BerandaTafsir TematikTujuan Diciptakannya Hidup dan Mati menurut Al-Quran

Tujuan Diciptakannya Hidup dan Mati menurut Al-Quran

Kesengsaraan atau kehampaan yang dirasakan seseorang dalam menjalani hidup kadang mengantarkannya kepada sebuah pertanyaan, untuk apa Allah menciptakan hidup? Mengapa manusia dihidupkan dan seakan dipaksa menjalani takdir hidup yang tak dikehendaki pelakunya? Mengapa manusia tidak selamanya mengalami hidup, atau selamanya mengalami mati? Jawaban-jawaban tersebut dapat ditemukan salah satunya di dalam Al-Quran. Al-Quran menyinggung tentang hidup dan mati di dalam beberapa ayat. Salah satunya di dalam Surat Al-Mulk ayat 2. Di ayat tersebut, Al-Quran menjelaskan hikmah diciptakan hidup. Berikut bunyi firman Allah beserta komentar beberapa pakar tafsir tentangnya.

Baca juga: Inilah 3 Kiat-Kiat Agar Kita Selalu Bersyukur dalam Menjalani Kehidupan

Hikmah Diciptakannya Kehidupan

Allah berfirman:

اَلَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Yaitu yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dia Mahaperkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al-Mulk [67]}

Menurut Imam Ibn Katsir, makna menciptakan mati dan hidup di ayat di atas adalah, menciptakan manusia dari ketiadaan. Ketiadaan yang di alami manusia sebelum memiliki kehidupan disebut juga oleh Al-Quran sebagai kematian. Hal ini sebagaimana yang disinggung di dalam ayat yang berbunyi (Tafsir Ibn Katsir/8/176):

كَيْفَ تَكْفُرُوْنَ بِاللّٰهِ وَكُنْتُمْ اَمْوَاتًا فَاَحْيَاكُمْۚ ثُمَّ يُمِيْتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيْكُمْ ثُمَّ اِلَيْهِ تُرْجَعُوْنَ

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu (tadinya) mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia akan mematikan kamu, Dia akan menghidupkan kamu kembali, dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan? (QS. Al-Baqarah [2] 28)

Selanjutnya Ibn Katsir menyatakan, berdasar Al-Quran, hikmah dari manusia mengalami hidup setelah sebelumnya mati, adalah agar sebagai ujian bagi mereka sehingga dapat diketahui mana dari mereka yang paling baik amalnya. Ibn Katsir kemudian mengutip ucapan Muhammad ibn ‘Ajlan, bahwa di ayat tersebut Allah tidak berbicara tentang yang paling banyak amalnya dengan memakai redaksi aktsaru (yang paling banyak), melainkan memakai redaksi ahsanu (yang paling baik). Lewat kutipan ini seakan akan-akan Ibn Katsir hendak menunjukkan, bahwa yang diminta dari sebuah amal bukanlah kuantitasnya, tapi kualitasnya sebagai sebuah kebaikan (Tafsir Ibn Katsir/8/176).

Baca juga: Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

Imam Alusi menyatakan, makna dari amal terbaik adalah amal yang paling benar dan paling ikhlas dilaksanakan. Hal ini nantinya menjadi pertimbangan diberikannya balasan sesuai dengan berbeda-bedanya kadar kebaikan yang dilakukan. Selain itu, amal tersebut juga mencakup hati dan anggota tubuh (Tafsir Ruhul Ma’ani/21/118).

Imam Ar-Razi mengingatkan, bahwa jangan memahami tindakan menguji di dalam ayat di atas sebagaimana lumrahnya ujian di dunia. Dimana si penguji masih belum mengetahui hasil ujian tersebut, sehingga seakan-akan Allah tidak mengetahui kelak manusia yang paling baik amalnya. Tidak mungkin Allah tidak mengetahui mana manusia yang kelak menjadi manusia terbaik. Istilah menguji di Surat Al-Mulk ayat 2 di atas hanyalah kiasan bagi kehendak Allah yang seakan akan seperti ujian bagi manusia (Tafsir Mafatihul Ghaib/15/396).

Penutup

Berbagai uraian di atas menunjukkan kepada kita, tujuan dari manusia diberi kehidupan adalah agar dapat diketahui mana dari mereka yang paling baik amalnya. Menurut Wahbah Az-Zuhaili, hal ini sekaligus menunjukkan bahwa Allah maha kuasa dalam menciptakan hidup dan mati dan menjadikan manusia berakal sehingga mampu mencerna tujuan dibebankannya syariat Islam kepada mereka (Tafsir Munir/29/6).

Bila Allah kuasa memberikan kehidupan kepada manusia setelah sebelumnya mati (tiada), tentu Allah kuasa membuat manusia mati kembali dan memberikan kehidupan kedua di akhirat. Selain itu, dengan diberikannya akal pada manusia, Allah memberi mereka kesempatan untuk berusaha. Hal ini secara tidak langsung mendorong kita untuk saling berkompetensi melakukan amal yang terbaik. Sebelum kemudian memperoleh balasan yang terbaik pula, sebab Allah sudah berjanji memberi balasan berdasar amal yang dilakukan hambanya.

Baca juga: Pengertian Kata Syukur dan Penggunaannya dalam Kehidupan Sehari-hari

Dalam beramal, kita juga tidak boleh terpaku pada seberapa banyak jumlah amal yang kita lakukan. Kita juga harus memperhatikan kualitas amal tersebut. Misalnya, sudahkah sekian banyak harta yang kita shadaqahkan, kita shadaqahkan ikhlas karena Allah ta’ala? Sehingga kemungkinan diterimanya amal lebih besar dari ditolaknya? Wallahu a’lam bishshawab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...