Untuk memudahkan dalam proses memahami dan mengkaji Al-Qur’an, para ulama memberikan berbagai kaidah dalam penafsiran ayat Al-Quran. Tentu jumlah kaidah yang dihasilkan sangatlah banyak, namun dalam kitab Buhuts fi Ushul al-Tafsir wa Manahijuh, Syaikh Fahd al-Rumi meringkas berbagai kaidah tersebut menjadi tujuh kaidah penting dalam proses penafsiran ayat Al-Quran. Tujuh kaidah tersebut antara lain adalah:
-
Kull ‘Aam Yabqa ‘ala ‘Umumih hatta Ya’tiy ma Yukhashishuh
Kaidah ini bermakna bahwa setiap lafadz ayat yang mengandung makna lebih dari satu, maka ayat tersebut juga ditafsirkan dengan berbagai ragam makna yang terkandung di dalamnya. Namun, kaidah di atas tidak berlaku apabila terdapat dalil yang mengkhususkan pada salah satu makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
Syaikh Fahd al-Rumi mencontohkan implementasi kaidah ini dalam memahami Q.S. Quraisy [106] ayat 4:
الَّذِيْٓ اَطْعَمَهُمْ مِّنْ جُوْعٍ ەۙ وَّاٰمَنَهُمْ مِّنْ خَوْفٍ ࣖ – ٤
“Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan”
Pemberian rasa aman dalam ayat tersebut bersifat umum, yaitu bisa bermakna rasa aman dari musuh (‘aduw) ataupun dari penyakit kusta/lepra (judzam). Sehingga ayat tersebut tidak bisa dimaknai hanya sebagai bentuk pengamanan dari musuh ataupun sebaliknya, tetapi harus dibiarkan bermakna umum sebagaimana asal keumuman ayat tersebut.
-
Al-Ibrah bi ‘Umum al-Lafdzi La bi Khusus al-Sabab
Maksud kaidah ini adalah yang dijadikan dasar pemahaman ayat adalah keumuman lafadznya bukan kekhususan sabab turunya ayat tersebut. Al-Allamah Abdurrahman ibn Sa’diy mengatakan bahwa riwayat historis asbab nuzul dari sebuah ayat itu berguna sebagai pemisalan atau ilustrasi untuk menjelaskan (taudhih) teks ayat. Sehingga makna ayat tidak bisa dibatasi hanya untuk subjek yang berkaitan dengan konteks historis ayat tersebut.
Baca juga: 9 Ciri ‘Ibadurrahman dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-76
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa apabila terdapat kalimat hadzih al-ayah nazalat fi kadza, bukan bermaksud bahwa hukum ayat itu hanya berlaku pada pelaku historis ayat tersebut, tetapi berlaku umum untuk semua orang. Contoh implementasi kaidah ini bisa ditemukan dalam Q.S. al-Baqarah [2] ayat 204:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يُّعْجِبُكَ قَوْلُهٗ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَيُشْهِدُ اللّٰهَ عَلٰى مَا فِيْ قَلْبِهٖ ۙ وَهُوَ اَلَدُّ الْخِصَامِ – ٢٠٤
“Dan di antara manusia ada yang pembicaraannya tentang kehidupan dunia mengagumkan engkau (Muhammad), dan dia bersaksi kepada Allah mengenai isi hatinya, padahal dia adalah penentang yang paling keras”
Baca juga: Mengenal Imam An-Naisaburi dan Kitabnya Ghara’ib al-Qur’an wa Ragha’ib al-Furqan
Diriwayatkan oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwsanya Ka’ab al-Qardhi berkata: “Sesungguhnya ayat ini turun berkenaan dengan seorang laki-laki, tetapi kemudian berlaku umum”. Seorang laki-laki yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah al-Akhnas ibn Syuraiq, namun karena lafal ayat bersifat umum maka diberlakukan untuk semua orang selain al-Akhnas.
-
Ikhtilaf al-Qira’at fi al-Ayah Yu’addid Ma’aniha
Syaikh Fahd al-Rumi menjelaskan bahwa perbedaan qira’at terjadi dalam dua keadaan: Pertama, perbedaan qira’at pada ragam pembacaan huruf dan harakat, seperti bacaan idzhar, idgham, imalah, mad, dan lain sebagainya. Kedua, perbedaan qira’at dalam tataran kalimat ataupun harakat yang mengakibatkan adanya perbedaan makna.
Penguasaan terhadap keilmuan qira’at sangatlah penting dalam proses penafsiran Al-Qur’an. Perangkat tersebut membantu mufasir dalam membedakan mana qira’at yang berakibat pada perubahan atau penambahan makna dan yang tidak merubah makna. Hal ini dikarenakan apabila ditemukan qira’at yang mengakibatkan perubahan atau perbedaan makna, maka hal tersebut sangat mempengaruhi dalam penafsiran terhadap ayat Al-Qur’an.
-
Al-Ma’na Yakhtalif bi Ikhtilaf Rasm al-Kalimah
Terkadang terdapat sebagian kalimat yang memiliki multi makna. Namun, hal tersebut dapat dibedakan dengan melihat format penulisan teks mushaf (rasm al-mushaf) yang digunakan. Sehingga dalam hal ini, rasm al-kalimah memiliki peran penting dalam mentarjih antar ragam makna yang terkandung, agar dapat dipilih satu makna yang sesuai. Contoh penggunaan kaidah ini dapat dijelaskan dalam memahami Q.S. al-A’la [87] ayat 6:
سَنُقْرِئُكَ فَلَا تَنْسٰىٓ ۖ – ٦
“Kami akan membacakan (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) sehingga engkau tidak akan lupa”
Para ulama berbeda pendapat dalam memaknai kalimat (فلا تنسى). Terdapat pendapat yang memaknai kalimat tersebut sebagai bentuk penyangkalan (li al-nafyi) sehingga bermakna pemberitaan. Namun, ada pendapat yang mengatakan bahwa kalimat tersebut sebagai bentuk larangan (li al-nahyi). Untuk mengetahui pendapat mana yang lebih kuat, maka disinilah fungsi rasm al-kalimah sebagai murajjih antar dua pendapat tersebut.
Baca juga: 9 Ciri ‘Ibadurrahman dalam Surat Al-Furqan Ayat 63-76
Setelah dilihat secara rasm al-kalimah, maka kalimat tersebut lebih sesuai berfungsi sebagai kalimat penyangkalan. Hal ini dikarenakan dalam kalimat tersebut terdapat al-alif al-maqshurah (ى) setelah huruf sin. Andaikan kalimat tersebut bermakna larangan maka seharusnya rasm al-kalimah-nya hanya tansa (تنس) tanpa al-alif al-maqshurah. Hal ini disebabkan apabila (لا) dalam kalimat tersebut li al-nahyi maka fi’il setelahnya akan menjadi majzum. Dan konsekuensi dari majzum adalah penghilangan huruf illah (hadf al-harf al-mu’tal) pada lam fi’il-nya.
-
Al-Siyaq al-Qur’aniy
Kaidah kelima ini mengingatkan kepada setiap mufasir agar dalam proses penafsiran Al-Qur’an tidak hanya fokus pada satu ayat saja, tetapi juga dilakukan peninjauan terhadap ayat-ayat lain yang memiliki korelasi, keterkaitan dan hubungan terhadap ayat yang sedang dikaji. Cara yang demikian dapat membantu dalam penetapan makna yang mendekati terhadap apa yang dikehendaki Al-Qur’an, walaupun dalam kata atau kalimat ayat tersebut mengandung banyak makna.
Pentingnya penguasaan terhadap kaidah ini dapat dilihat dalam menafsirkan Q.S. al-Baqarah [2] ayat 121:
اَلَّذِيْنَ اٰتَيْنٰهُمُ الْكِتٰبَ يَتْلُوْنَهٗ حَقَّ تِلَاوَتِهٖۗ اُولٰۤىِٕكَ يُؤْمِنُوْنَ بِهٖ ۗ وَمَنْ يَّكْفُرْ بِهٖ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْخٰسِرُوْنَ ࣖ – ١٢١
“Orang-orang yang telah Kami beri Kitab, mereka membacanya sebagaimana mestinya, mereka itulah yang beriman kepadanya. Dan barangsiapa ingkar kepadanya, mereka itulah orang-orang yang rugi”
Dikutip oleh al-Thabari dalam tafsirnya, bahwasanya Qatadah mengatakan jika ayat tersebut berbicara berkenaan dengan para sahabat Nabi. Namun, ulama lain berbendapat bahwa ayat di atas bercerita tentang ahli kitab dari bani Israil yang menjadi pengikut Nabi Muhammad. Dalam menyikapi hal ini, al-Thabari lebih memilih pendapat yang kedua. Hal ini dikarenakan pada ayat-ayat sebelumnya menjelaskan tentang cerita ahli kitab, sehingga ada siyaq (korelasi) antara ayat yang dikaji dengan ayat sebelumnya.
-
Al-Tafsir Yakun bi al-Aghlab al-Dzahir min al-Lughah
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka tidak boleh jika hasil tafsirnya terhadap ayat Al-Qur’an menyelisihi makna dan aspek kebahasaan yang digunakan oleh lisan orang-orang Arab saat itu. Oleh karena itu, penguasaan terhadap aspek kebahasaan menjadi sebuah hal yang sangat urgen dalam proses penafsiran ayat Al-Qur’an.
Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam penafsiran Q.S. al-Baqarah [2] ayat 102:
وَلَقَدْ عَلِمُوْا لَمَنِ اشْتَرٰىهُ مَا لَهٗ فِى الْاٰخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۗ وَلَبِئْسَ مَاشَرَوْا بِهٖٓ اَنْفُسَهُمْ ۗ لَوْ كَانُوْا يَعْلَمُوْنَ – ١٠٢…
“Dan sungguh, mereka sudah tahu, barangsiapa membeli (menggunakan sihir) itu, niscaya tidak akan mendapat keuntungan di akhirat. Dan sungguh, sangatlah buruk perbuatan mereka yang menjual dirinya dengan sihir, sekiranya mereka tahu”
Baca juga: Jejak Qiraat Imam Nafi’ dalam Manuskrip Al-Quran Keraton Kacirebonan
Dalam memaknai kata khalaq, Ibnu Jarir al-Thabari mengartikanya sebagai keberuntungan (al-nashib). Argumentasi al-Thabari dalam pemilihan makna tersebut dikarenakan kata khalaq dalam konteks ucapan orang Arab saat itu dimaknai sebagai nashib (keberuntungan).
-
Taqdim al-Ma’na al-Syar’iy ‘ala al-Ma’na al-Lughawiy
Apabila dalam satu kata terdapat dua makna atau lebih, dimana dalam ragam makna tersebut terdapat dimensi makna lughawiy dan syar’iy, serta antara makna lughawiy dan syar’iy juga saling bertentangan, maka yang didahulukan adalah dimensi makna syar’iy. Mengapa demikian? Karena Al-Qur’an diturunkan berfungsi sebagai penjelas syari’at, bukan untuk menjelaskan makna kebahasaan, kecuali ada hal yang mengharuskan penggunaan makna lughawiy.
Contoh penerapan kaidah ini dapat diketahui dalam memahami Q.S. al-Taubah [9] ayat 84:
وَلَا تُصَلِّ عَلٰٓى اَحَدٍ مِّنْهُمْ مَّاتَ اَبَدًا وَّلَا تَقُمْ عَلٰى قَبْرِهٖۗ اِنَّهُمْ كَفَرُوْا بِاللّٰهِ وَرَسُوْلِهٖ وَمَاتُوْا وَهُمْ فٰسِقُوْنَ – ٨٤
Kata tushalli dalam ayat tersebut mengandung dua dimensi makna yaitu dimensi lughawiy bermakna do’a. Kemudian juga dimensi syar’iy yang bermakna shalat jenazah. Maka dalam hal ini, secara umum yang didahulukan adalah makna syari’atnya yaitu shalat jenazah. Namun sebaliknya, bisa jadi makna lughawiy lebih didahulukan apabila ada hal yang mendukung penggunaan makna lughawiy tersebut. Seperti dalam Q.S. al-Taubah [9] ayat 103:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ – ١٠٣
kata wa shalli dalam ayat di atas tidak bermakna perintah shalat, sebagaimana jika dipahami dengan dimensi makna syar’iy. Namun, kata tersebut lebih sesuai dimaknai dengan dimensi makna lughawiy yaitu do’a. Hal ini dikarenakan adanya hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan nomor hadis 1078 yang mengindikasikan bahwa pemaknaan lughawiy lebih tepat dalam memaknai kata wa shalli dalam ayat di atas. Hadis tersebut tertulis sebagaimana berikut:
وَعَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ أَبِيْ أَوْفَى – رضى الله عنه – قَالَ: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ – صلى الله عليه وسلم – إِذَا أَتَاهُ قَوْمٌ بِصَدَقَتِهِمْ قَالَ: اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَيْهِمْ
“Dari Abdullah ibn Abi Aufa, ia berkata: bahwasanya Rasulullah SAW ketika terdapat suatu kaum yang datang kepadanya dengan membawa zakat mereka, maka Rasulullah bersabda: Ya Allah berkahilah mereka”
Dengan demikian dapat diketahui bahwa tujuh kaidah yang telah dijelaskan di atas merupakan kaidah dasar yang sangat urgen untuk dikuasai oleh setiap pengkaji Al-Qur’an. Hal ini dikarenakan kaidah-kaidah tersebut sangat membantu dalam proses penafsiran makna ayat Al-Qur’an. Wallahu A’lam