BerandaUlumul QuranWalid Saleh: "Tradisi Tafsir Bersifat Genealogis"

Walid Saleh: “Tradisi Tafsir Bersifat Genealogis”

Sebagaimana judulnya, tulisan ini berangkat dari pembacaan penulis pada salah satu artikel Walid Saleh, salah seorang sarjanawan Muslim sekaligus pengajar dari Universitas Toronto yang memfokuskan kajian-kajiannya pada bidang islamic studies. Menariknya, Saleh juga banyak menulis terkait dengan genre tafsir, utamanya pada tafsir-tafsir era klasik-pertengahan.

Dalam salah satu artikelnya berjudul Preliminary Remarks on the Historiography of Tafsir in Arabic: A History of the Book Approach,Saleh mengulas tentang hisitoriografi tafsir, dimana ia mengulas beberapa kitab tentang sejarah penulisan tafsir. Di antaranya adalah 1) tafsir wa al-mufassirun karya adz-Dzahabi, 2) al-tafsir: ma’alim hayatihi, manhajuhu al-yaum karya Amin al-Khulli, 3) al-nahw wa kutub al-tafsir karya Ibrahim Rufayda, 4) tafsir wa rijaluhu karya Ibnu ‘Ashur, dan 5) al-fihris al-syamil li al-turats al-‘arabi al-islami al-makhthut, ‘ulum al-Qur’an, makhtuhtat al-tafsir.

Sekilas Pandangan Walid Saleh Terhadap Kitab Historiografi Tafasir

Saleh mengulas kelimanya dengan porsi pembahasan berbeda, tentu dengan alasan yang logis dan ilmiah. Misalnya, ketika ia memberi perhatian besar pada kitab ad-Dzahabi, yang menurutnya cenderung subyektif dan mengedepankan ideologinya. Ini bisa dilihat ketika ad-Dzahabi mengkategorikan beberapa kitab dalam karyanya itu dengan tafsir bi al-ma’thur dan bi al-ra’y, dan dalam al-ra’y dia membaginya dengan yang Jaiz (dapat diterima) dan mazmum (tidak dapat diterima).

Kategori yang diterima, cenderung pada Mufassir yang berjalan diatas pemahaman Sunni. Sementara yang tidak diterima, adalah kalangan Syi’ah dan Mu’tazilah. Lagi-lagi disinilah letak ketidak subyektifan adz-Dzahabi menurut Saleh, belum lagi ada banyak kitab-kitab tafsir yang tidak diliput olehnya,  sehingga kitab adz-Dzahabi, tidak bisa secara keseluruhan disebut dengan historiografi tafsir.

Ini berbeda, dengan kitab terkahir yang disebutkan, yaitu al-Fihris. Kitab ini memuat begitu banyak kitab-kitab tafsir sejak abad pertama hijrah hingga memasuki abad modern. Bahkan, didalamnya memuat tempat penerbitan, tahun, dan sudah berapa kali diterbitkan. Kitab ini mendapat pujian tersendiri dari Saleh, dengan adanya al-Fihris, sangat memudahkan peneliti untuk melakukan pembacan tafsir secara genealogis.

Terlepas dari kritikan dan pujian Saleh atas kitab-kitab tersebut, tetap saja itu berdampak besar dalam pembentukan paradigma Saleh selanjutnya, dimana ia mencentuskan klasifikasi tafsir menjadi tiga model, yaitu; ensiklopedis, madrasah, dan hasyiyah, yang sebelumnya pernah diulas oleh Muhammad Rafi.

Pembacaan Tafsir Secara Genealogis

Lalu bagaimana pembacaan tafsir secara genealogis menurut Walid Saleh? Kenapa ia begitu penting untuk dilakukan?

Sebenarnya ini terwujud dari penyataan Saleh bahwa tafsir adalah ‘tradisi yang bersifat genealogis’, ia diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Korpus yang diwariskan ini adalah ‘inti’ yang akan selalu dikutip secara terus menerus, baik sebagai sandaran legitimasi, atau terkadang; ditambahi, dikritik, atau ditolak begitu saja oleh generasi setelahnya. (Saleh, 2010: 18)

Artinya, tafsir secara inheren akan berdialektika dengan tafsir-tafsir sebelum dan sesudahnya. Seorang Mufasir dalam proses penafsiran akan berdialog dengan materi-materi tafsir yang telah bertahan dan diwariskan. Karena itu, tafsir merupakan ‘memori historis’, karena ia adalah bagian dari perjumpaan Muslim dengan makna al-Qur’an. (Fadhli, 2021: 65)

Fungsi pembacaan tafsir secara genealogis, selain untuk melihat perkembangan sejarah tafsir juga untuk memudahkan kita dalam menentukan manakah karya-karya tafsir yang penting  dan berpengaruh, terlebih dari sekian banyak tafsir yang tersedia selama beradab-abad.  (Saleh, 2010: 19)

Saleh menawarkan cara yang cukup simple untuk melihat seberapa besar karya tersebut berpengaruh, yaitu dengan  mengecek kutipan. Jika kutipannya bisa terus intens dilakukan, maka bisa diasumsikan bahwa tafsir tersebut pengaruhnya besar. Ia akan membentuk jejaring antar tafsir, berlanjut mejadi sebuah kesatuan yang utuh. Sehingga, tidak perlu khawatir jika ada terjangan dari pihak lain.

Menjadi lebih penting lagi, dengan pembacaan tersebut, kita bisa melihat bagaimana tafsir itu di transmisikan dan dari sisi mana ia mengalami tranformasi. Dengan demikian, asumsi bahwa kajian-kajian atas tafsir-tafsir klasik-pertengahan mengalami pengulangan, akan sirna. Dan tentu saja kajiannya akan menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.

Ini terbukti dengan banyaknya penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh sarjana Barat, yang masih banyak berminat mengkaji kitab-kitab tafsir masa klasik-pertengahan. Termasuk yang dilakukan oleh Saleh sendiri, seperti tulisannya tentang; Tsa’labi w.427H (2003), al-Wahidi w. 468H (2006), Ibnu Taymiyah w. 728H (2010), dan Hasyiyah al-Kasyyaf Zamakshyari w. 538H (2013).

Gebarakan Saleh ini pun banyak memicu sarjana lain untuk melihat tafsir dari sudut pandang yang berbeda, dimana tafsir adalah khazanah yang luas, ia tidak hanya berputar dari segi pemaknaan ayat semata, namun lebih jauh, ia juga akan memperlihatkan bagaimana promblema yang dihadapi seorang Mufasir dalam proses penafsirannya.

Kiranya, artikel Walid Saleh serta sarjana Barat lain, sudah seharusnya menjadi bacaan para peminat tafsir maupun islamic studies. Supaya ikatan antara kajian Timur dan Barat tetap terjalin dengan baik, dan mendapat tempat yang sama sebagai penikmat kajian tersebut. Wallahu a’lam.

Fahmi Azhar
Fahmi Azhar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan aktif di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...