Keistimewaan al-Quran menjadi salah satu topik bahasan paling menarik, khususnya untuk menambah rasa cinta dan semangat untuk mempelajarinya. Topik bahasan ini juga kerapkali menjadi salah satu topik yang diangkat oleh para Ulama dalam karya mereka, termasuk salah satunya Yusuf al-Qaradlawi yang merupakan salah satu Ulama karimatik era Kontemporer yang pemikirannya menjadi salah satu rujukan otoritatif umat Islam.
Yusuf al-Qaradlawi menjadikan topik “Keistimewaan Al-Quran” sebagai pembuka salah satu karyanya yaitu, Kaifa Nata’amal ma’a al-Qur’an al-‘Adzhim? (Bagaimana Cara Kita Berinteraksi dengan al-Qur’an yang Agung?). Di dalam tulisannya itu, Yusuf al-Qaradlawi menghimpun ragam keistimewaan al-Quran menjadi 7 (tujuh) poin utama yaitu: 1) al-Qur’an Kitab Ilahiy; 2) Kitab Mahfudz; 3) Kitab Mu’jiz; 4) Kitab Mubin Muyassar; 5) Kitab al-Din Kulluh; 6) Kitab al-Zaman Kulluh;7) Kitab al-Insaniyyah Kuluha. Ketujuh poin ini akan dijelaskan secara keseluruhan melalui beberapa artikel berseri.
Faktor mendasar yang menjadikan al-Qur’an memiliki keistimewaan tentunya ialah fakta bahwa al-Qur’an meupakan kitab suci yang memuat kalimatullah. Ia merupakan kitab yang 100% berasal dari Allah Swt, baik secara lafdzhan maupun ma’nan yang kemudian disampaikan kepada al-rasul al-basyari yakni Nabi Muhammad Saw. melalui al-rasul al-malaki yakni Jibril As. Skema pewahyuannya pun berbeda dengan wahyu-wahyu lainnya sebagaimana yang dialami oleh Nabi-Nabi maupun Rasul-Rasul lain yang disampaikan seperti halnya melalui al-ru’yah al-shadiqah (mimpi).
Baca Juga: Ragam Fenomena Kezaliman Terhadap Diri Sendiri dalam al-Qur’an
Di dalam al-Qur’an bahkan ada beberapa ayat yang menunjukkan betapa al-Qur’an itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari eksistensi Tuhan itu sendiri. Sebagaimana diungkapkan pada tiga ayat di bawah ini:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِۗ قُلِ الرُّوْحُ مِنْ اَمْرِ رَبِّيْ وَمَآ اُوْتِيْتُمْ مِّنَ الْعِلْمِ اِلَّا قَلِيْلًا
Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang ruh. Katakanlah, “Ruh itu termasuk urusan Tuhanku, sedangkan kamu diberi pengetahuan hanya sedikit.” (al-Isra [17]: 85)
يُنَزِّلُ الْمَلٰۤىِٕكَةَ بِالرُّوْحِ مِنْ اَمْرِهٖ عَلٰى مَنْ يَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِهٖٓ اَنْ اَنْذِرُوْٓا اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنَا۠ فَاتَّقُوْنِ
Dia menurunkan para malaikat membawa wahyu dengan perintah-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, (dengan berfirman) yaitu, “Peringatkanlah (hamba-hamba-Ku), bahwa tidak ada tuhan selain Aku, maka hendaklah kamu bertakwa kepada-Ku.” (al-Nahl [16]: 2)
وَكَذٰلِكَ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ رُوْحًا مِّنْ اَمْرِنَا ۗمَا كُنْتَ تَدْرِيْ مَا الْكِتٰبُ وَلَا الْاِيْمَانُ وَلٰكِنْ جَعَلْنٰهُ نُوْرًا نَّهْدِيْ بِهٖ مَنْ نَّشَاۤءُ مِنْ عِبَادِنَا
Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya engkau tidaklah mengetahui apakah Kitab (Al-Qur’an) dan apakah iman itu, tetapi Kami jadikan Al-Qur’an itu cahaya, dengan itu Kami memberi petunjuk siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami. (al-Syura [42]: 52)
Kata ruh pada ketiga ayat di atas dimaknai sebagai al-Qur’an, bahkan pada al-Isra [17]: 85 sebagian Mufassir bersepakat bahwa maknanya ialah al-Qur’an. Sebab jika ditinjau dari siyaq al-kalam (konteks kalimat) maka didapati bahwa ayat sebelum dan sesudahnya berbicara tentang al-Qur’an, sehingga tidak diragukan bahwa makna ruh yang dimaksud ialah al-Qur’an. Maka dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an adalah bagian dari amrullah yang semakin mempertegas unsur ilahiyah dalam al-Qur’an itu sendiri.
Fakta ini memunculkan statement yang cukup tegas dari Yusuf al-Qaradlawi, ia berkata:
Siapapun yang ingin memahami atau menafsirkan al-Qur’an, maka hendaknya ia terlebih dahulu memperhitungkan kesiapan dirinya, kemudian mempersiapkan akal, ilmu dan jiwanya sebab sesungguhnya itu merupakan konsekuensi sebagai makhluk yang ingin menafsirkan kalam Khaliq. Makhluk tidak bisa dilepaskan dari sifat makhluk itu sendiri yang terbatas baik dibatasi oleh waktu, tempat maupun kemampuan. Sedangkan Tuhan sebaliknya, Dia tidak dibatasi oleh apapun.
Baca Juga: Memahami Pesan Q.S Al-Nisa: 1 dengan Kacamata Filosofi Kemanusiaan
Al-Qaradlawi pun melanjutkan bahwa turunnya al-Qur’an dalam bahasa Arab tidak mengubah faktanya sebagai Kalamullah, serta tidak juga mencabut sifat ilahiyah yang ada bersamanya. Sebab diutusnya Nabi dan Rasul merupakan skenario Tuhan yang bertujuan sebagai “penyambung lidah-Nya” kepada umat manusia, maka sudah semestinya risalah Tuhan disampaikan ke dalam bahasa yang bisa dipahami makhluk. Narasi yang dibangun oleh Qaradlawi ini seperti ingin menegaskan bahwa bahasa Arab bukanlah bahasa Tuhan, bahasa Arab ialah bahasa makhluk yang dipilih sebagai wasilah dalam menyampaikan al-Qur’an yang saat itu turun di tangan Nabi yang merupakan orang Arab dan para mad’u (objek dakwah) yang juga merupakan orang Arab.
Jika pada saat itu al-Qur’an tidak turun dengan bahasa Arab, maka bagaimana ayat di bawah ini dapat terealisasi?
اِنَّآ اَنْزَلْنٰهُ قُرْاٰنًا عَرَبِيًّا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
Sesungguhnya Kami menurunkannya sebagai Qur’an berbahasa Arab, agar kamu mengerti. (Yusuf [12]: 2). Wallah a’lam.