Seruan ‘kembali kepada Al Quran dan As Sunnah‘ adalah kalimat yang hak, tapi jangan disalahpahami. Jika yang dimaksud adalah merujuk secara langsung kepada Al Quran dan As Sunnah dalam mengambil hukum syariat tanpa mengetahui pandangan para mujtahid, maka ini adalah pemahaman yang salah.
Allah swt telah memberi pedoman hidup agar manusia tidak salah jalan. Dalam firman-Nya disebutkan:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Artinya: “maka bertanyalah kepada yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”. (QS. an-Nahl [16] : 43).
Apabila seseorang tidak mempunyai kapasitas memahami Alquran dan hadits untuk mengambil hukum Islam, maka ia wajib taqlid (mengikuti) kepada para mujtahid. Dalam hal ini seseorang bisa mengikuti satu di antara empat Imam Madzhab, Syafi’I, Hanafi, Maliki dan Hanbali. Bahkan taqlid kepada mereka di zaman ini sudah menjadi syiar Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja). (Anas as-Syurfawi, al-Madzahib al-Arba’ah hum as-Sawad al-A’dzam, hal. 19)
Baca juga: Kemukjizatan Al-Quran: Pengertian dan Tanda-Tandanya
Amin al-Kurdi memberikan komentar terhadap slogan yang selalu diserukan oleh sebagian kelompok:
ومن لم يقلد واحدا منهم وقال أنا اعمل بالكتاب والسنة مدعيا فهم الأحكام منهما فلا يسلم له بل هو مخطئ ضال مضل سيما في هذا الزمان الذى عم فيه الفسق وكثرت الدعوى الباطلة لأنه استظهر على أئمة الدين وهو دونهم في العلم والعمل والعدالة والاطلاع
“Dan barangsiapa yang tidak mengikuti salah satu dari Imam Madzhab dan berkata: ‘saya beramal berdasarkan Alquran dan hadits’, juga mengaku telah memahami hukum-hukum Alquran dan hadits, maka orang itu tidak dapat diterima, bahkan termasuk orang yang bersalah, sesat dan menyesatkan. Lebih-lebih pada masa sekarang ini, dimana kefasikan dan dakwah yang salah banyak tersebar, karena ia ingin mengungguli para pemimpin agama padahal ia di bawah mereka dalam ilmu, amal, keadilan dan analisa”. (Tanwiir al-Quluub, hlm. 74-75)
Baca juga: Living Quran; Melihat Kembali Relasi Al Quran dengan Pembacanya
Mengambil hukum dari Al Quran dan As Sunnah membutuhkan keahlian berijtihad, tidak cukup difahami hanya secara tekstual. Pembahasan terkait syarat-syarat ijtihad telah diuraikan dalam kitab-kitab ushul fiqh, diantaranya adalah Al-Wajiz karya Prof Hasan Hitou.
Ketika menjelaskan hal tersebut, beliau menyebutkan setidaknya ada delapan syarat seseorang dapat disebut sebagai mujtahid, yaitu: baligh dan berakal, al-‘Adl (tidak fasik), Fiqh an-Nafs, mengetahui hal-hal terkait Al Quran (Nasikh-Mansukh, ‘Am-Khash, Mutlak-Muqayyad, Asbab Nuzul), mengetahui hal-hal terkait hadits (Shahih-Dhaif, Tarikh wa Rijal, Asbab Jarh wa Ta’dil), mengetahui permasalahan ij’ma’, mengetahui ushul fiqh, dan mengetahui bahasa arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah).
Al Quran bertentangan dengan As Sunnah?
Tidak semua ayat Al Quran maupun sunnah nabi diamalkan, meskipun derajat haditsnya adalah shahih. Jika seseorang yang bukan mujtahid langsung memahami dalil dari Al Quran maupun As Sunnah, maka bisa dipastikan ia akan kebingungan ketika menemukan Al Quran dan hadits saling bertentangan. Bahkan terdapat juga sesama ayat Al Quran saling bertentangan. Demikian jika difahami secara tekstual.
Sebagai contoh:
Pertama: antara Al Quran dan hadits
Firman Allah Q.S. al-Baqarah [2]: 180,
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْراً الْوَصِيَّةُ لِلْوالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ
“diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, Berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf”.
Baca juga: Muhammad Abduh: Mufasir Pelopor Pembaharuan Pemikiran di Dunia Islam
Sabda Nabi Muhammad saw. HR. at-Tirmidzi:
إن الله أعطى كل ذي حق حقه، لا وصي لوارث
“sesungguhnya Allah telah memberikan setia orang haknya masing-masing, maka tidak ada wasiat untuk ahli waris”.
Kedua: antara sesama Al Quran
Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah [2]: 240,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ
“dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kamu dan meninggalkan isteri, hendaklah Berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)”.
Firman Allah swt Q.S. al-Baqarah [2]: 234,
وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari”.
Beberapa ayat dan hadits di atas terdapat Nasikh dan Mansukh (revisi hukum). Kita tidak mampu mengetahuinya tanpa perantara para ulama yang telah memenuhi syarat ijtihad. Dan masih banyak lagi contoh seperti di atas yang memerlukan ijtihad dalam menentukan hukum. Wallahu A’lam.