Aljazair secara geografis, merupakan daerah yang berada di kawasan Afrika Utara. Negara terbesar di Afrika itu memiliki sejarah panjang karena pernah diduduki berbagai suku dan bangsa luar. Salah satu yang sukses memberikan pengaruh paling besar terhadap kehidupan sosial keagamaan bumi Aljazair adalah pemerintahan Usmani. Di bawah daulah Usmani, banyak penduduk Aljazair memeluk agama Islam. Namun, kehadiran bangsa Prancis yang menggeser daulah Usmani telah membawa perubahan signifikan di hampir semua lini. Dalam lingkup keagamaan, Aljazair yang mulanya mayoritas muslim, membuat Perancis mencari celah untuk menelanjangi keimanan penduduk setempat demi menyuburkan ajaran Kristen. Keadaan yang memprihatinkan itu menyentuh hati Ibnu Badis untuk melakukan reformasi.
Dalam kaitan ini, gagasan pergerakan reformisme seorang Ibnu Badis banyak dituangkan dalam karya monumentalnya, Tafsir Ibn Badis fi Majalis al-Tadzkir min Kalam al-Khabir. Karya ini tampak “sengaja” ditulis untuk meng-counter kebijakan-kebijakan kolonial Perancis di satu sisi, dan mengokohkan pemahaman keislaman melalui Al-Quran dan hadis di sisi lain. Bahwa Al-Quran bukan sekedar “mutiara” turun-temurun. Lebih dari itu, Al-Quran merupakan kitab petunjuk bagi manusia yang berisi norma-norma, akidah dan segala aturan dalam hidup.
Ibnu Badis sendiri bernama lengkapnya Abdul Hamid bin Muhammad al-Mustafa bin Makki bin Badis ash-Shanhaj. Ia dilahirkan di Konstantain, Aljazair pada tahun 1308 H/1889 M. Keluarga besar Ibn Badis tergolongan elit agamawan. Dengan “kasta” sosial seperti ini, menjadi wajar jika Ibn Badis memiliki latar pendidikan yang kuat dan boleh dikata mapan (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981: 705).
Baca juga: Tafsir Ibnu Abbas: Mengenal Dua Kitab yang Menghimpun Penafsiran Ibnu Abbas
Salah satu langkah yang ditempuh Ibn Badis dalam penulisan tafsirnya adalah dengan memilih surah (atau bab) tertentu dari Al-Quran (dan terkadang ayat-ayat tertentu), kemudian dikontekstualisasikan untuk memecah persoalan yang sedang hangat di masyarakat. Dengan melakukan itu, ia bermaksud untuk menyampaikan kepada orang-orang ketika itu tentang relevansi wahyu Al-Quran sebagai panduan untuk masalah sosial, ekonomi, dan politik. Dia menjadikan Al-Quran untuk melawan asimilasi, feminis, dan terutama terhadap sufi.
Bagi Ibn Badis, tafsir tidak hanya merupakan wahana penting untuk memajukan ide tetapi juga dapat membawa reformasi dan kebangkitan. Dia seolah mencoba menawarkan interpretasi dari perspektif baru terhadap seluruh Al-Quran. Ibn Badis, tidak seperti modernis muslim (Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 1982: 5-7), menerima dan menghargai nilai tradisi sejarah tafsir, namun sangat disayangkan hasil ceramah-ceramahanya tidak dibukukan secara baik, sehingga yang tersisa hanya dalam majalah Syihab. Diantara gerakan reformis Ibnu hadis adalah sebagai berikut:
-
Larangan taat kepada orang kafir dan perintah jihad dengan Al-Quran
Ibn Badis menjelaskan bahwa adanya larangan patuh kepada orang kafir karena mereka termasuk golongan musuh Allah, prilaku yang dilakukannya akan membawa pada kekufuran. Namun, secara garis besar, larangan ini mencakup semua yang bertentangan dengan Islam seperti menjauhi maksiat, bahkan juga termasuk didalamnya adalah diam ketika melihat kekufuran yang terjadi, sehingga muncullah perintah untuk berjihad yang kemudian diperjelas dengan nash Al-Quran dalam surat Alfurqan ayat 52:
فَلَا تُطِعِ ٱلْكَٰفِرِينَ وَجَٰهِدْهُم بِهِۦ جِهَادًا كَبِيرًا
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan Al Quran dengan jihad yang besar”
Ibnu Badis melanjutkan penafsirannya, bahwa maksud jihad dengan Al-Quran bukan berarti menafikan hadis Nabi, melainkan untuk memahami ayat Al-Quran diperlukan hadis Nabi. Artinya, segala risalah yang dibawa oleh Nabi baik berupa perkataan, perbuatan, sifat serta pengakuan Nabi tidak lain adalah cerminan dari Al-Quran itu sendiri (Ibnu Badis, Tafsir Ibnu Badis, 1981: 189). Seruan Ibn Badis ini, sudah termasuk jihad bi al-hikmah terhadap praktek kekukufuran dan sikap kolonial Prancis yang sudah meninabokkan masyarakat Aljazair.
Baca juga: Sejarah Penomoran Ayat Mushaf Al-Quran dari Jerman hingga Turki
2.Urgensitas akademik berdasar budi
Ibnu Badis juga menyerukan pentingnya pendidikan dan ilmu pengetahuan yang didasari dengan akhlak yang mulia. Ilmu yang benar dan akhlak yang kuat merupakan dua pondasi dasar tercapainya kesempurnaan manusia. Akal adalah salah satu keistimewaan manusia sekaligus sarana untuk menyerap ilmu pengetahuan. Karena itu, keyakinan, perkataan serta perbuatan manusia harus dilandasi ilmu. Al-Quran memuat dalil-dalil akidah dan dasar-dasar hukum yang diperjelas dengan penjelasan hadis Nabi. Para ahl al-ilm harus menjelaskan dalil-dalil Al-Quran dan sunnah Nabi dalam dakwah dan fatwa mereka dengan tujuan mendekatkan masyarakat awam pada dasar dan pondasi agama demi tercapainya kebaikan bersama (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981: 94-99).
Urgensi peran akal dalam memahami dalil-dalil agama juga harus diimbangi dengan akhlak yang mulia. Setiap muslim harus mengaplikasikan ajaran agama di setiap sendi kehidupannya dengan membiasakan bertutur kata yang santun dan prilaku mulia, baik dengan sesama muslim ataupun non muslim. Di antara etika muslim yaitu menghindari ujaran-ujaran kebencian yang dapat memicu perpecahan agar kedekatan antar sesama dapat terjalin dan rasa kasih sayang dapat tertancap dalam jiwa masing-masing, maka stabilitas keamanan dan bangunan peradaban dapat terwujud.
Baca juga: Buya Hamka, Mufasir Reformis Indonesia Asal Minangkabau
3.Kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan
Dakwah Islam telah membebaskan perempuan dari “kebrutalan” laki-laki. Penafsiran Ibn Badis tentang Islam menyatakan bahwa seorang wanita, baik lajang atau menikah, adalah seorang individu dalam haknya sendiri. Perempuan memiliki hak, misalnya, untuk memiliki dan mengatur harta benda dan penghasilan. Ini adalah pandangan yang dianut oleh hampir semua reformis Islam, dan ini dibagikan atau kadang-kadang diulangi secara keseluruhan oleh Ibn Badis. Dalam banyak kesempatan, Al-Quran mengingatkan orang-orang bahwa Tuhan tidak membedakan manusia, baik mereka laki-laki atau perempuan, kecuali antara mereka yang berbuat baik dan mereka yang berbuat salah.
Posisi di mana syariah menempatkan kaum perempuan diatur oleh Tuhan, yang alasannya tidak dapat diapresiasi atau dipahami oleh semua orang. Ibn Badis melihat sedikit kebutuhan untuk membela hukum ketuhanan yang menegaskan prinsip abadi persamaan di hadapan Tuhan. Al-Quran menyatakan bahwa pria dan wanita diciptakan dari satu makhluk, sedangkan martabat hanyalah berbeda dari segi fungsinya. Selanjutnya Ibn badis menamahkan pemaparannya bahwa laki-laki dan perempuan saling melengkapi (Ibnu Badis, Tafsir Ibn Badis, 1981). Wallahu a’lam[]