damba menjadi khalifah-Nya di muka bumi ini. Sebagaimana dialog Tuhan dengan para malaikat-Nya, dalam Surat Al-Baqarah ayat 30 berikut.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الأرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.'” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan menyucikan Engkau!” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 30).
Aktivitas yang merusak bumi inilah yang dikhawatirkan para malaikat. Walaupun begitu, tentu Allah subhanahu wa ta’ala lebih mengetahui tujuan dijadikannya manusia sebagai khalifah. Menurut Abu Hayyan Al-Andalusy dalam al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir Jilid 1 (1420 H), ada dua tugas yang emban khalifah. Pertama, memutuskan hukum di muka bumi ini berdasarkan pada kebenaran dan keadilan. Kedua, mengelola bumi (‘imaratul ardli), dengan menanam di atasnya dan memetik hasilnya, serta melakukan pembangunan.
Baca Juga: Tafsir Surah Al-Anbiya’ Ayat 107: Memaknai Rahmatan Lil Alamin Menuju Alam yang Lestari
Jika dalam proses pembangunan lalu menimbukan krisis lingkungan, maka manusia belum bisa merepresentasikan khalifah yang ekologis sebagaimana diidealkan Alquran. Maka dari itu, Kiai Sahal Mahfudh dalam bukunya Nuansa Fiqih Sosial (1994) tepatnya di bab Kontekstualisasi Al-Qur’an, menegaskan kembali bahwa khalifah memang diberi wewenang, tapi sekaligus menjadi beban (taklif) yang niscaya diembannya, yakni ‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli.
Di mana manusia sebagai hamba (‘abdu) mendapat keharusan untuk beribadah dan menghambakan diri semata kepada Tuhan. Sebagaimana diserukan dalam Alquran yang berbunyi “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka menyembah-Ku” (terjemahan QS. Adz-Dzariyat [51]: 56). Menurut penafsiran Kiai Sahal, aktivitas ibadah ini menjadi tugas pertama yang kudu dilaksanakan, namun butuh sarana yang mendasar untuk mencapai kualitas ibadah, yakni berupa ‘imaratul ardli.
Di mana konsepsinya berangkat dari Surat Hud ayat 61 berikut.
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ هُوَ أَنْشَأَكُمْ مِنَ الأرْضِ وَاسْتَعْمَرَكُمْ فِيهَا فَاسْتَغْفِرُوهُ ثُمَّ تُوبُوا إِلَيْهِ إِنَّ رَبِّي قَرِيبٌ مُجِيبٌ
Dan kepada Samud (Kami utus) saudara mereka. Saleh. Saleh berkata, “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagi kalian Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kalian dari bumi (tanah) dan menjadikan kalian pemakmurnya. Karena itu, mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (doa hamba-Nya).” (QS. Hud [11]: 61)
Dalam Tafsir al-Maraghi Jilid 12 (Al-Maraghi, 1365 H), memotret kisah Nabi Shalih ini sebagai nasehat dan pelajaran bersama. Di mana Allah telah menjadikan kaum Tsamud sebagai pemakmur bumi dengan pertanian dan pembangunan yang maju. Atas karunia kenikmatan di bumi ini, maka sudah sepantasnya mereka bersyukur dengan menyembah Allah.
Menurut pandangan Kiai Sahal, dari ayat di atas ini kemudian mewujud paradigma ‘imaratul ardli, yakni mengelola dan memelihara bumi. Dalam arti, sebuah proses yang terus menerus diupayakan sepanjang hidup. Justru upaya merawat bumi ini menjadi sarana mendasar untuk menjalankan tugas pertama, berupa ‘ibadatullah. Lebih jauh lagi, menjadi sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat (sa’adatud darain).
Begitulah Kiai Sahal dala mengkonsepsikan, bahwa menjadi khalifah itu mengemban tugas ganda berupa‘ibadatullah dan ‘imaratul ardli. Bahkan ia menyebut sampai enam kali dalam bukunya, setiap kali menyinggung tugas kekhalifahan manusia di muka bumi. Karena menurutnya, antara aktivitas ibadah dan merawat bumi, keduanya saling menopang satu sama lain.
Baca Juga: Tafsir Surat An-Nisa Ayat 1: Benarkah Hawa Tercipta dari Tulang Rusuk Nabi Adam?
Kita misalkan saja, ibadah sholat memerlukan ruang hidup yang bersih sebagai tapak sujud. Lalu dalam berwudhu sebelum sholat, juga membutuhkan air yang suci. Dari sini konkret sekali, bahwa aktivitas ibadah kita sehari-hari selalu berkaitan erat dengan sumber-sumber agraria. Sehingga dari interaksi yang sudah cukup panjang, ibadah kita telah menjadi bagian dari ekosistem, antara manusia dan lingkungan hidup.
Makanya, timbulnya krisis ekologi ini menjadi tantangan dalam keberagamaan kita. Bila bencana itu datang mendera kita, tentu saja aktivitas ibadah sedikit banyak akan terganggu. Pada akhirnya, konsepsi Kiai Sahal yang berangkat dari penafsiran Alquran, yakni mewujudkan masyarakat ibadah dan masyarakat ‘imarah, semakin relevan sekaligus mendesak untuk diperjuangkan.
Jadi, dari kesibukan ibadah kita, semakin menumbuhkan semangat juang untuk melestarikan lingkungan. Bersama-sama menjaga lanskap hutan dan pegunungan dari ekspansi tambang dan perkebunan yang dirasa eksplotatif, juga menjaga sungai, lahan dan ruang-ruang hidup di sekitar kita dari perampasan, pencemaran serta kerusakan. Dan kesemuanya ini dalam rangka menjalankan tugas khalifah yang mulia dan ekologis. Semoga.