BerandaUlumul Quran5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

5 Ayat yang Berbahaya bila Difahami Tanpa Tahu Sabab Nuzulnya

Sikap keras kepala sebagian muslim yang nekat belajar Islam hanya lewat Al-Quran saja, perlu dikikis dengan menunjukkan bukti-bukti bahaya mempelajari Al-Quran tanpa menggunakan referensi lain. Salah satunya adalah referensi riwayat hadis yang menjelaskan sabab nuzul atau sebab turunnya suatu ayat. Berikut ini adalah 5 ayat yang berbahaya bila difahami tanpa tahu sabab nuzulnya. Penjelasan 5 ayat ini berdasarkan pendapat Imam As-Suyuthi di dalam kitab Al-Itqan (Al-Itqan/1/31):

  1. Permasalahan orang yang senang dipuji atas hal yang tidak ia lakukan

Allah berfirman:

لا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ يَفْرَحُونَ بِمَا أَتَوْا وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا فَلا تَحْسَبَنَّهُمْ بِمَفَازَةٍ مِنَ الْعَذَابِ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ

Janganlah sekali-kali kamu menyangka, bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan, janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa. Dan bagi mereka siksa yang pedih (QS: Ali-Imran [3] 188).

Saat mengetahui ayat di atas, seorang pemimpin bernama Marwan ibn Hakam sempat memiliki kesimpulan hendak menghukum setiap orang yang gembira dengan apa yang mereka lakukan, dan senang dipuji dengan apa yang tidak mereka perbuat. Namun kemudian Ibn ‘Abbas meluruskan pemahamannya, bahwa ayat itu turun berkenaan ahli kitab yang menyembuyikan kabar diutusnya Nabi Muhammad di kitab mereka. Bisa dibayangkan bila Ibn Abbas tidak memberitahukan sebab turunnya ayat di atas, mungkin akan banyak muslim disiksa tanpa ada kesalahan yang mereka lakukan.

Baca juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

  1. Permasalahan keharaman meminum khamar

Allah berfirman:

لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا إِذَا مَا اتَّقَوْا وَآمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَوْا وَآمَنُوا ثُمَّ اتَّقَوْا وَأَحْسَنُوا

Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang soleh dalam memakan makanan yang dahulu telah mereka makan, apabila mereka bertakwa serta beriman dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh. Kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebajikan (QS: Al-Maidah [5] 93).

Sekilas ayat di atas seakan menyatakan bahwa makanan yang haram dikonsumsi akan tidak menjadi haram, bila orang yang mengkonsumsinya adalah orang yang beriman dan mengerjakan amal soleh. Oleh Karena itu, tabi’in bernama ‘Utsman ibn Madh’un dan ‘Amr ibn Ma’di Yakrib pernah menyatakan khamr boleh dikosumsi berdasar ayat di atas.

Baca juga: Sabab Nuzul Surat Al-Baqarah Ayat 62 dan Ragam Makna Umat Beragama

Padahal ayat di atas turun berkenaan orang-orang yang berjihad dan mati syahid, sementara mereka pernah meminum khamr sebelum turunnya ayat yang menyatakan keharaman khamr. Tanpa memahami sebab turunnya ayat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan yang salah mengenai hukum minum khamr.

  1. Permasalahan iddah perempuan menopause

Allah berfirman:

وَاللائِي يَئِسْنَ مِنَ الْمَحِيضِ مِنْ نِسَائِكُمْ إِنِ ارْتَبْتُمْ فَعِدَّتُهُنَّ ثَلاثَةُ أَشْهُرٍ

Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) di antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya), maka masa iddah mereka adalah tiga bulan (QS: Ath-Thalaq [65] 4).

Para ulama sempat kebingungan dengan arti kata “jika kamu ragu-ragu”. Bahkan sampai ada yang menyimpulkan bila perempuan menopause tidak memiliki iddah apabila mereka tidak ragu-ragu atas status mereka. Padahal ayat di atas turun berkenaan surat Al-Baqarah yang menerangkan masa iddah dan tidak menyinggung perempuan yang belum haidl dan sudah menopause, sehingga membuat pembacanya ragu-ragu dalam menentukan hukum.

Sehingga sebenarnya maksud dari kata “jika kamu ragu-ragu” adalah, jika orang yang hendak menentukan hukum iddah merasa ragu-ragu dalam menentukan hukum iddah. Bukannya jika si pelaku iddah merasa ragu-ragu atas status dirinya. Memahami ayat di atas tanpa mengetahui sebab turunnya akan membuat kita kebingungan akan maknanya.

Baca juga: Ketahui 4 Hal Ini saat Belajar Islam dari Al-Quran Terjemah!

  1. Permasalahan keharusan salat menghadap Kiblat

Allah berfirman:

وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ

Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat. Maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah (QS: Al-Baqarah [2] 115).

Orang yang membaca ayat di atas dan tidak mengerti sebab turunnya bisa saja menyatakan bahwa menghadap kiblat pada waktu salat wajib lima waktu tidaklah wajib. Ayat di atas memang turun berkenaan tentang kiblat salat. Namun salat yang dimaksud adalah salat Sunnah saat diperjalanan.

  1. Permasalahan kewajiban ibadah Sa’i

Allah berfirman:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا

Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebagian dari syi’ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya (QS: Al-Baqarah [2] 158).

Beberapa sahabat mengambil kesimpulan bahwa ibadah sa’i tidaklah wajib. Hal ini dikarenakan sebagaimana di dalam ayat di atas, Allah menyatakan bahwa “orang yang mengerjakan sa’i tidaklah berdosa”. Hal itu menyiratkan bahwa sa’i bukanlah sesuatu hal yang dianggap penting. Padahal berdasar riwayat ‘Aisyah, ayat di atas turun berkenaan beberapa sahabat yang merasa kurang enak hati dalam melakukan sa’i, sebab ibadah itu juga dilakukan kaum jahiliyah sebelum datangnya Islam. Sehingga ayat di atas dalam rangka memberi tanggapan, bukan menyatakan suatu hukum tanpa adanya rentetan sebelumnya.

Baca juga: Sababun Nuzul Mikro dan Makro: Pengertian dan Aplikasinya

5 ayat di atas menunjukkan bagaimana berbahayanya mengambil kesimpulan dari satu ayat, tanpa disertai mempelajari referensi lain. Diantaranya tentang sabab nuzul dari ayat tersebut. Bahaya yang ditimbulkan bahkan bisa berupa bertindak dzalim pada orang yang tidak bersalah, menghalalkan sesuatu yang haram, sampai melanggar suatu hukum yang sudah disepakati ulama sebagaimana dalam permasalahan menghadap kiblat saat salat. Wallahu a’lam.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...