BerandaTafsir TematikTafsir Surat Yasin ayat 18-19: Islam Menolak Kepercayaan Sial

Tafsir Surat Yasin ayat 18-19: Islam Menolak Kepercayaan Sial

Pada pembahasan sebelumnya sudah dijelaskan tentang tafsir ayat 15-17 yang menceritakan tentang dialog para utusan dengan kaumnya. Adapun pada tulisan kali ini penulis akan membahas tafsir surat Yasin ayat 18-19 tentang penolakan Al-Quran atas kepercayaan sial oleh kaum Antokiah. Allah berfirman:

قَالُوْٓا اِنَّا تَطَيَّرْنَا بِكُمْۚ  لَىِٕنْ لَّمْ تَنْتَهُوْا لَنَرْجُمَنَّكُمْ وَلَيَمَسَّنَّكُمْ مِّنَّا عَذَابٌ اَلِيْمٌ

قَالُوْا طَاۤىِٕرُكُمْ مَّعَكُمْۗ اَىِٕنْ ذُكِّرْتُمْۗ بَلْ اَنْتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُوْنَ

  1. Mereka menjawab, “Sesungguhnya kami bernasib malang karena kamu. Sungguh, jika kamu tidak berhenti (menyeru kami), niscaya kami rajam kamu dan kamu pasti akan merasakan siksaan yang pedih dari kami.”
  2. Mereka (utusan-utusan) itu berkata, “Kemalangan kamu itu adalah karena kamu sendiri. Apakah karena kamu diberi peringatan? Sebenarnya kamu adalah kaum yang melampaui batas.”

Tafsir ayat-18. Penduduk Antokiah masih tidak mau menerima seruan dari para utusan, bahkan mereka mengancam akan menyiksa utusan itu jika masih tetap keukeuh mengajak mereka kepada kebaikan. Wahbah Zuhaili menyebut bentuk siksaan yang mereka ancam berupa rajam, penjara, hingga pembunuhan.

Penduduk Antokiah merasa kehadiran para utusan itu bukan membawa kebaikan/keberuntungan, justru menghantarkan mereka pada kemalangan. Dasar mereka beranggapan demikian menurut Quraish ada kaitannya dengan kata tathoyyarna dan thoirukum terambil dari kata thair yaitu burung. Maksudnya adalah nasib, dan dalam konteks ayat ini yang dimaksud adalah nasib buruk.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Mulk Ayat 28-30: Kecaman terhadap Kaum Musyrikin Mekah

Masyarakat Jahiliyah memiliki kebiasaan melepas burung sebelum berpergian. Jika burung itu terbang dari arah kanan ke kiri, maka itu pertanda baik. Sebaliknya, jika burung itu terbang dari arah kiri ke kanan, itu pertanda buruk.  Kebiasaan itulah yang mereka yakini untuk menentukan nasib sekaligus menjadi tolak ukur anggapan mereka pada para utusan.

Kasus seperti ini seringkali terjadi, dimana sial dan mujur selalu disandarkan pada peristiwa-peristiwa yang berbarengan dengan keduanya. Bukan pada faktor yang menyebabkan keduanya itu terjadi. Sejatinya, keyakinan semacam inilah yang membuat kedangkalan berfikir serta menjadi penyakit yang akan terus meluas dan bersanad jika tidak disadari sesegera mungkin.

Karena itu pada ayat-19, Allah menegaskan kesalahan berpikir yang demikian melalui dialog para utusan dengan kaumnya. Mengutip pendapat Qurthubi bahwa kemalangan yang menimpa mereka itu bukan karena kehadiran para utusan, tetapi disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri, artinya tidak ada kesialan dalam ajaran Islam.

Senada dengan Qurthubi, Sayyid Qutb juga menilai bahwa kebaikan dan keburukan itu terikat dengan niat dan perbuatan yang mereka lakukan. Bahkan Ibnu Abbas berpendapat apa yang dilakukan oleh seseorang itu menentukan bagaimana rezeki dan takdirnya sendiri.

Menurut Ibnu Kathir kasus penduduk Antokiah ini mirip dengan kejadian pada masa Nabi Musa, dimana Fir’aun dan tentaranya meyakini kalau kemujuran yang mereka alami adalah hasil usaha mereka, namun jika terjadi kesialan mereka menyalahkan Nabi Musa dan pengikutnya, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah dalam QS. Al-A’raf [7]: 131:

فَاِذَا جَاۤءَتْهُمُ الْحَسَنَةُ قَالُوْا لَنَا هٰذِهٖ ۚوَاِنْ تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَّطَّيَّرُوْا بِمُوْسٰى وَمَنْ مَّعَهٗۗ  اَلَآ اِنَّمَا طٰۤىِٕرُهُمْ عِنْدَ اللّٰهِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Kemudian apabila kebaikan (kemakmuran) datang kepada mereka, mereka berkata, “Ini adalah karena (usaha) kami.” Dan jika mereka ditimpa kesusahan, mereka lemparkan sebab kesialan itu kepada Musa dan pengikutnya. Ketahuilah, sesungguhnya nasib mereka di tangan Allah, namun kebanyakan mereka tidak mengetahui.

Cara pandang demikianlah yang ditentang Alquran, selain karena mereka durhaka kepada Allah dan utusan-Nya, mereka juga tergolong sebagai orang-orang yang melampaui batas (musrifun).

Alhasil, mengutip pendapat Quraish Shihab, ayat ini mengajarkan kita bahwa sejak zaman Nabi terdahulu hingga Nabi Muhammad Saw. Islam sangat menolak kepercayaan yang disebut sial. Menurutnya, sial yang dipahami oleh orang-orang masa kini tidak selaras dengan ajaran Islam. Kepercayaan semacam ini justru memberikan efek negatif tidak hanya untuk individu namun juga universal.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-An’am Ayat 76-79 : Mengulik Nalar Tauhid Nabi Ibrahim

Nabi dengan tegas mengatakan “Tiada kesialan, akan tetapi aku senang dengan fa’l (optimisme)”. Para sahabat bertanya, “apa itu fa’l?’’. Nabi menjawab “fa’l adalah ucapan yang baik”. (HR. Bukhari dan Muslim melalui diwayat Anas bin Malik).

Demikian kiranya tafsir ringkas surat Yasin ayat 18-19, ikuti kelanjutan tasfir surat yasin pada tulisan-tulisan berikutnya. Semoga bermanfaat. Wallahu a’lam.

Fahmi Azhar
Fahmi Azhar
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga dan aktif di CRIS Foundation
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...