Peradaban manusia terus mengalami dialektika perubahan seiring waktu. Di era kapitalisme, yakni hubungan sosial yang menjadikan alat-alat produksi dan pelbagai komoditas berada ditangan kaum borjuis sebagai sarana penghisapan atas kaum buruh (L. Harry Gould, 2019). Sebuah era yang eksis dan melingkupi proses pembangunan hari ini, menurut Kiai Sahal Mahfudh, telah membawa perubahan nilai religius menjadi nilai ekonomis. Artinya, langkah dan gerak manusia yang semula dinilai religius, bergeser menjadi diperhitungkan untung ruginya secara materi. Nilai ekonomis ini kian menggejala pada era tinggal landas (baca: kapitalisme).
Sebagaimana ia gambarkan, era di mana kapitalisasi makin merambah berbagai aspek kehidupan, industrialisasi mulai menjangkau semua aspek komoditas, etos kerja kian meningkat, peran keterampilan dan modal makin dominan. Perhitungan untung rugi makin kuat posisinya, sehingga nilai religius terbentur dan terlempar. Lalu Kiai Sahal merujuk pada pandangan Alquran, bahwa kehidupan dunia merupakan mata’ al-ghurur, artinya materi yang menipu manusia (Nuansa Fiqih Sosial, hal. 60-61).
Jika kita menelaah ayat-ayat Alquran, kalimat mata’ al-ghurur disebutkan dua kali, dalam Surat Ali Imran ayat 185 dan Surat Al-Hadid ayat 20. Berikut bunyi satu diantaranya, Surat Ali Imran ayat 185:
كُلُّ نَفْسٍ ذائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّما تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فازَ وَمَا الْحَياةُ الدُّنْيا إِلاَّ مَتاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahala kalian. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Baca Juga: Tafsir Surah Alhadid Ayat 23: Ciri-Ciri Zuhud
Sebagaimana pemaknaan Kiai Sahal di atas, Abu Hayyan Al-Andalusi dalam kitab al-Bahr al-Muhid fi al-Tafsir Juz 3, memaknai al-mata’ yaitu barang dan harta yang dapat menyenangkan. Sedangkan al-ghurur, berarti tipuan atau muslihat yang penuh dengan kebohongan.
Mengutip pendapat Ibnu ‘Urfah, al-ghurur adalah sesuatu yang bagus dipandang dari kemasan luarnya, tetapi dalamnya berupa hal yang dibenci, penuh kesialan (makruh) ataupun pembodohan (majhul). Maksudnya, sesuatu yang menyenangkan di dunia ini seringkali melalaikan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Seperti penafsiran Ahmad bin Musthafa Al-Maraghi pada kutipan akhir ayat di atas,
وَمَا الْحَياةُ الدُّنْيا إِلاَّ مَتاعُ الْغُرُورِ
Bahwa kehidupan kita yang penuh kesenangan, bisa berupa kelezatan makan dan minum, maupun berupa pangkat dan kedudukan, hanyalah kesenangan yang memperdayakan (mata’ al-ghurur). Karena kita senantiasa dikelabui oleh berbagai macam kenikmatan tersebut, terus menyibukkan diri dalam mendapatkan kesenangan dunia dan menolak penderitaannya. Dunia yang isinya berbagai hal-hal menyenangkan, akan menipu manusia dengan menyibukkan diri pada urusan dunia. Daripada menyempurnakan diri dengan berbagai pengetahuan dan perilaku yang baik, yang dapat mengantarkannya pada kebahagiaan akhirat (Tafsir al-Maraghi Juz 4, hal. 153).
Pandangan Kiai Sahal pun demikian, bahwa makin maju kehidupan dunianya, manusia makin melalaikan kehidupan yang kekal di akhirat nanti. Zaman kapitalisme yang dia narasikan, yang rasanya kian relevan pada hari ini. Bahwa era tinggal landas memang selalu menjanjikan kehidupan yang menggiurkan dan kesejahteraan yang spektakuler. Namun di situlah nilai-nilai iman dan tawakal terancam.
Di situ pula unsur tipuan dunia makin mendapat banyak peluang untuk menggiring nafsu manusia pada puncak keangkaramurkaannya. Di mana tawakal dan iman terancam oleh posisi ikhtiyar yang makin dominan. Oleh sebab itu, Al-Maraghi mengingkatkan kita dalam tafsirnya, sudah semestinya manusia lebih hati-hati bila berlebihan (israf) dalam menggeluti urusan dunia dan terlalu banyak menggunakan waktu untuk hal yang tidak berfaedah. Karena kesenangan dunia itu tiada batasnya. Sehingga kita tak perlu memenuhi semua kebutuhan kita di dunia, kecuali demi untuk kepentingan akhirat.
Baca Juga: Memahami Surah Ali Imran Ayat 118-120 dalam Konteks Keindonesiaan
Dalam ungkapan lain, Abu Hayyan mengutip perumpamaan dari Abdur Rahman bin Sabid: mata’ al-ghurur itu seperti bekal seorang pengambala, dalam genggamannya ada kurma dan tepung untuk makan, dan susu untuk minum. Artinya, kesenangan dunia itu cuma sedikit, tidak bakal bisa menyukupi seseorang untuk menikmatinya dan tidak bakal bisa mencapainya dengan pergi mengejarnya.
Seperti halnya watak kapitalisme, memang berhasil membawa dunia pada puncak peradabannya, tetapi ia berdenyut dengan mengejar keuntungan bagi pemilik modal tanpa mengenal batas. Sehingga banyak mengeksploitasi tenaga kerja kaum buruh, yang sama-sama manusia. Lebih lanjut lagi, banyak mengeruk sumber-sumber agraria karena dianggap sebagai komoditas, yang kemudian merusak lingkungan dan mengundang bencana.
Pada akhirnya, Kiai Sahal merujuk kembali pandangan Alquran, yang telah memberi petunjuk akan keseimbangan yang sering diformulasikan dalam kalimat al-wasath dan al-‘adlu.