Tafsiralquran.id- Al-Qur’an merupakan kalam Tuhan yang Shalih li kulli zaman wa makan, kalam Tuhan yang menjadi pedoman hidup bagi umat Islam yang hakiki. Meskipun secara faktual al-Qur’an turun di Arab, namun dalam konteksnya al-Qur’an berlaku untuk semua umat manusia, tidak terbatas bagi orang-orang yang berada di teritorial atau Jazirah Arab saja. Sejak al-Qur’an diturunkan sampai saat ini kajian terhadap ayat-ayat al-Qur’an tidak pernah habis. Kajiannya beragam, mulai dari kajian kebahasaan, sintaksis, morfologi, sampai upaya kontekstualisasi terhadap ajarannya. Pendekatan yang digunakan pun juga beragam, dewasa ini pendekatan hermeneutika menjadi “trend” di kalangan akademisi muslim. Fazlurrahman misalnya, mengembangkan teori doble movement dalam upaya memahami ideal moral yang dikehendaki ayat.
Kajian kebahasaan agaknya merupakan konsentrasi awal dalam kajian al-Qur’an. Kasus Adi bin Abi Hatim yang salah dalam memahami bahasa ungkapan al-Qur’an merupakan bukti bahwa kajian kebahasaan secara embrio sudah ada sejak zaman Nabi. Pada masa sahabat, ketidaktahuan Umar mengenai maksud dari kata abban dalam al-Qur’an juga bukti lain bahwa kajian tentang bahasa al-Qur’an sudah ada sejak generasi awal Islam. Al-Farra’ dengan kitab Ma’ani al-Qur’an-nya juga berdiskusi tentang kebahasaan, mulai sintaksis, morfologi dan kajian kebahasaan lainnya.
Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an seperti sintaksis, morfologi dan lain sebagainya, hampir menjadi pembahasan wajib dalam kitab tafsir era klasik sampai era pertengahan. Hal ini menjadi sasaran kritik bagi ulama modern, karena dianggap terlalu “berlama-lama” dalam membahas gramatikal dalam ayat al-Qur’an, sehingga kadang sampai melalaikan sisi hudan /petunjuk dalam ayat yang dibahas. Namun kritik ini tidak bisa diterima begitu saja. Kajian tentang kebahasaan al-Qur’an sama pentingnya dengan kajian tentang dalalah yang dikandung di dalam ayat. Maksud dari ayat al-Qur’an tidak dapat dipahami dengan baik, jika makna kata atau susunan tarkib-nya tidak diketahui dengan baik pula. Sebab al-Qur’an adalah kitab yang unik, bisa saja ia menyebutkan satu kata yang sama, namun memiliki arti yang berbeda ketika kata tersebut diletakkan di lain tempat. Kajian ini dalam diskursus ilmu al-Qur’an disebut dengan al-Wujuuh wa al-Nazaair.
Adanya al-wujuuh wa al-nazaair dalam al-Qur’an dalam perspektif ulama merupakan bentuk kemu’jizatan al-Qur’an. Bukti bahwa al-Qur’an merupakan Kalam Tuhan bukan buatan manusia. Karena tidak mungkin dalam kalam manusia satu kosa kata memiliki beberapa makna. Hal ini menjadikan pembahasan al-wujuuh wa al-nazaair materi yang mutlak harus diketahui oleh cendikiawan yang hendak memahami isi kandungan al-Qur’an. Sebuah riwayat dari Muqaatil bin Sulaymaan yang di marfu’ kan kepada nabi Muhammad menerangkan bahwa:
لا يكون الرجل فقيها كل الفقه حتى يرى في القرأن وجوها كثيرة
Seseorang tidak akan benar-benar paham akan al-Qur’an sampai ia mengetahui makna yang beragam di dalam al-Qur’an.
Riwayat ini menjadi argumen bahwa sesorang yang hendak memahami al-Qur’an harus mengusai materi al-wujuuh wa nazaa>ir. Sehingga pemahaman yang didapatkan menjadi luas tidak sempit dan kaku. Pluralitas makna yang dikandung dalam al-Qur’an sudah diisyaratkan oleh sahabat ‘Ali bin Abi Thalib ketika mengutus Ibn Abbas untuk beradu argumen dengan golongan khawarij.
Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sahabat ‘Ali melarang Ibn Abbas menggunakan dalil al-Qur’an ketika beradu argumen dengan golongan khawarij. Instruksi ini sempat dibantah oleh Ibn Abbas karena menurutnya ia lebih paham mengenai al-Qur’an dibanding dengan golongan khawarij. Namun ‘Ali menjawab bahwa al-Qur’an itu zu wujuuh, sehingga apabila kamu berpendapat mereka juga akan punya pendapat lain. Menurut Sahabat Ali, hadis Nabil dalil yang tepat untuk beradu argumen dengan meraka, karena hadis tidak zu wujuuh sebagaimana al-Qur’an.
Di satu sisi aspek ini mungkin menjadi bahan perdebatan yang tidak ada akhirnya. Namun di sisi lain, aspek ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an benar-benar firman-Nya. Tidak ada ciptaan manusia yang bisa seperti ini, satu teks namun dipahami secara berbeda dan masing-masing memiliki argumen yang bisa saja sama-sama kuat. Atau bisa juga menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dari berbagai macam kepentingan individu maupun kelompoknya.
Pada awalnya kajian tentang wujuh wa al-nazair berkembang seiring dengan perkembangan tafsir al-qur’an. Namun kemudian, para pakar bahasa dan tafsir menulis diskursus al-wujuh wa nazaair dalam satu buku khusus yang terpisah dari buku tafsir. Hal seperti lumrah dalam dunia akademis, satu rumpun ilmu dapat terpecah-pecah menjadi berbagai macam ilmu yang memiliki konsentrasi beragam. Dari ilmu tafsir misalnya, memunculkan ilmu qira’at, ilmu munasabah, ilmu bahasa, ilmu asbab al-nuzul dan lain sebagainya.
Dalam diskursus tafsir al-Qur’an, wujuh wa nazair masuk dalam kategori tafsir al-Qur’an yang bercorak kebahasaan. Corak bahasa dalam tafsir al-Qur’an begitu kental di periode klasik dan pertengahan Islam. Hampir setiap karya tafsir tidak lepas dari pembahasan perihal ‘asal kata, gharib al-Qur’an, Mushkil al-Qur’an, mushabihah al-Qur’an dan I’rab al-Qur’an. Memang sejak awal perkembangannya, ilmu al-Qur’an selalu saling terkait dengan ilmu bahasa, seolah dua rumpun ini tidak dapat dipisahkan. Banyak kajian yang telah dilakukan oleh para ulama yang terkait dengan bahasa al-qur’an yang dituangkan dalam banyak karya tulis.
Hasil dari ulama yang konsen dalam bidang ini adalah temuan bahwa ada satu lafal dalam al-Qur’an yang memiliki satu makna saja, adapula yang satu lafal memiliki dua makna bahkan ada yang memiliki banyak makna (multi-meaning). Mereka menjelaskan makna yang kuat dan makna yang samar dalam lafal tersebut. Namun terkadang terjadi perdebatan di kalangan ulama perihal mana makna yang kuat dan makna yang samar. Perdebatan mengenai makna hakiki dan majazi ini hal yang mainstream dalam periode Islam pertengahan, dimana sekte muktzilah vis a vis dengan sekte suni.
Dalam beberapa literatur yang membahas khusus mengenai al-wujuuh wa al-nazaair disebutkan bahwa kitab yang paling tua membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair adalah kitab karya Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy (w. 150 H). Kitab tersebut diberi nama al-wujuuh wa nazaair fi’ al-Qur’an al-Kariim, ditulis pada abad ke dua Hijriah. Namun bukan berarti sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy belum ada pembahasan mengenai al-wujuuh. Sangat mungkin sebelum masa Muqaatil bin Sulayman al-Balkhy ini sudah ada ulama yang konsen membahas mengenai al-wujuuh wa nazaair akan tetapi kitab-kitabnya tidak terkodifikasikan secara baik. Sehinggga tidak sampai pada generasi Islam saat ini.
Asumsi ini berdasarkan keterangan Haatim Shalih pen-tahqiq kitab al-wujuuh wa nazaair fi al-Qur’an al-Kariim, bahwa kitab karya Muqaatil bin Sulaymaan ini adalah kitab tertua yang sampai pada zaman kita, dengan demikian sangat dimungkinkan terdapat kitab-kitab terdahulu yang tidak sampai pada zaman kita. Di antaranya kitab yang berbicara tentang al-wujuuh wa nazaair, namun tidak sampai ke generasi Islam saat ini adalah kitab Kashfa al-dhunu>n yang dinisbatkan kepada ‘Ikrimah maula Ibn ‘Abbas.
Tentu masih banyak lagi kitab-kitab yang mendiskusikan aspek kebahasaan dalam al-Qur’an yang belum kita ketahui. Namun setidaknya, dengan melihat beberapa karya ulama di atas, kita semakin terbuka terhadap perbedaan interpretasi ayat al-Qur’an. Tidak mudah tersulut emosi ketika melihat hasil penafsiran terhadap ayat al-Qur’an yang berbeda . Mengutip ungkapan Abdullah Darraz dalam al-Naba’ al-Adhim, al-Qur’an itu seperti permata yang setiap sisinya memancarkan cahaya berbeda-beda. Sehingga apa yang kita tangkap dan yakini sebagai pesan teks, belum tentu sama dengan yang diterima oleh orang lain.
Semua umat Islam tentu sepakat bahwa al-Qur’an adalah teks suci yang pasti kebenarannya. Namun, pemahaman seseorang terhadap teks tentu tidak bisa disejajarkan dengan teks, pemahaman manusia terhadap teks al-Qur’an tidak bisa dianggap suci dan pasti benar sebagaimana ayat al-Qur’an. Karena al-Qur’an dan pemahaman (tafsir) merupakan entitas yang berbeda.
Wallahu a’lam bi al-Shawab