Dalam pembahasan ulumul Quran, kita mengenal istilah muhkam dan mutasyabih. Apa itu muhkam dan mutasyabih dan bagaimana pendapat ulama terkait keduanya? Berikut ulasannya di bawah ini.
Term muhkam dan mutasyabih merupakan istilah yang berasal dari bahasa Arab. Muhammad Bakar Isma’il dalam Dirasat fi ‘Ulum Al-Quran mengatakan menurut ahli tafsir, muhkam secara bahasa berasal dari kata al-Itqan dan al-Ihkam. Al-Itqan artinya lafal yang mengokohkan sesuatu atau perkatan dengan memisahkan berita yang benar dari yang salah atau urusan yang lurus dari yang sesat.
Sedangkan muhkam yang berasal dari kata al-Ihkam, menurut Manna Khalil Qattan dalam Mabahits-nya, artinya seperti lafal “saya menahan binatang itu”. Al-Hukm berarti memutuskan dua perkara, maka kata “hakim” bearti orang yang mencegah kezaliman dan memisahkan atau mendamaikan kedua pihak yang bersengketa atau berseteru. Pengertian tersebut senada dengan Nashiruddin Baidan dalam Wawasan Baru Ilmu Tafsir, di mana seseorang dapat tercegah dari berbuat sesuatu di luar ketentuan tersebut dan ketentuan itu harus sesuatu yang jelas.
Adapun term mutasyabih secara etimologi berasal dari kata at-tama’sil. Dalam term yang lain disepadankan dengan kata tasyabuh (menyerupai yang lain). Jika diderivasikan, syubhah adalah keadaan di mana salah satu dari dua hal tidak dapat dibedakann dengan yang lain karena ada kemiripan (similatiry).
Menurut Az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum Al-Quran, mutasyabih juga berarti samar, yang membawa pada keraguan. Munculnya keraguan karena adanya kemiripan kedua benda tersebut sehingga sulit untuk mencari perbedaannya. Sebagai contoh, firman Allah swt yang berbicara tentang buah-buahan di surga, itu serupa atau sepadan dengan sebagian yang lain dalam hal warna, tidak dalam hal rasa dan hakikat.
Baca juga: Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah
Ragam Pendapat Ulama
Dalam kajian ilmu tafsir, persoalan muhkam dan mutasyabih telah memunculkan banyak pendapat dan opini dikalangan ahli tafsir. Al-Quran telah memuat kedua terminologi tersebut yaitu Q.S. Ali Imran [3]: 7,
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرّٰسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ
Ayat di atas memuat istilah muhkamat dan mutasyabihat dalamm posisi paradoks. Istilah pertama berkonotasi pada sesuatu yang jelas dan terang dalalahnya, sementara yang kedua menunjukkan kepada sesuatu yang samar dalalahnya.
Dalam konteks ini, pertanyaannya adalah apakah Al-Quran seluruhnya muhkam atau semuanya mutasyabih atau mengandung muhkam mutasyabih secara bersamaan? Bermula dari pertanyaan ini, para ulama berbeda-beda menyikapinya. (Amir ‘Abdul Aziz dalam Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an, Subhi as-Salih dalam Mabahis fi ‘Ulum Al-Quran, Muhammad ‘Abdul ‘AzIm az-Zarqani dalam Manahil al-‘Irfan fi Ulum Al-Quran)
Pertama, Al-Quran mengandung muhkam dan mutasyabih. Asumsi ini didasarkan pada Q.S. Ali Imran: 7,
هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ
Ayat tersebut secara jelas memuat istilah muhkamat dan mutasyabihat. Hal ini secara jelas pula mengungkapkan pola yang terkandung dalam Al-Quran.
Kedua, bahwa Al-Quran seluruhnya bersifat muhkam. Dasar asumsi ini berasal dari Q.S. Hud [11]: 1,
الۤرٰ ۗ كِتٰبٌ اُحْكِمَتْ اٰيٰتُهٗ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِنْ لَّدُنْ حَكِيْمٍ خَبِيْرٍۙ
Asumsi ini juga bermakna bahwa Al-Quran seluruhnya muhkam dalam artian kata-katanya tetap fasih, membedakan yang hak dan batil, antara yang benar dan dusta. Menurut al-Qattan, inilah yang dimaksud dengan al-Ihkam al-‘amm atau muhkam dalam pengertian yang umum.
Baca juga: Ketahui Hikmah Adanya Ayat-Ayat Mutasyabihat dalam Al-Quran
Ketiga, bahwa Al-Quran seluruhnya bersifat mutasyabih. Asumsi ini didasarkan pada Q.S. Az-Zumar: 23,
اَللّٰهُ نَزَّلَ اَحْسَنَ الْحَدِيْثِ كِتٰبًا مُّتَشَابِهًا مَّثَانِيَۙ تَقْشَعِرُّ مِنْهُ جُلُوْدُ الَّذِيْنَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ ۚ
Maksud dari asumsi ini adalah Al-Quran sebagiannya serupa dengan sebagian yang lain dalam hal kesempurnaan dan keindahan, sebagiannya membenarkan sebagian yang lain, serta sesuai pula maknanya. Inilah yang kemudian dinamakan dengan at-tasyabuh al-‘amm atau mutasyabih dalam artian umum.
Dari ketiga pendapat tersebut, nampaknya asumsi atau pendapat pertamalah yang banyak dibahas lebih mendalam dan mendetail oleh para ahli tafsir. Persoalan yang kemudian muncul dari asumsi tersebut adalah terkait pengertian muhkam dan mutasyabih, bagaimana cara berinteraksi atau berdialektika dengan ayat-ayat muhkam dan mutasyabih. Dari sini juga memunculkan ragam pendapat yang tak kalah serunya.
Ibnu Abbas, misalnya, berpendapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang muhkamat adalah menjelaskan apa yang dihalalkan dan diharamkan, yang belum dibatalkan dan yang harus diimplementasikan (mubayyinat bil halal wal haram lamm tunsakh yu’malu biha). Contoh kategori ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang mengandung prinsip bagi manusia, seperti anti kemusyrikan, berbakti kepada orang tua, larangan membunuh, berzina, mencuri dan seterusnya.
Sedangkan ayat mutasyabihat adalah ayat-ayat yang mengandung huruf terpisah, seperti huruf muqatha’ah, alif-lam-mim-, shad, nun yang berada pada awal surat Al-Quran dan dikenal dengan fawatih al-suwar. Selain itu ayat-ayat yang sudah dibatalkan dan yang tidak dilaksanakan juga termasuk dalam kategori mutasyabihat.
Pendapat yang berbeda pun dikemukakan oleh Al-Qaradawi dalam Kaifa Nata’amalu ma’a Al-Quran al-Adzim, ia berpendapat bahwa muhkam adalah ayat yang jelas dengan sendirinya menunjukkan pada maknanya dengan terang, dan tidak memperlihatkan kesamaran baik dari segi lafal ataupun dari segi makna. Sedangkan yang dimaksud dengan mutasyabih adalah lafal yang sukar dalam penafsirannya karena adanya keserupaan dengan yang lain, baik dari segi lafal ataupun makna. Wallahu A’lam.