Salah satu ilmu dalam kajian ulum al-Quran adalah ilmu nasakh. Jumhur ulama al-Quran, sebagaimana diungkap dalam al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran, bersepakat bahwa mengetahui ilmu nasakh merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang hendak menafsirkan al-Quran.
Menurut Al-Zarqani dalam kitabnya Manahil al-‘Irfan, ada dua alasan yang dapat dikemukakan terkait urgensi mengetahui ilmu tentang nasakh. Pertama, dengan paham ilmu nasakh akan membuka tabir perjalanan mengenai syariat Islam dan menjadi penegasan bahwa al-Quran diturunkan semata-mata oleh Allah swt, bukan buatan nabi Muhammad saw.
Kedua, mengetahui tentang nasakh merupakan bagian dari rukun dalam memahami Islam, khususnya tatkala menemui beberapa dalil yang bertentangan. Dengan kata lain bahwa orang yang tidak mengetahui tentang nasakh kurang diakui atau diragukan kapasitas keilmuannya ketika berbicara tentang al-Quran dan tafsirnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat riwayat yang dikutip oleh al-Zuhri yaitu terdapat sebuah atsar dari ‘Ali k.w diriwayatkan oleh Ibn Habib al-Silmi bahwasanya pernah suatu ketika ada seorang laki-laki yang dilewati oleh ‘Ali sedang pidato dihadapan orang-orang. Kemudian ditanya oleh ‘Ali, “tahukah kamu mengenai ilmu nasikh dan mansukh?” laki-laki itu menjawab, “tidak.” Lalu ‘Ali berkata, “Celakalah kamu dan mencelakakan.”
Baca Juga: Mengenal Qiyas Sebagai Sumber Hukum Islam Perspektif Al Quran
Artikel ini akan menguraikan tentang ilmu nasakh secara ringkas yang disarikan dari berbagai referensi seperti: Al-Burhan fi ‘Ulum al-Quran karya al-Zarkasyi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran karya al-Suyuthi dan al-Nasikh wa al-Mansukh karya al-Qasim bin Salam.
Definisi Nasakh
Nasakh dalam pengertian bahasa diambil dari wazan na-sa-kha yang berarti menyalin tulisan dari sebuah tulisan kata-perkata (iktitabuka kitaban ‘an kitabin harfan bi harfin) (Ibn Mandzur, Lisan al-Arab). Apabila dihimpun dari beberapa literatur kitab ‘ulum al-Quran, maka sedikitnya definisi nasakh menurut kebahasaan adalah sebagai berikut (al-Suyuthi, al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran):
- Berarti menghilangkan (al-izalah) sebagaimana contoh dalam Q.S al-Hajj: 52:
…فينسخ الله ما يلقي الشيطان ثم يحكم الله ءايته….
…Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh syaitan itu, dan Allah menguatkan ayat-ayatnya…
- Bermakna memindahkan (al-tahwil) seperti contoh kalimat:
تناسخ المواريث اي تحويل الميراث من واحد الى واحد
- Memiliki arti kata menyalin (al-naqal) seperti dalam contoh:
نسخت الكتاب إذا نقلت ما فيه حاكيا للفظه و خطه
Dari hasil penelusuaran penulis, dalam al-Quran kata nasakh beserta derivasinya digunakan sebanyak empat kali yaitu pertama dalam Q.S al-Baqarah [02]: 106.
ما ننسخ من آية أو ننسها نأت بخير منها أو مثلها ألم تعلم أن الله على كل شيء قدير
Artinya: Ayat yang kami batalkan atau kami hilangkan dari ingatan, pasti Kami ganti dengan yang lebih baik atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu tahu bahwa Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Kedua dalam Q.S al-A’raf [07]: 154 yang berbunyi:
و لما سكت عن موسى الغضب أخذا الألواح و في نسختها هدى و رحمة للذين هم لربهم يرهبون
Artinya: Dan setelah amarah Musa mereda, diambilnya (kembali) lauh-lauh (Taurat) itu, di dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang takut kepada Tuhannya.
Ketiga dalam Q.S al-Hajj [22]: 52 sebagaimana tertera di bagian arti kata secara bahasa yang bermakna menghilangkan. Terakhir yang keempat dalam Q.S al-Jatsiah [45]: 29 yaitu:
هذا كتابنا ينطق عليكم بالحق إنا كنا نستنسخ ما كنتم تعملون
Artinya: (Allah berfirman), “Inilah kitab Kami yang menuturkan kepadamu dengan sebenar-benarnya. Sesungguhnya kami telah menyuruh mencatat apa yang telah kamu kerjakan.
Adapun nasakh dalam pengertian istilah ilmu al-Quran adalah mengganti hukum syari’at (al-hukm al-syar’i) dengan dalil hukum syariat (bi khitab al-syar’i) (Manna’ Qattan, Mabahits fi ‘Ulum al-Quran). Dari pengertian tersebut dapat dijelaskan lagi bahwa nasakh mengecualikan penggantian hukum dengan selain khitab syar’i seperti qiyas dan ijma’. Kemudian masih dari pengertian istilah dapat diketahui bahwa nasakh hanya ada di seputar hukum, tidak dengan masalah akidah. Lebih spesifik al-Zarqani menilai bahwa nasakh dikhususkan untuk masalah hukum yang bersifat cabang (furu’ al-hukm) tidak dengan yang pokok (usul al-hukm).
Baca Juga: Kontekstualisasi Penggunaan Term Tijarah (Perniagaan) dalam Al-Qur’an
Masih dalam konteks definisi nasakh bahwa dari istilah nasakh yang berupa masdar, dapat diturunkan menjadi dua bagian. Pertama adalah nasikh yakni hukum yang mengganti. Kedua yaitu mansukh atau hukum yang diganti. Dikatakan oleh Manna’ Qattan bahwa nasikh atau yang mengganti hukum adalah hak prerogatif Allah swt, artinya hanya Allah yang berhak untuk mengganti hukum. Sedangkan untuk mansukh, ada tiga hal syarat yang harus dipenuhi. Pertama, hukumnya jelas-jelas merupakan hukum syari’at. Kedua, dalil hukum pengganti tertera dalam nash syar’i. Ketiga, redaksi kalimat yang diganti tidak memiliki spesifikasi waktu. Untuk syarat yang ketiga, dapat diambil contoh dalam Q.S al-Baqarah [2]: 109:
فاعفوا واصفحوا حتى يأتي الله بأمره
Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan bahwa pada masa awal Nabi di Madinah, dari kalangan Yahudi terutama tokoh yang bernama Ka’ab al-Asyraf merasa iri dan menginginkan orang-orang Madinah yang telah masuk Islam untuk murtad. Allah memerintahkan Nabi agar memaafkan dan membiarkan mereka hingga waktu yang ditentukan.
Dari definisi, syarat dan ketentuan nasakh di atas, timbul pertanyaan, kemudian bagaimana cara yang paling mendasar untuk mengetahui nasikh dan mansukh? Ada tiga sumber utama untuk mengetahuinya. Pertama adalah riwayat Nabi yang jelas-jelas menerangkan tentang ayat nasakh. Kedua konsensus para sahabat bahwa ayat tertentu merupakan ayat nasakh. Ketiga dengan mengetahui waktu turunnya ayat (tartib nuzul).
Demikian penjelasan ringkat tentang urgensi, definisi, syarat, dan sedikit contoh terkait dengan ilmu nasakh. Para artikel selanjutnya akan dijelaskan terkait jenis-jenis nasakh beserta contohnya. Wallahu A’lam.