Belakangan ini terjemah Al-Qur’an sering mendapat sorotan oleh khalayak ramai, terutama para ahli dan pengkaji Al-Qur’an. Sebab, beberapa pendakwah kadangkala menyampaikan nasihat hanya berdasarkan terjemah Al-Qur’an tanpa melihat makna ayat secara mendalam. Akibatnya, makna ayat Al-Qur’an mengalami distorsi signifikan. Misalnya, surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 yang berbicara tentang legalitas agama Islam disalahpahami sebagai ayat justifikasi untuk menyalahkan agama orang lain.
Memahami surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 – yang berbicara tentang legalitas agama Islam – sebagai dalil bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang diterima Allah swt tidaklah keliru. Karena pemahaman seperti ini sesuai dengan literal ayat. Hanya saja, terjemahan populer ini belum sepenuhnya mengungkap makna ayat tersebut, bahkan pada kondisi tertentu dapat menimbulkan kerancuan dan fanatisme dalam beragama.
Apakah Islam adalah satu-satunya Agama yang diterima Allah Swt?
Allah swt berfirman:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَ اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْ ۗوَمَنْ يَّكْفُرْ بِاٰيٰتِ اللّٰهِ فَاِنَّ اللّٰهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ ١٩
“Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam. Tidaklah berselisih orang-orang yang telah diberi Kitab kecuali setelah mereka memperoleh ilmu, karena kedengkian di antara mereka. Barangsiapa ingkar terhadap ayat-ayat Allah, maka sungguh, Allah sangat cepat perhitungan-Nya.” (Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19).
Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 di atas secara umum berbicara mengenai legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Sebagian orang memahami ayat ini sebagai alat justifikasi pembenaran agama Islam di atas agama-agama lain di dunia. Pemahaman tersebut biasanya mengacu pada terjemah Al-Qur’an. Misalnya, terjemah Kemenag pada tahun 2002 memaknainya sebagai, “Sesungguhnya agama di sisi Allah ialah Islam.”
Menurut Quraish Shihab, “Terjemah atau makna itu, walau tidak keliru, belum sepenuhnya jelas, bahkan dapat menimbulkan kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, butuh penjelasan lebih lanjut untuk memahami maknanya yang terdalam.” Agar kita menemukan pemahaman yang lengkap, maka ayat ini perlu dihubungkan dengan ayat-ayat sebelumnya.
Pada ayat sebelumnya Al-Qur’an menegaskan bahwa tiada Tuhan – yakni Penguasa yang memiliki dan mengatur seluruh alam – kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Jika demikian, ketundukan dan ketaatan kepada-Nya adalah keniscayaan yang tidak terbantahkan, sehingga hanya keislaman – yakni penyerahan diri secara penuh kepada Allah – yang diakui dan diterima di sisi-Nya.
Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 menurut Ibnu Katsir mengandung pesan Allah bahwa tiada agama di sisi-Nya, dan yang diterima-Nya dari seorang pun kecuali Islam, yakni mengikuti rasul-rasul yang diutus-Nya setiap saat hingga berakhir dengan Muhammad saw. Dengan kehadiran beliau, maka telah tertutup semua jalan menuju Allah swt kecuali jalan dari arah beliau.
Pendapat Ibnu Katsir di atas didasarkan pada Firman Allah swt surat Ali ‘Imran [3] ayat 85 yang berbunyi:
وَمَنْ يَّبْتَغِ غَيْرَ الْاِسْلَامِ دِيْنًا فَلَنْ يُّقْبَلَ مِنْهُۚ وَهُوَ فِى الْاٰخِرَةِ مِنَ الْخٰسِرِيْنَ ٨٥
“Dan barangsiapa mencari agama selain Islam, dia tidak akan diterima, dan di akhirat dia termasuk orang yang rugi.”
Menurut sebagian ulama, Islam dalam ayat ini adalah agama para nabi. Istilah Muslimin juga digunakan bagi umat-umat para nabi terdahulu. Asy-Sya’rawi misalnya, menyatakan bahwa Islam tidak terbatas hanya pada risalah nabi Muhammad saw, tetapi Islam adalah ketundukan makhluk kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam ajaran yang dibawa oleh para rasul, yang didukung oleh mukjizat dan bukti-bukti yang meyakinkan.
Hanya saja – kata Asy-Sya’rawi – kata Islam untuk ajaran para nabi yang lalu merupakan sifat saja, sedangkan umat nabi Muhammad saw memiliki keistemewaan dari sisi kesinambungan sifat itu bagi agama umat Muhammad saw sekaligus menjadi tanda dan nama baginya. Oleh sebab itu, kaum Muslimin tidak menamai ajaran agama Islam dengan Muhammadinisme.
Jika kita mencermati ayat-ayat Al-Qur’an, maka tidak ditemukan kata Islam sebagai nama agama kecuali setelah agama ini sempurna dengan kedatangan nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, tidak keliru jika kata Islam dalam surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 dimaknai dengan ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw dan sebagai bukti legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Sebab secara teologis maupun sosiologi, itulah nama ajaran yang disampaikan olehnya.
Surat Ali ‘Imran [3] ayat 19 merupakan legalitas agama Islam di sisi Allah swt. Namun kendati demikian, jangan membatasi Islam hanya pada ajaran yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Sebab, ajaran-ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu juga merupakan agama Islam. Ayat ini sebenarnya ingin menekankan bahwa siapapun – sejak Adam hingga akhir zaman – yang tidak menganut agama sesuai yang diajarkan oleh rasul utusan Allah, maka ia tertolak.
Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kata Islam memuat dua makna, yakni secara umum dan khusus. Secara umum Islam adalah agama ketundukan dan ketaatan kepada Allah yang dibawa oleh seluruh nabi dan rasul sepanjang zaman. Sedangkan Islam secara khusus adalah nama agama yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Keduanya – agama nabi terdahulu dan Islam yang dibawa nabi Muhammad adalah agama yang diterima di sisi Allah swt. Wallahu a’lam.