Rasulullah Muhammad saw. melalui hadisnya telah menyatakan bahwa ‘…ulama adalah pewaris para Nabi…’ dan di lanjutan hadis tersebut juga disampaikan bahwa warisan para Nabi tersebut bukan berupa materi, seperti harta, tahta maupun ketenaran, warisan yang dimaksud adalah berupa warisan ilmu. Habib Jindan dalam pidatonya di satu kesempatan mensyarahkan warisan ilmu yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah ilmu tawaduk, sifat rendah hati.
Warisan para Nabi yang berupa ilmu tawaduk ini tercermin dalam doa-doa mereka yang tercatat dalam Alquran dan hadis. Sebut saja seperti doa Nabi Adam a.s., doa Nabi Yunus a.s., doa Nabi Musa a.s., dan doa Nabi Muhammad saw.
Doa Nabi Adam dan Hawwa dalam surah al-A’raf [7]: 23
قَالَا رَبَّنَا ظَلَمْنَآ اَنْفُسَنَا وَاِنْ لَّمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ
Keduanya (Nabi Adam dan Hawwa) berkata, “Ya Tuhan kami, kami telah menzalimi diri kami sendiri. Jika Engkau tidak mengampuni kami dan tidak merahmati kami, niscaya kami termasuk orang-orang yang rugi.”
Doa Nabi Yunus dalam surah al-Anbiya’ [21]: 87
وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ
(Ingatlah pula) Zun Nun (Yunus) ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya. Maka, dia berdoa dalam kegelapan yang berlapis-lapis,493) “Tidak ada tuhan selain Engkau. Maha Suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang zalim.”
Doa Nabi Musa dalam surah al-Qasas [28]: 16
قَالَ رَبِّ اِنِّيْ ظَلَمْتُ نَفْسِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَغَفَرَ لَهٗ ۗاِنَّهٗ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Dia (Musa) berdoa, “Ya Tuhanku, sesungguhnya saya telah menzalimi diri saya sendiri, maka ampunilah aku.” Dia (Allah) lalu mengampuninya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Doa Nabi Muhammad saw. yang Diajarkan ke Abu Bakar
عَنْ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ :أَنَّهُ قَالَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ: عَلِّمْنِي دُعَاءً أَدْعُو بِهِ فِي صَلَاتِي. قَالَ: قُلْ: اللَّهُمَّ إِنِّي ظَلَمْتُ نَفْسِي ظُلْمًا كَثِيرًا، وَلَا يَغْفِرُ الذُّنُوبَ إِلَّا أَنْتَ، فَاغْفِرْ لِي مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ، وَارْحَمْنِي، إِنَّك أَنْتَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ
Hadis dari Abu Bakar. Beliau berkata kepada Rasulullah saw., ‘ajarkan kepada saya sebuah doa yang akan saya baca di dalam salat saya.’ Kemudian Rasulullah saw. menjawab, ‘bacalah doa ini, ‘ya Allah, sungguh saya telah menzalimi diri saya dengan kezaliman yang banyak. Tiada yang bisa mengampuni dosa kecuali Engkau, maka ampunilah saya dengan pengampunan yang bersumber dariMu dan rahmatilah saya. Sungguh Engkau Maha Pengampun lagi Maha Pengasih. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Baca Juga: Meneladani Cara Tobat Nabi Adam
Tawaduk Menyikapi Keterbatasan Diri
Berdasar pada penjelasan al-Qurtubi dalam tafsirnya, konteks ayat doa di atas berbeda-beda, sebut saja doa Nabi Adam yang diucapkan setelah melanggar perintah Allah untuk tidak memakan buah khuldi; doa nabi Yunus diucapkan ketika berada dalam kegelapan perut ikan, dan menyadari kesalahannya yang lari dari kaumnya; sementara doa Nabi Musa dilantunkan setelah beliau menyadari kesalahannya yang (tidak sengaja) membunuh seseorang.
Jika diperhatikan lebih lanjut, dalam perbedaan konteks doa tersebut akan didapati ekspresi yang sama dari para Nabi, yaitu pengakuan kesalahan dan penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat oleh para Nabi pemilik doa. Bagian ini terlihat dalam frasa ‘…saya (kami) telah menzalimi diri saya (kami)…’.
Pada bagian ini, tergambar bagaimana profil para Nabi yang merupakan utusan (langsung) Allah dalam menyikapi keterbatasan diri mereka ketika mereka melakukan kesalahan. Mereka tidak menyalahkan orang lain, pun juga komplain dan tidak terima atas takdir Allah terhadap mereka. Mereka dengan rendah hati mengakui kekurangan, kekhilafan dan kesalahan mereka. Mereka menyesalinya dan bertaubat atas kesalahan tersebut.
Tidak lupa dalam kerendahhatian atas pengakuan dan penyesalan tersebut, terselip ketauhidan yang sangat menonjol, yaitu frasa ‘….tidak ada yang mengampuni dosa kecuali Allah…’. Bagian ini juga yang digarisbawahi oleh Ibn Hajar al-Asqalani ketika mensyarahi hadis doa yang diminta oleh Abu Bakar.
Warisan para Nabi berupa ilmu tawaduk ini menunjukkan bahwa bermuhasabah adalah prioritas dalam menyikapi keterbatasan diri, dan menyadari akan penghambaan kepada Allah adalah poin muhasabah yang paling utama.
Baca Juga: Keistimewaan Doa Nabi Yunus Yang Dibaca Masyarakat Banjar Pada Arba Musta’mir
Warisan Kesombongan Iblis
Berbanding terbalik dengan warisan ilmu tawaduk para Nabi, yaitu warisan sifat sombong dari Iblis. Salah satu penggambaran kesombongan Iblis yang direkam dalam Alquran terdapat pada surah al-A’raf ayat 12-13.
Pada ayat ini, Iblis merasa lebih baik dari pada Nabi Adam, oleh karena itu dia tidak mau menaati perintah Allah untuk bersujud kepada Nabi Adam. Sebab kesombongan ini pula Allah mengusir Iblis dari surga.
Jika mengikuti alur dua ayat tentang kesombongan Iblis, maka akan dipahami bahwa setidaknya dua hal yang menyebankan kesombongan iblis. Pertama, tidak menghamba kepada Allah. Hal ini tampak pada ketidakpatuhannya atas perintah dan menerima takdir dari Allah; Kedua, merasa lebih baik dari Nabi Adam yang pada dasarnya sama-sama ciptaan Allah.
Baca Juga: Tafsir Surat al-A’raf Ayat 12: Congkak Bentuk Pembangkangan Iblis terhadap Allah
Tawaduk dalam Menyikapi Perbedaan Pendapat dan Agama
Setiap agama mempunyai keyakinan masing-masing akan kebenaran ajarannya. Namun apabila hal ini dihadapkan pada kehidupan sosial, berdampingan dengan pemeluk agama lain, maka sikap yang diajarkan oleh Alquran antara lain adalah ‘untukmu agamamu, untukku agamaku’ (Q.S. al-Kafirun [109]: 6).
Mengutip penjelasan M. Quraish Shihab tentang ayat terakhir surah al-Kafirun, ‘silahkan laksanakan agama anda, beri saya juga kesempatan untuk melaksanakan agama saya, boleh jadi anda yang benar, dan boleh jadi saya yang salah, boleh jadi juga sebaliknya.’
Adapun untuk menyikapi perbedaan pendapat sesama muslim, identifikasi terlebih dahulu bahwa perbedaan yang dimaksud adalah di ranah perinciannya, bukan pada hal yang prinsip, seperti keesaan Tuhan, status nabi terakhir untuk Nabi Muhammad, berkitab suci Alquran, percaya akan hari kiamat, kewajiban salat, zaka, puasa, dan sebagainya.
Untuk menyikapi perbedaan dalam hal perincian tersebut, misal beda cara bersuci antara ulama fikih, beda cara berdoa, dan yang semacamnya, terhadap hal ini, Nabi Muhammad saw. melalui hadisnya mengapresiasi perbedaan tersebut dengan dua pahala untuk pendapat yang benar, dan satu pahala untuk pendapat yang salah.
Poin dari menyikapi perbedaan pendapat maupun perbedaan keyakinan agama yaitu dengan bersikap tawaduk, tidak menyombongkan pendapat atau agama sendiri dengan menyalahkan atau merendahkan pendapat dan agama lain yang berbeda.
Ilmu tawaduk sebagai warisan para Nabi menjadi peninggalan yang abadi, tidak seperti materi yang bisa habis setelah digunakan manfaatnya, bisa jadi karena keabadiannya ini menjadikannya sangat langka untuk dipraktikkan. Wallah a’lam.