Etika sangat dibutuhkan dalam segala hal, termasuk ketika berinteraksi dengan Al-Quran, dalam menaruh, membaca dan memahami firman-firman Allah di dalamnya. Munculnya fenomena ekstremisme di tengah masyarakat sebabnya adalah dangkalnya pemahaman kelompok tertentu terhadap teks-teks agama, bahkan memahami Al-Quran tanpa ilmu. Hal ini sangat tercela, dan telah mendapat peringatan keras bagi pelakunya sebagaimana dijelaskan Usamah Al-Azhari dalam kitabnya yang berjudul Al-Fam al-Munir.
Al-Quran al-Karim mempunyai kemuliaan dan kehormatan yang tinggi. Ia merupakan wahyu Allah swt yang di dalamnya tedapat hidayah bagi hamba-hamba-Nya dan pentujuk bagi makhluk-Nya. Allah menurunkannya dengan bahasa Arab yang jelas, dan yang dapat memahaminya hanyalah orang yang mengerti bahasa Arab dan menguasai cabang-cabang keilmuannya.
Baca Juga: Memahami Konsep Sakralitas Al-Quran dan Berbagai Sikap Terhadapnya
Memahami Al-Quran Tanpa Ilmu Menyalahi Etika Belajar Al-Quran
Al-Quran diturunkan untuk menjadi pedoman manusia dalam kebaikan, kemuliaan, serta mengajak untuk berakhlak luhur dan jalan yang lurus. Allah swt. telah memerintahkan kepada kita agar beretika dalam memahami Al-Quran dan isthinbat hukum di dalamnya. Disebutkan di dalam (QS. an-Nisa’ 4: 83):
وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَه مِنْهُمْ
Artinya: “… (padahal) apabila mereka menyerahkan kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tntulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil Amri)”.
Sebagaimana dijelaskan Usamah Al-Azhari, pada ayat tersebut Allah swt menjadikan pemahaman terhadap Al-Quran, penafsiran, analisa dan istinbath hukum-hukum yang terkandung di dalamnya terikat oleh metode yang berlaku dan beberapa bidang keilmuan tertentu. Yang mana demikian merupakan tugas dan tanggungjawab para ulama yang sudah mempunyai kapabilitas keilmuan.
Maka bagi siapapun yang tidak berilmu tidaklah pantas berbicara tentang kandungan Al-Quran. Rasulullah saw. telah bersabda dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas:
عن ابن عَبَّاسٍ، رضى الله عنهما قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ”.
“barang siapa yang berbicara tentang Al-Quran tanpa ilmu, maka hendaknya bersiaplah menyediakan tempat di Neraka”. (HR. At-Tirmidzi).
Baca Juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran
Secara hukum, Imam An-Nawawi yang mendapat julukan sebagai Muharrir Madzhab syafi’i dalam kitabnya At-Tibyan fiy Adabi Hamalatil Qur’an (190) menegaskan haramnya menafsiri Al-Quran tanpa ilmu. Dasar hukum ini diambil dari konsensus para ulama (Ijma’).
Memahami kandungan makna-makna di dalam Al-Quran merupakan pekerjaan yang memerlukan kejelian dan mempunyai posisi yang sangat terhormat, karena seseorang yang sibuk memahami kandungan Al-Quran berarti ia sedang meneliti apa yang menjadi kehendak Allah dari firman-firmanNya. Sehingga dalam memahaminya dibutuhkan ilmu-ilmu alat yang jeli-detail sebagai media untuk dapat membantu memahaminya.
Termasuk rumpun ilmu pengetahuan terpenting dalam hal ini adalah Ilm Ushul Fiqh, Ulum al-Balaghah, Ilm Ushul Tafsir dan ilmu-ilmu penting lainya seperti yang diulas Prof. Hasan Hasan Hitou dalam karya Usul Fiqhnya. (Al-Wajiz, Hasan Hitou, 346). As-Suyuthi dalam Al-Itqan-nya pun menjelaskan hal ini.
Az-Zarqani dalam Manahil Al-Irfan juga menyetujui hal ini, namun ia tampak lebih ‘manusiawi’ dengan menambah catatan bahwa menafsirkan dan memahami Al-Quran itu dilakukan sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing seseorang. Namun tetap diingat, memahami Al-Quran tanpa ilmu sangat berbeda dengan memahami Al-Quran –dengan ilmu- sesuai kadar keilmuannya.
Maka dari itu, dahulu para ulama begitu mengagungkan pembicaraan tentang Al-Quran dan penafsirannya. Sehingga Ubaidillah bin Umar pun berkata: “sungguh kami menjumpai para ahli fiqih Madinah dan mereka betul-betul menganggap pembahasan tentang penafsiran Al-Quran adalah suatu perkara yang besar”. (Jamiul Bayan, At-Thabari 1/79).
Baca Juga: Simak Ini untuk Belajar Memaklumi Perbedaan Tafsir Al-Quran!
Menurut Usamah Al-Azhari, sikap terbaik bagi kita terhadap Al-Quran adalah berusaha semaksimal mungkin untuk memuliakannya, termasuk dengan menjelaskan makna-makna luhur yang terkandung di dalamnya. Sehingga Al-Quran dapat menjadi pedoman hidup bagi siapapun dan orang-orang dapat terhindar dari penafsiran Al-Quran yang bersifat instan dan menyesatkan. Yakni sebagaimana kelompok-kelompok radikal yang menafsiri Al-Quran hanya demi untuk menopang pemikiran dan memenuhi hawa nafsu mereka belaka.
Hasilnya bisa ditebak, produk mereka yang memahami Al-Quran tanpa ilmu adalah pemahaman-pemahaman yang aneh dan sesat. Al-Quran yang membawa misi kasih sayang bagi seluruh semesta akan terasa kebalikannya, yaitu menebarkan permusuhan, pertikaian bahkan pembunuhan. Alasan inilah yang dikawatirkan oleh para ulama.
Wallahu A’lam