Istilah kemukjizatan Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab i’jaz yang berakar pada kata a’jaza-yu’jizu’i’jaz. Kata ini memiliki makna menjadikan seseorang atau sesuatu lemah dan tidak berdaya. Pada kata tersebut kemudian ditambahkan huruf tha marbuthah di akhirnya sebagai penekanan (mubalagah) terhadap makna yang dikandungnya. Artinya, mukjizat benar-benar melemahkan dan membuat seseorang atau sesuatu tidak berdaya.
Terminologi mukjizat sebenarnya telah didefinisikan oleh pakar agama Islam, antara lain, sebagai suatu hal yang luar biasa yang terjadi melalui seseorang yang mengaku sebagai nabi, sebagai bukti kenabiannya yang ditentangkan kepada yang ragu (Mukjizat al-Qur’an). Menurut al-Himsi pengertian mukjizat ini telah berkembang dari masa ke masa seiring dengan interaksi muslim dengan penganut agama lain (Tarikh Fikrah I’jaz al-Qur’an).
Sedangkan dalam bahasa Indonesia, mukjizat diartikan sebagai kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia seperti saat Nabi Musa dapat membelah laut dengan pukulan tongkatnya. Dari sini dapat dipahami bahwa mukjizat adalah peristiwa yang sulit dipahami atau di luar nalar manusia yang terjadi melalui seorang nabi sebagai bukti kenabiannya dan sebagai sarana meyakinkan penyangkalnya.
Dalam pandangan teologis umat Islam, Al-Qur’an adalah mukjizat terbesar nabi Muhammad saw. Mukjizat ini memiliki keutamaan dibandingkan dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu yang bersifat temporal, sebab kemukjizatan Al-Qur’an tidak dibatasi oleh ruang dan waktu dan bisa dirasakan hingga akhir zaman. Karena itulah Al-Qur’an disebut sebagai mukjizat teragung (Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki).
Baca Juga: Dialektika Kemukjizatan Al-Quran dan Budaya Bangsa Arab Sebagai Bukti Moderatnya Ajaran Islam
Perbedaan yang paling mendasar antara mukjizat nabi Muhammad saw dengan mukjizat nabi-nabi terdahulu adalah kemukjizatan Al-Qur’an berupa mukjizat hissiyah dan ‘aqliyah – secara sekaligus – yang bersifat rasional, mendalam serta kekal sepanjang masa. Sedangkan mukjizat nabi-nabi terdahulu sering kali berupa mukjizat indrawi yang lokal-temporal seperti kemukjizatan tongkat nabi Musa as.
Meskipun para ulama sepakat mengenai adanya kemukjizatan Al-Qur’an, namun mereka berbeda pendapat tentang aspek mana saja yang bisa dikatakan sebagai mukjizat. Menurut al-Suyuthi – terlepas dari perdebatan aspek kemukjizatan Al-Qur’an – mukjizat pada umumnya terbagi kepada dua bentuk, yakni: mukjizat hissiyyah yang dapat ditangkap panca indera), dan ‘aqliyyah yang hanya dapat ditangkap nalar manusia (al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur`ān: 252).
Syekh Manna’ Khalil al-Qathan dalam kitabnya, Mabahits Fii Ulumil Quran, menjelaskan ada tiga aspek kemukjizatan Al-Qur’an dari sekian banyak aspek yang dikemukakam oleh para ulama. Tiga aspek ini adalah:
1. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa
Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang pertama adalah kebahasaan. Al-Qur’an turun dengan bahasa Arab yang indah melampaui keindahan bahasa dan sastra Arab masa Jahiliah. Pada saat itu mereka begitu mengagungkan bahasa arab dan sering mengadakan perlombaan syair, khutbah, petuah dan nasihat. Syair-syair yang dinilai indah akan digantung di Ka’bah sebagai penghormatan kepada penggubahnya sekaligus agar dinikmati masyarakat.
Penghargaan yang tinggi terhadap syair dan sastra Arab membuat para penyair mendapatkan kedudukan tinggi di mata masyarakat Arab. Mereka dinilai sebagai pembela kaumnya, sebab dengan syair dan gubahan mereka reputasi (pamor) suatu kaum atau seseorang dapat meningkat pesat, begitu pula sebaliknya. Mak tak heran sering ditemukan para bangsawan Arab memerintahkan penyair memuji mereka (Mukjizat al-Qur’an).
Ketika Al-Qur’an turun dengan keindahan bahasanya yang mengandung kefasihan, kesempurnaan penyampaian (bayan), keserasian kata dan kelancaran logika, maka bangsa Arab tertegun akan kemukjizatan Al-Qur’an tersebut. Sekalipun mereka memiliki pencapaian tinggi dalam sastra Arab, baik syair atau prosa, namun mereka tetap tidak berdaya menghadapi kemukjizatan Al-Qur’an dari segi bahasa (al-Naba` al-‘Adhīm).
2. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah
Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang kedua adalah isyarat ilmiah. Kemukjizatan ilmiah dalam al-Quran bukan terletak dalam teorinya yang selalu berubah. Akan tetapi, kemukjizatan Al-Qur’an terletak pada dorongannya kepada manusia agar senantiasa berpikir dan menggunakan akal. Al-Quran mendorong manusia untuk memikirkan tentang alam sekitar, dari mulai hal yang terkecil sampai yang terbesar (Mabahits Fii Ulumil Quran).
Melalui perenungan dan tadabur tersebut, manusia diharapkan sampai kepada kesimpulan tentang kemahakuasaan Allah swt sebagai Sang Pencipta yang tiada duanya. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah ini juga dapat membawa manusia mengenal lebih jauh tentang alam semesta dan keilmuan yang mungkin dapat disimpulkan darinya seperti ilmu biologi, zoologi, astronomi dan geografi.
Ada banyak orang yang keliru memahami tentang kemukjizatan Al-Qur’an dari segi isyarat ilmiah. Mereka mengira bahwa dalam Al-Quran selalu ada teori-teori ilmiah. Padahal, ilmu pengetahuan akan selalu berubah dan berkembang sesuai temuan-temuan mutakhir. Dalam hal ini, bisa saja teori terdahulu difalsifikasi oleh teori terbaru. Jika “cocoklogi” teori dipaksakan, maka Al-Quran mungkin akan terkesan salah atau keliru manakala terjadi pergeseran teori.
3. Kemukjizatan Al-Qur’an dari segi syariat
Aspek kemukjizatan Al-Qur’an yang ketiga adalah syariatnya. Dalam sejarah umat manusia, terdapat berbagai doktrin, sistem dan perundang-undangan (syariat atau hukum). Itu semua – biasanya – bertujuan untuk mencapai kebahagiaan individu atau kelompok dalam kehidupan masyarakat. Namun tidak ada satu pun dari hal tersebut yang dapat menyaingi keindahan dan kebesaran syariat atau Al-Qur’an.
Baca Juga: Al-Quran Adalah Mukjizat, Ini 6 Bukti Kehebatannya
Menurut pandangan umat Islam, bisa dikatakan bahwa Al-Qur’an mengandung hukum atau syariat yang paling ideal dan undang-undang yang paling lurus bagi kehidupan manusia. Al-Qur’an telah memberikan aturan dan tuntunan secara universal kepada manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, mulai dari yang bersifat individual hingga komunal (Mabahits Fii Ulumil Quran).
Meskipun secara kasat mata syariat Al-Qur’an terlihat tidak adil dan sebagainya, namun sesungguhnya di balik itu ada kesempurnaan hukum yang tak terkira. Bisa dikatakan seluruh syariat Al-Qur’an, tanpa terkecuali, memuat hikmah yang luar biasa seperti hukum hudud, aturan waris, dan ketentuan transaksi keuangan. Dari syariat itu dapat digali nilai ideal moral yang dapat digunakan dalam aturan masyarakat sekalipun dalam bentuk berbeda. Wallahu a’lam.