Mengenal Kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

Fahm Al-Quran Al-Hakim
Fahm Al-Quran Al-Hakim

Karya tafsir dari seorang pemikir Islam kontemporer asal Maroko ini memiliki judul lengkap Fahm Al-Quran Al-Hakim: At-Tafsir Al-Wadhih Hasaba Tartib An-Nuzul. Kitab tafsir yang ditulis oleh Muhammad Abid Al-Jabiri tersebut diterbitkan pertama kali oleh penerbit Dar al-Nasyr al-Maghribiyyah dalam bentuk tiga jilid pada bulan Oktober tahun 2008. Untuk mengenal lebih dalam kitab tersebut, simak penjelasan berikut ini.

Latar Belakang Penulisan

Abid Al-Jabiri dalam mukadimah tafsirnya, berpandangan bahwa hasil-hasil penafsiran Al-Quran selama ini cenderung dipenuhi oleh berbagai kepentingan ideologis, sehingga mengabaikan sisi objektivitas pesan dari Al-Quran. Oleh karena itu, dalam penyusunan kitab tafsirnya, ia lebih memilih menggunakan urutan kronologis (tartib nuzuli) supaya dapat memahami konteks perjalanan historis yang melingkupi sebuah teks Al-Quran.

Penyusunan tafsir secara kronologis ini juga merupakan upaya Abid Al-Jabiri untuk merekonstruksi keselarasan antara ayat-ayat Al-Quran dengan sejarah kehidupan Nabi (sirah nabawiyah). Ini berdasarkan asumsi bahwa Al-Quran dan kehidupan Nabi memiliki relasi yang tak terpisahkan. Demikian mengutip penjelasan dari oleh Wardatun Nadhiroh dalam Fahm al- al-Hakim: Tafsir Kronologis ala Muhammad Abid al-Jabiri

Baca Juga: Mengenal Muhammad Abid al-Jabiri, Mufasir Kontemporer Asal Maroko

Sistematika Susunan

Terkait sistematika susunanya, kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim mengadopsi sistematika penafsiran Al-Quran yang sesuai dengan urutan kronologi turunya wahyu atau yang lebih dikenal dengan istilah tartib al-nuzul. Pengadopsian tersebut mengakibatkan al-Jabiri memulai penafsiranya dari QS. Al-’Alaq hingga QS. An-Nashr.

Muhammad Abid Al-Jabiri dalam tafsirnya membagi periodisasi Al-Quran menjadi tujuh periode sesuai dengan periode perjalanan dakwah Nabi, yaitu: periode pertama, berisi dakwah tentang Nubuwat dan Uluhiyah.

Dalam pembagian pertama ini termuat sebanyak 27 surat, yaitu surat Al-’Alaq (1-5), Al-Muddatstsir (1-10), Al-Masad (al-Lahab), At-Takwir, Al-A’la, Al-Lail, Al-Fajr, Ad-Dhuha, As-Syarh, Al-’Ashr, Al-’Adiyat, Al-Kautsar, At-Takatsur, Al-Ma’un, Al-Kafirun, Al-Fil, Al-Falaq, An-Nas, Al-Ikhlash, Al-Fatihah, Ar-Rahman, An-Najm, ‘Abasa, As-Syams, Al-Buruj, At-Tin, dan Quraisy.

Periode kedua, berisi penjelasan dakwah tentang hari kebangkitan, pembalasan, dan kejadian-kejadian hari Kiamat. Di dalamnya termuat 12 surat, yaitu surat Al-Qari’ah, Az-Zalzalah, Al-Qiyamah, Al-Humazah, Al-Mursalat, Qaf, Al-Balad, Al-’Alaq (6-19), Al-Muddatstsir (11-56), Al-Qalam, At-Thariq, dan Al-Qamar.

Periode ketiga, berbicara tentang pelanggaran syirik dan menganggap bodoh penyembahan berhala. Terdapat 15 surat, yaitu surat Shad, Al-A’raf, Al-Jinn, Yasin, Al-Furqan, Fathir, Maryam, Thaha, Al-Waqi’ah, As-Syu’ara’, An-Naml, Al-Qashash, Yunus, Hud, dan Yusuf.

Periode keempat, berkaitan dengan perintah berdakwah secara terang-terangan dan berhubungan dengan dengan para kabilah Arab. Berisi 5 surat, yaitu surat Al-Hijr, Al-An’am, As-Shaffat, Luqman, dan Saba’.

Baca Juga: Serial Diskusi Tafsir 4 Menghadirkan Aksin Wijaya dan Wardatun Nadhiroh

Periode kelima, ketika Nabi mengalami blokade dari kaum kafir Makkah, sehingga mengakibatkan hijrah ke Habasyah. Pada periode ini turun 8 surat, yaitu surat Az-Zumar, Ghafir, Fussilat, As-Syura, Az-Zukhruf, Ad-Dukhan, Al-Jatsiyah, dan Al-Ahqaf.

Periode keenam, pada saat mempererat hubungan dengan para kabilah setelah blokade dan persiapan hijrah Nabi ke Madinah. Berisi surat Nuh, Adz-Dzariyat, Al-Ghasyiyah, Al-Insan, Al-Kahfi, An-Nahl, Ibrahim, Al-Anbiya’, Al-Mu’minun, As-Sajdah, At-Thur, Al-Mulk, Al-Haqqah, Al-Ma’arij, An-Naba’, An-Nazi’at, Al-Infithar, Al-Insyiqaq, Al-Muzzammil, Ar-Ra’d, Al-Isra’, Ar-Rum, Al-Ankabut, Al-Muthaffifin, dan Al-Hajj.

Periode ketujuh, ketika Rasul berada di Madinah. Surat yang turun pada masa ini antara lain adalah yaitu Al-Baqarah, Al-Qadr, Al-Anfal, Ali Imran, Al-Ahzab, Al-Mumtahanah, An-Nisa’, Al-Hadid, Muhammad, At-Thariq, Al-Bayyinah, Al-Hasyr, An-Nur, Al-Munafiqun, Al-Mujadalah, Al-Hujurat, At-Tahrim, At-Taghabun, As-Shaff, Al-Jumu’ah, Al-Fath, Al-Maidah, At-Taubah, An-Nashr.

Baca Juga: Tafsir At-Tawhidi, Pelopor Hadyu Al-Quran dalam Kitab Tafsir

Sumber dan Metode Penafsiran

Dalam proses penafsirannya, Fahm Al-Quran Al-Hakim merujuk kepada beberapa kitab tafsir baik klasik maupun kontemporer, di antaranya adalah kitab Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an karya Ibnu Jarir al-Thabari, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi, Mafatih al-Ghaib min al-Qur’an al-Karim karya Fakhruddin Ar-Razi, Tafsir al-Kasyaf karya al-Zamakhsyari, Tafsir al-Wahidi karya al-Hakim al-Naisaburi, dan al-Tahrir wa al-Tanwir fi Tafsir al-Qur’an karya Ibnu ‘Asyur.

Kemudian, dalam menganalisis sisi historis Al-Quran, Abid Al-Jabiri merujuk kepada beberapa kitab sejarah (sirah), yaitu Sirah Ibn Ishaq karya Ibnu Hisyam, al-Sirah al-Halabiyah karya Abdullah al-Khafaji, Tarikh al-Thabari karya Ibnu Jarir al-Thabari, dan Kitab Tabaqat al-Kubra karya Ibnu Sa’d. (Abid al-Jabiri, Fahm al-Qur’an al-Hakim, jilid 3)

Terkait metode penafsirannya, M. Faishol dalam Hermeneutika Kritis: Pembacaan Al-Qur’an Abed al-Jabiri menjelaskan bahwa Abid Al-Jabiri menggunakan dua metode utama dalam proses penafsiran Al-Quran yaitu al-Fashl dan al-Washl. Dua metode ini merupakan bentuk implementasi dari misi Abid al-Jabiri dalam membaca Al-Quran, yaitu:

جَعْلُ الْقُرْآنَ مُعَاصِرًا لِنَفْسِهِ وَمُعَاصِرًا لَنَا

“Menjadikan Al-Qur’an aktual untuk masanya dan aktual untuk konteks zaman kita”

Langkah pertama, untuk menjadikan Al-Quran kontemporer pada masanya (mu’ashiran linafsihi), maka dibutuhkan metode al-Fashl. Metode ini memiliki tugas agar setiap penafsir atau pengkaji Al-Quran menjaga jarak antara dirinya sebagai subjek dan materi yang dijadikan sebagai objek (fashl al-qari’ min al-maqru’).

Baca Juga: Hassan Hanafi dan Paradigma Tafsir Pembebasan; Sebuah Refleksi Metodologis

Pada langkah pertama ini, penafsir harus melepas segala kepentingan, baik berupa kepentingan ideologis, politik, kelompok, dan lain sebagainya dalam memahami teks Al-Quran. Langkah ini penting dilakukan untuk menemukan otentisitas makna dan menghasilkan pemahaman teks Al-Quran yang objektif.

Setelah menemukan makna otentik Al-Quran melalui metode al-Fashl, maka langkah selanjutnya adalah menjadikan Al-Quran kontemporer pada era saat ini (mu’ashiran lana). Dalam mewujudkan hal tersebut, Abid Al-Jabiri kemudian mengembangkan makna tersebut dengan metode al-Washl.

Maksud metode al-Washl adalah mempertautkan kembali antara pembaca dengan objek bacaan dalam konteks kekinian (washl al-qari’ ila al-maqru’). Sehingga metode ini berfungsi sebagai proses aktualisasi makna ayat Al-Qur’an agar sesuai dengan konteks zaman kontemporer saat ini.

Sementara itu, Abdullah Afandi dalam Objektivitas dan Rasionalitas Penafsiran Al-Qur’an: Perspektif Abid al-Jabiri menyatakan bahwa ada iga proses analisis yang dilakukan oleh Abid Al-Jabiri dalam menyusun Fahm Al-Quran Al-Hakim.

Pertama, analisis struktural (al-mu’alijah al-bunyawiyah), yaitu menganalisis terhadap segala keterkaitan antara berbagai unsur yang telah membentuk makna dari sebuah teks. Dalam proses analisis tersebut, Abid Al-Jabiri menggunakan komponen-komponen ilmu kebahasaan, seperti balaghah, nahwu, dan lain

Kedua, analisis historis (al-tahlil al-tarikhiy), yaitu proses analisis terkait segala fenomena historis yang melingkupi sebuah teks Al-Quran. Analisis ini bertujuan untuk menghubungkan pemikiran teks dengan konteks historis, budaya, ideologi politik, dan dimensi sosial yang menaungi teks tersebut.

Ketiga, kritik ideologi (al-ithrah al-idiulujiyah), yang berfungsi untuk menganalisis persoalan-persoalan ideologis yang ikut mempengaruhi pemahaman sebuah teks.

Demikian kurang lebih informasi tentang Fahm Al-Quran Al-Hakim, salah satu karya tafsir nuzuli yang cukup representatif. Wallahu A’lam