Akhir-akhir ini, banyak lembaga sosial menawarkan pengelolaan pembayaran fidiah puasa menggunakan makanan siap saji. Mekanismenya adalah bahwa orang yang bayar fidiah menyerahkan uang (taukil) pada lembaga sosial dan kemudian lembaga sosial mengelola dan membagikan fidyah ke orang miskin dalam bentuk makanan siap saji.
Penawaran ini tentu saja cukup mengagetkan, mengingat orang-orang Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafi’iyah selama ini hanya mengenal pembayaran fidiah menggunakan beras atau makanan pokok sebesar satu mud (tujuh ons). Lantas, bagaimana pendapat para ulama lintas mazhab mengenai persoalan ini dan bagaimana jalan pengambilan hukum dari nasnya (QS. al-Baqarah: 184)?
Perselisihan Para Ulama Lintas Mazhab tentang Alat Bayar Fidiah
Para ulama berselisih pendapat mengenai persoalan ini. Menurut al-Zuhaili (w. 2015) dalam Fiqh al-Islam wa Adillatuhu (2: 687), mayoritas ulama berpendapat bahwa alat bayar fidiah adalah hanyalah satu, yaitu satu mud dari makanan pokok yang dominan di suatu daerah sedangkan ulama Hanafiah memperbolehkan alat bayar fidyah menggunakan sesuatu yang senilai (qimah) dengan setengah sho dari gandum (1,9 kg).
Baca Juga: Isyarat Alquran tentang Tanggung Jawab Sosial
Di bagian lain dari kitabnya (2:909), al-Zuhaili menjelaskan bahwa qimah bukan hanya uang, tetapi bisa pula barang-barang lain.
دَفْعُ الْقِيْمَةِ عِنْدَهُمْ: يَجُوْزُ عِنْدَ الْحَنَفِيَّةِ أَنْ يُعْطِيَ عَنْ جَمِيْعِ ذَلِكَ الْقِيْمَةَ دَرَاهِمَ أَوْ دَنَانِيْرَ أَوْ فُلُوْسَا أَوْ عُرُوضًا أَوْ مَا شَاءَ؛ لِأَنَّ الْوَاجِبَ فِي الْحَقِيْقَةِ إِغْنَاءُ الْفَقِيْرِ
“Membayar dengan sesuatu yang senilai menurut para ulama: Seseorang boleh menyerahkan sesuatu yang senilai dari itu semua menurut ulama Hanafiah. Ini bisa berupa dinar, dirham, fulus (uang receh), barang dagang, dan apapun yang orang inginkan. Sebab, yang wajib sejatinya adalah memberi kecukupan pada orang fakir.”
Takwil, Tujuan (Teks) Hukum dan Perluasan Alat Bayar Fidiah
Jika persoalan ini ditarik ke dalam tataran metodologi (usul fikih), perselisihan para ulama sebenarnya terletak pada apakah mereka mau menggunakan metode takwil atau tidak. Takwil sendiri menurut Abdul Wahhab Khalaf (w. 1956) dalam Ilm Ushul al-Fiqh (164) bermakna pemalingan teks dari makna zahirnya dengan menggunakan dalil.
Jadi, pemalingan dari makna zahir bukanlah atas dasar hawa nafsu, melainkan atas dasar dalil. Adapun dalil yang dimaksud bisa berupa teks (al-Qur’an dan sunah), kias, spirit atau tujuan pembuatan hukum (Ruh al-tasyri/maqashid), dan dasar-dasar universal.
Dalam kasus fidiah, teks yang menjadi dasar penetapan alat bayar fidyah adalah QS. al-Baqarah: 184,
وَعَلَى الَّذِيْنَ يُطِيْقُوْنَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ
“Dan bagi orang-orang yang (tidak) mampu berpuasa, wajib fidyah berupa memberi makan orang miskin.” (Penambahan terjemahan kata ‘tidak’ merujuk pada tafsiran ayat ini dalam Tafsir al-Jalalain)
Sumber perselisihan di antara jumhur ulama dan mazhab Hanafiah adalah mengenai pemaknaan terhadap potongan ayat ‘fidyah tha’aam miskiin’. Jumhur ulama memilih berhenti pada makna zahir teks yang artinya adalah ‘memberi makan orang miskin’.
Adapun aktualisasi makna zahir dari ‘memberi makan’ ke ‘memberi biji-bijian mentah’ seperti gandum, beras, jagung dan lain-lain menurut al-Mawardi (w. 450 H/1058 M) dalam al-Hawi al-Kabir (10:518) adalah sebab redaksi hadis mengatakan itu. Jadi dalam hal ini, posisi hadis ditempatkan sebagai tafsir dari al-Qur’an dan ulama jumhur enggan keluar dari itu. Di sisi lain, bagi al-Mawardi, biji-bijian lebih banyak manfaatnya daripada semisal tepung, gilingan gandum, dan roti sebab biji-bijian bisa disimpan, ditanam, dan dijadikan makanan.
وَهَذَا صَحِيحٌ لِأَمْرَيْنِ: أَحَدُهُمَا: أَنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ – نَصَّ عَلَى الْحُبُوبِ فَلَا يُجْزِيهِ غَيْرُهُمَا.وَالثَّانِي: أَنَّ الْحَبَّ أَكْثَرُ مَنْفَعَةً لِأَنَّهُ يُمْكِنُ ادِّخَارُهُ وَزَرْعُهُ وَاقْتِنَاؤُهُ، فَإِذَا صَارَ دَقِيقًا أَوْ سَوِيقًا أَوْ خُبْزًا نَقَصَتْ مَنَافِعُهُ
“Pendapat ini sahih sebab dua perkara. Pertama, Nabi Saw. menjelaskan biji-bijian. Makan selain biji-bijian berarti tidak mencukupi. Kedua, sesungguhnya biji-bijian lebih banyak manfaatnya sebab ia bisa disimpan, ditanam, dan dijadikan makanan (pokok). Maka, ketika biji-bijian telah menjadi tepung, gilingan gandum, atau roti, maka ia telah berkurang manfaatnya.”
Di pihak lain, mazhab Hanafiah dengan mazhab takwilnya memperluas alat bayar fidiah. Yang menjadi dalil dari takwil mereka adalah tujuan dari pemberlakukan hukum fidyah sendiri yang intinya adalah memenuhi kebutuhan orang miskin. Atas dasar tujuan ini, alat fidyah tidak hanya terbatas pada biji-bijian, tetapi juga sesuatu yang senilai dengannya sebab substansinya adalah pemenuhan kebutuhan orang miskin.
Dalam kitab Ilm Ushul al-Fiqh, Khalaf memberikan contoh-contoh takwil yang meluaskan perkara yang dijelaskan oleh nas dengan nilainya, seperti takwil kata syaah (kambing) dengan nilainya dalam persoalan zakat binatang, takwil kata sho’ min tamrin (satu sho kurma) dengan nilainya dalam persoalan ganti rugi dari pengembalian kambing yang dibeli dan telah diperah.
al-Qaradawi dalam (l. 1926) Fiqh Maqashid al-Syari’ah (72-75) selaku pembela mazhab takwil-maqashid membalik logika al-Mawardi. Baginya, penyerahan dalam bentuk gandum mentah di zaman sekarang malah bisa menjadi persoalan (al-Qaradhawi membahasnya dalam kasus zakat fitrah, tetapi kasus ini identik dengan kasus fidyah). Sebab, masyarakat zaman sekarang tidak biasa menggiling, membuat adonan dan kemudian menjadikannya menjadi roti. Dengan kata lain, penyerahan dalam bentuk gandum malah akan menambah biaya lagi. Di zaman sekarang, orang-orang lebih memilih membeli roti daripada gandum mentahnya.
Dalam persoalan ini, dia mengkritik para ulama kontemporer yang masih fanatik bertahan dengan biji-bijian. Dengan alasan pembayaran menggunakan biji-bijian membutuhkan pekerjaan dan biaya lagi untuk mengolahnya, membayar dalam bentuk uang justru akan lebih bermanfaat.
Baca Juga: Surah Albalad Ayat 4: Enam Kesusahan yang Dirasakan Manusia
Dia memahami alasan mengapa Nabi Saw. dulu menyebutkan biji-bjian dalam sabda beliau. Menurutnya, uang di masa Nabi Saw masih langka dan biji-bijian lebih mudah ditemukan. Sebagai catatan, dinar dan dirham sendiri merupakan mata uang asing yang masuk ke Arab (hlm.72-75). Dinar berasal dari Romawi sedangkan dirham berasal dari Persia (hlm. 165). Menurutnya, pemahaman seperti inilah yang disebut sebagai Fiqh Haqiqi (pemahaman mendalam terhadap agama yang sesungguhnya).
Kesimpulan
Persoalan perluasan atau dibatasinya alat bayar fidiah adalah persoalan penggunaan takwil dalam memahami teks. Bagi ulama yang tidak menggunakannya, alat fidiah berhenti pada apa yang dijelaskan oleh nas. Namun bagi ulama yang menggunakan takwil, alat bayar fidyah meluas pada sesuatu yang senilai dengan sesuatu yang dituntun oleh syarak baik berupa uang atau yang lainnya dengan tetap memperhatikan tujuan pemenuhan kebutuhan orang miskin. Pemahaman seperti ini sungguh sangat dibutuhkan di zaman terus berubah.
Sebagai bentuk kehati-hatian dan menghindari talfiq, orang yang ingin membayar fidiah dengan menggunakan uang atau makanan siap saji, maka dia juga harus mengikuti standar yang ditentukan oleh mazhab Hanafiah, yaitu menyesuaikan dengan nilai setengah sho’ gandum (1,9 kg), bukan satu mud makanan pokok sebagaimana diyakini oleh jumhur ulama.