Gaya hidup minimalis mulai banyak dikenal dan dipelajari beberapa tahun terakhir. Trend pola hidup ini tersebar melalui buku dan tokoh yang menjalaninya. Kemudian, tak sedikit pula yang ikut beralih dan menjalani pola hidup minimalis.
Memang, hidup minimalis menawarkan pola hidup sederhana di tengah kehidupan yang kompleks ini. Dengan begitu, banyak manfaat dan kemudahan yang dirasakan begi mereka yang menjalaninya.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum
3 Pola Hidup Minimalis
Dalam buku Seni Hidup Minimalis, Francine Jay menjelaskan 10 dasar pemikiran seorang minimalis. Yang menarik, setidaknya ada tiga pola hidup minimalis -menurut penulis- yang erat kaitannya dengan nilai-nilai Qur’ani. Artinya, tiga pola hidup ini sejalan dan sejiwa dengan Al-Qur’an.
Tiga pola hidup itu adalah yang pertama, mengenali kegunaan setiap barang. Yang kedua, anda bukan barang anda. Adapun yang ketiga, hidup sederhana. Tentu masih ada 7 pola hidup lainnya, namun dalam tulisan ini akan diuraikan 3 poin saja.
Kenali Kegunaan Setiap Barang!
Mengenali kegunaan barang membuat kita mengenali kebutuhan hidup kita. Kemudian, kita mulai memikirkan kembali apakah barang-barang yang kita miliki benar-benar kita butuhkan. Setelah itu, kita akan memiliki kesadaran untuk hanya memiliki apa yang kita butuhkan, bukan sekedar apa yang kita inginkan.
Secara umum, barang yang dimaksud ini adalah segala apa yang ada di bumi. Menurut Al-Qur’an, Allah telah menjadikan segala apa yang di bumi untuk kemaslahatan manusia. Sebagaimana dalam surat Al-Baqarah ayat 29:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya: “Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kalian.”
Baca juga: Kritik Angelika Neuwirth atas Pendekatan Revisionisme Wansbrough dalam Studi Al-Quran
Kemudian, sebagai khalifah di bumi, selayaknya manusia dapat mengambil manfaat dan mengelolanya dengan baik. Selain barang-barang, bahkan binatang ternakpun telah ditundukkan untuk keberlangsungan hidup manusia. Sebagaimana dalam surat Yasin ayat 72-73:
وَذَلَّلْنٰهَا لَهُمْ فَمِنْهَا رَكُوْبُهُمْ وَمِنْهَا يَأْكُلُوْنَ وَلَهُمْ فِيْهَا مَنَافِعُ وَمَشَارِبُۗ اَفَلَا يَشْكُرُوْنَ
Artinya: “Dan Kami menundukkannya (hewan-hewan itu) untuk mereka; lalu sebagiannya untuk menjadi tunggangan mereka dan sebagian untuk mereka makan. Dan mereka memperoleh berbagai manfaat dan minuman darinya. Maka mengapa mereka tidak bersyukur?”
Menurut Qurasih Shihab, ayat ini berbicara tentang anugerah besar dari Allah kepada manusia. Lalu, pentingnya untuk mengenali kebermanfaat binatang ternak sebagai yang kendaraan atau makanan. Artinya, pengenalan manfaat menjadi penting agar manusia tidak salah mengelola dan mengkonsumsi nikmat-nikmat Allah. Dan sikap ini merupakan bentuk rasa syukur terhadap nikmat tersebut. (Tafsir Al-Misbah, jil. 11, hal. 574)
Baca juga: Mengenal Sosok Salman Harun, Guru Besar Ilmu Tafsir yang Bersahaja
Anda Bukan Barang Anda!
Selanjutnya adalah konsep barang dan diri. Konsep ini menyebutkan bahwa diri kita bukanlah barang. Dengan kata lain, diri adalah satu hal dan barang adalah hal yang lain. Sehingga, kebahagiaan dan kesedihan kita tidak ditentukan oleh barang, melainkan kualitas diri kita masing-masing.
Pola hidup semacam ini membebaskan kita dari keterikatan dengan barang. Orang yang terikat barang bisa digambarkan sepeti ini. Seseorang yang memiliki mobil bagus akan bahagia. Namun, apabila mobil itu penyok atau hilang, maka kebahagiaan orang itu ikut penyok dan menghilang.
Gaya hidup semacam ini sejalan dengan surat Al-Hadid ayat 23:
لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَىٰ مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ ۗ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
Artinya: “(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
Berkenaan ayat ini, Asy-Sya’rawi menerangkan tentang kondisi jiwa, bahwa hendaknya jiwa tidak terpengaruh dengan kesedihan dan kebahagiaan karena barang. Dengan begitu, jiwa akan merasa tenang, tidak mudah gelisah dan tetap berada pada kondisi seimbang atas keataan pada Allah. (Tafsir Asy-Sya’rawi, Hal. 14953)
Dalam kajian tasawuf, ayat ini berkaitan dengan sifat zuhud. Zuhud bukan dalam arti tidak boleh memiliki barang-barang, akan tetapi kemampuan untuk tidak terikat oleh barang. Sehingga, tidak sedih atau terlampau bahagia dengan silih bergantinya barang.
Baca juga: Hukum Nun Mati dan Tanwin: Hukum Idzhar Dilengkapi dengan Contoh dalam Al-Quran
Hidup Sederhana
Gaya hidup yang terakhir adalah kesederhanaan hidup. Hidup yang sederhana adalah hidup dalam kecukupan. Artinya, hidup dalam posisi yang seimbang, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Pola ini diyakini dapat mendatangkan kebahagiaan hidup.
Prinsip minimalis yang terkenal adalah “setelah kebutuhan dasar terpenuhi, kebahagiaan kita tak lagi ditentukan oleh banyaknya barang yang dimiliki.” Implikasinya, pola konsumsi dilakukan berdasarkan kebutuhan dan kesederhanaan.
Prinsip ini berkesesuaian dengan surat Al-Furqan ayat 67:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَٰلِكَ قَوَامًا
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.”
Dalam tafsir Ibn Kathir, ayat ini menjelaskan tentang keseimbangan atau perkara pertengahan. Maksudnya, tidak boros dalam konsumsi melebihi batas kebutuhan dan tidak kikir terhadap keluarga. Akan tetapi, adil dan seimbang dalam menggunakan harta. (Tafsir Ibn Kathir, hal. 365)
Baca juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum
Selain prinsip kesederhanaan, sikap hidup ini dekat dengan rasa cukup atau dalam Islam dikenal dengan Qana’ah. Sifat yang melahirkan kesadaran untuk menerima, rela dan menysukuri apa yang dimiliki. Karena tidak ada rasa cukup bagi mereka yang menganggap bahwa rasa cukup itu masih kurang.
Semoga melalui 3 pola hidup minimalis ini dapat menginspirasi kita untuk lebih hidup secara Qur’ani. Terlepas dari asal muasal hidup minimalis ini, dari Jepang atau sedang trend di Amerika, kita tetap harus belajar dari siapapun yang membawa hikmah dan kebajikan. Terlebih, jika nilai itu sejalan dengan kandungan Al-Qur’an. wallahu’alam bishawab.