BerandaTafsir TematikTafsir Tarbawi3 Pendidikan Yang Harus Ditanamkan Sejak Dini Menurut Luqman al-Hakim

3 Pendidikan Yang Harus Ditanamkan Sejak Dini Menurut Luqman al-Hakim

“Yang hilang dari kita adalah akhlak”, demikianlah kata Quraish Shihab dalam bukunya. Hari-hari ini kita merasakan betul betapa rendahnya akhlak peserta didik dalam berinteraksi, baik antar sesama teman, maupun kepada orang tua. Tidak hanya persoalan degradasi moral, problem akidah (keimanan) pun disepelekan (baca: diremehkan), padahal kata Muhammad Iqbal dalam Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, intisari agama adalah keimanan.

Pendidikan keimanan (akidah) menjadi krusial ketika dihadapkan dalam situasi yang multikultural. Problematika berikutnya dalam pendidikan ialah kepatuhan terhadap syariat Islam yang formalistik, misalnya ibadah salat lima waktu, zakat, puasa dan seterusnya. Oleh karenanya, tulisan ini hendak mengeksplorasi tiga macam bentuk pendidikan yang harus ditanamkan sejak dini kepada peserta didik dalam perspektif Luqman al-Hakim.

Pendidikan Akidah

Pertama kali yang diajarkan Luqman kepada anaknya ialah pendidikan akidah (keimanan). Artinya, Luqman tak henti-hentinya menanamkan sejak dini akan keimanan kepada Allah Swt sebagai Dzat Yang Maha Esa, Dzat yang harus disembah, ditaati segala perintahnya dan dijauhi larangan-Nya. Hal ini diabadikan oleh Allah Swt dalam Q.S. Luqman [31]: 13,

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.” (Q.S. Luqman [31]: 13).

Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan menafsiri ayat ini bahwa sesungguhnya Allah, melalui ayat ini, mengingatkan kepada Nabi Muhammad saw akan besarnya dosa syirik. Al-Tabari mengistilahkan syirik ini dengan li khatha’in minal qauli adzhim (suatu kesalahan dan perkataan yang benar-benar amat besar) sehingga mustahil Allah Swt mengampuninya.

Sedangkan al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib memaknai perbuatan syirik bahwa sesungguhnya syirik merupakan dosa terbesar umat manusia karena merendahkan dirinya yang mana Allah memuliakannya dan menghormatinya (dzulmun fa liannahu wadh’u li nafsi al-syarif al-mukarram). Tidak jauh berbeda, al-Qurtubi dalam al-Jami’ li Ahkam Al-Quran menafsirkan ayat di atas dengan menukil qaul al-Suhail bahwa nama anak Luqman ialah Tsaran, sebagaimana disampaikan al-Tabari dan al-Qutabi.

Di samping itu, al-Qurtubi dan Al-Syaukani dalam Fath al-Qadir juga menukil pernyataan al-Qusyairi bahwa istri dan anak Luqman keduanya adalah kafir, namun Luqman gencar mendakwahkah Islam sehingga keduanya masuk Islam. Jadi, pada ayat ini, Luqman mendidik anaknya tentang larangan berbuat syirik atau mempersekutukan Allah Swt kepada sesuatu yang lain karena itu merupakan suatu kesalahan atau kedzaliman yang amat besar.

Baca juga: Nasihat-Nasihat Luqman al-Hakim Kepada Anaknya dalam Al Quran

Pendidikan Syariat (Ibadah)

Jenis pendidikan kedua yang diajarkan Luqman kepada anaknya ialah pendidikan syariat (ibadah). Setelah menanamkan materi akidah (tauhid) kepada anaknya, maka Luqman menguatkan pendidikan keimanan itu dengan pendidikan syariat, seperti ibadah salat, zakat, puasa, dan seterusnya. Luqman mengajarkan anaknya untuk salat, dan bagaimana menjalin hubungan atau berinteraksi kepada sesama (hablun minannas), serta bersikap baik terhadap sanak kerabat.

Interaksi ini termaktub dalam Q.S. Luqman [31]: 12,

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.” (Q.S. Luqman [31]: 10).

Redaksi walaqad ataina luqmana al-hikmata oleh Al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun, terjadi ikhtilaf (perbedaan pendapat) siapa yang memberi hikmah itu. Dalam hal ini, menurut al-Mawardi, ada dua qaul, yaitu ada yang mengatakan itu berasal dari Nabi sebagaimana kata ‘Ikrimah dan al-Sya’bi, dan yang kedua berasal dari seseorang yang bijak bestari, tetapi bukan Nabi.

Adapun makna hikmah dalam ayat tersebut, demikian kata al-Mawardi, ada tiga makna, yaitu 1) fahm dan ‘aql (kepahaman dan akal), sebagaimana disampaikan al-Saddi; 2) al-fiqh, al-‘aql dan al-ishabah, kedalaman ilmu agamanya, akal dan keluasan pemahamannya, sebagaimana kata Mujahid, dan 3) al-amanah (amanah).

Kemudian al-Mawadi juga mengemukakan makna bersyukur dalam ayat di atas bermakna dua hal, yaitu makna kalam (makna teks), yakni wa laqad atainahul hikmata wa syukr lillahi (sungguh kami benar-benar memberimu hikmah dan rasa syukur) dan makna kedua ialah atainahul hikmata li an yasykurallahi (sungguh kami benar-benar memberikan hikmah agar engkau bersyukur kepada-Nya).

Masih tetap al-Mawardi, makna syukur di sini terdiri dari empat aspek, yakni (1) dengan mengucap hamdalah atas anugerah nikmat yang diberikan oleh Allah swt (hamdahu ‘ala ni’amih); (2) tidak menggunakan kenikmatan itu untuk kemaksiatan (alla ya’shihi ‘ala ni’amih); (3) dia tidak mempersekutukan kenikmatan itu kepada selain Allah (alla yara ma’ahu syarikan fi ni’amihi ‘alaihi); (4) menaati segala perintah Allah sebagai wujud berterima kasih atas nikmat-Nya.

Ayat tersebut mengindikasikan rasa syukur merupakan bagian intergral dari pendidikan syariat (ibadah). Selain itu, pada ayat ke-17, Allah swt berfirman,

يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ

Wahai anakku, tegakkanlah salat dan suruhlah (manusia) berbuat yang makruf dan cegahlah (mereka) dari yang mungkar serta bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang (harus) diutamakan. (Q.S. Luqman [31]: 17).

Al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil menafsirkan ayat di atas bahwa,

يريد الأمر بالمعروف والنهي عن المنكر، والصبر على الأذى فيهما، من الأمور الواجبة التي أمر الله بها، أو من الأمور التي يُعْزم عليها لوجوبها

“Mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, dan bersabar terhadap ujian dan cobaan yang menimpa dirinya, bersabar dari hal-hal kewajiban yang telah diperintahkan Allah kepadanya atau dari hal-hal yang telah ditetapkan Allah sebagai yang wajib ditaati”.

Salah satu manifestasi pendidikan syariat yang diajarkan Luqman kepada anaknya adalah menegakkan salat, dan mengedukasi masyarakat agar senantiasa berupaya berbuat yang ma’ruf dan meninggalkan kemungkaran, serta bersabar terhadap sesuatu yang menimpanya.

Baca juga: Salat dan Amar Makruf Nahi Mungkar, Adakah Kaitannya? Simak Tafsirnya

Pendidikan Akhlak

Yang ketiga adalah pendidikan akhlak. Sebagaiman dalam artikel terdahulu, intisari pendidikan adalah peserta didik memiliki akhlakul karimah, atau dalam bahasa yang lain “pendidikan” disebut ta’dib (mengajarkan adab, sopan santun, tata krama). Dalam hal ini, Luqman mendidik anaknya untuk tetap menghormati dan berbakti kepada kedua orang tua maupun kepada yang tua, sebagaimana termaktub dalam Q.S. Luqman [31]: 14-15,

وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖ

Kami mewasiatkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun.598) (Wasiat Kami,) “Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.” Hanya kepada-Ku (kamu) kembali. Jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan-Ku dengan sesuatu yang engkau tidak punya ilmu tentang itu, janganlah patuhi keduanya, (tetapi) pergaulilah keduanya di dunia dengan baik dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku. Kemudian, hanya kepada-Ku kamu kembali, lalu Aku beri tahukan kepadamu apa yang biasa kamu kerjakan. (Q.S. Luqman [31]: 14-15)

Al-Tabari menafsirkan ayat tersebut dengan,

وعهدنا إلـيه أن اشكر لـي علـى نعمي علـيك، ولوالديك تربـيتهما إياك، وعلاجهما فـيك ما عالـجا من الـمشقة حتـى استـحكم قواك

“Dan kami titipkan kepadanya untuk mensyukuri nikmat-Ku atasmu, dan kepada kedua orang tuamu yang telah mendidik dan membesarkanmu, dan merawatmu dari kesakitan dan kesulitan di dalam dirimu sehingga engkau menjadi kuat dan pulih”.

Selanjutnya, pendidikan akhlak berikutnya adalah Luqman mengajarkan kepada anaknya agar tidak sombong atau jumawa, tidak angkuh dan tidak membangga-banggakan diri, sebagaimana Allah abadikan dalam firman-Nya di bawah ini,

وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ

Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri. (Q.S. Luqman [31]: 18)

Terakhir pesan Luqman adalah janganlah engkau menyombongkan diri, merasa paling bisa sehingga menegasikan kebenaran yang seharusnya didengar dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Pesan berikutnya adalah agar tetap hidup sederhana meskipun dititipi keilmuan yang memadai, jabatan, harta yang banyak sebab hakikatnya semua itu adalah amanah dari Allah yang harus dijaga dengan baik. Demikianlah tiga jenis pendidikan yang harus diajarkan oleh seorang pendidik kepada peserta didiknya. Wallahu A’lam.

Baca juga: Pemimpin Harus Berlaku Adil dan Menjalankan Amanah

Senata Adi Prasetia
Senata Adi Prasetia
Redaktur tafsiralquran.id, Alumnus UIN Sunan Ampel Surabaya, aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...