“Sekali lagi agama beranekaragam, biarlah masing-masing dengan pilihan masing-masing untuk mempercayai dan melaksanakan apa yang baik dan benar. Biarlah manusia yang berbeda itu berlomba dalam kebajikan…..Masing-masing mestinya telah mempelajari agamanya dan menemukan yang benar, sehingga tidak mungkin dibenarkan dua agama berbeda dalam saat yang sama.” (Islam yang Saya Anut: 48). Kutipan dari Prof. Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir terkemuka Indonesia, sekilas memberikan gambaran pandangannya terhadap konsep kerukunan umat beragama.
Namun, belakangan ini sikap keagamaan umat banyak dijumpai kekeliruan. Seperti sikap fanatik buta, eksklusif, dan mudah menyalahkan kelompok lain. Sementara wacana toleransi dan pluralisme terkadang terjebak dalam jurang runtuhnya akidah yang dianutnya. Lalu bagaimana Quraish Shihab menyikapi fenomena tersebut? Berikut akan penulis jelaskan tiga sikap Quraish Shihab perihal konsep kerukunan umat beragama.
Ayat-ayat Kerukunan Umat Beragama
Konsep kerukunan umat beragama dalam al-Qur’an bisa dijumpai dalam beberapa ayat. Pertama, ayat tentang keselamatan umat beragama seperti dalam QS. al-Baqarah[2]: 62.
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَٱلَّذِينَ هَادُوا۟ وَٱلنَّصَٰرَىٰ وَٱلصَّٰبِـِٔينَ مَنْ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلْيَوْمِ ٱلْأخِرِ وَعَمِلَ صَٰلِحًا فَلَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Sabiin, siapa saja (di antara mereka) yang beriman kepada Allah dan hari akhir, dan melakukan kebajikan, mereka mendapat pahala dari Tuhannya. Tidak ada rasa takut pada mereka, dan mereka tidak bersedih hati. (QS. al-Baqarah[2]: 62)
Kedua, ayat yang menerangkan kebebasan beragama seperti dalam QS. Yunus[10]: 99. Ayat tersebut memiliki hubungan dengan ayat yang menjelaskan terkait tidak adanya paksaan dan ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Baqarah[2] 256 dan QS. al-Kahfi [18] 29). Ketiga, ayat yang menerangkan perbedaan jenis kelamin dan asal suku bangsa manusia yang termaktub dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.
Baca juga: Surat Al-A‘raf [7] Ayat 55: Etika Berdoa Menurut Al-Qur’an
Keempat, kebebasan menjalankan ritual keagamaan umat beragama lain dan teguh atas agamanya sendiri. Hal ini seperti dijelaskan dalam QS. al-Kafirun[109]: 6.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. al-Kafirun[109]: 6)
Kerukunan Umat Beragama dalam Tafsir al-Misbah
Pendapat yang mengatakan QS. al-Baqarah[2]: 62 dijadikan sebagai toleransi, akan menjadi keliru ketika menyamakan semua agama. Adapun kaitannya dengan toleransi umat beragama, Shihab menerangkan bahwa akidah dan ibadah tidak bisa disamakan. Antara satu agama dengan agama lain tentu tidaklah sama. Islam sendiri menyatakan kebenaran agamanya seperti disebutkan dalam QS. Ali Imran[3]: 19 dan QS. Ali Imran [3]: 85.
Nilai toleransi yang bisa dipetik dalam ayat ini, menurut Shihab, yaitu bagaimana antarumat beragama hidup berdampingan secara damai. Tentang siapa yang benar di sisi Allah, adalah keputusan-Nya kelak di hari akhir. Kemudian, antara surga dan neraka merupakan hak prerogatif Allah. (Tafsir al-Misbah, vol. 1: 208).
Selanjutnya tentang kebebasan beragama (QS. Yunus[10]: 99), Quraish Shihab, menyebutkan bahwa ayat ini mengisyaratkan kepada manusia untuk berhak memilih percaya atau tidak. Tetapi, kebebasan tersebut tidak semata dari kekuatan manusia, karena semua hidayah adalah anugerah dan atas izin Allah. Hal ini seperti keterangan pada ayat setelahnya (QS. Yunus[10]: 100).
Baca juga: Isyarat Larangan Rasisme Dalam Al-Qur’an, Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 22
Lebih lanjut, Shihab menerangkan bahwa Allah sedang menguji manusia melalui anugerah-Nya berupa potensi akal untuk memilah dan memilih, beragama ataupun tidak. (Tafsir al-Misbah, vol. VI: 164) Ayat tersebut juga berhubungan dengan QS. al-Baqarah[2] 256, yakni agama tidak bisa dipaksakan oleh siapa pun yang hendak memilih. Termasuk ketulusan dalam memilih agama (QS. al-Kahfi [18] 29).
Memilih salah satu agama, menurut Shihab, berarti berkewajiban dan terikat dengan segala perintah agama beserta tuntunannya. Karena hal itu menjadi konsekuensi manusia dengan Tuhannya dalam hubungan yang vertikal.
Kedua ayat di atas memberikan keterangan bahwa tidak perlu memaksakan kehendak kepada orang lain. Allah pun telah menjelaskan, kebenaran dan kesesatan adalah dua kondisi yang gamblang perbedaannya. Potensi akal manusia lah yang kemudian mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah.
Keberagaman yang diciptakan Allah, tidak lain merupakan tanda kebesaran yang nyata. Seperti perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, dan ras. Dalam hal ini, Allah menjelaskan bahwa perbedaan tersebut bermaksud agar mereka bisa saling mengenal, memahami satu sama lain seperti di jelaskan dalam QS. al-Hujurat [49]: 13.
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, vol. XII: 262, menyebutkan bahwa panggilan yang diserukan Allah dalam ayat ini, mencakup semua jenis manusia. Tidak ada perbedaan di antara suku dan bangsa. Redaksi awal ayat tersebut menjadi pengantar menuju kesimpulan bahwa yang paling bertakwa-lah yang lebih unggul di sisi Allah.
Shihab menambahkan, semakin kuat jalinan antara satu umat dengan yang lainnya, maka potensi untuk saling memberi manfaat akan semakin besar. Saling mengenal berkesempatan untuk saling mengambil pelajaran agar meningkatkan ketakwaan setiap orang. Dengan demikian, akan tercipta kedamaian dan kesejahteraan duniawi dan ukhrawi.
Baca juga: Makna Islam Sebagai Agama Perdamaian dalam Al-Quran
Hubungan antarumat beragama juga bisa dilihat dari sikap seseorang atas ritual keagamaan yang dilakukan oleh umat beragama lain. Tafsir al-Misbah dalam menerangkan QS. al-Kafirun[109]:6, terlebih dahulu menerangkan asbab an-nuzul-nya. Pada awal surat mengisahkan usulan dari kaum musyrikin kepada Nabi untuk pengkompromian akidah dan kepercayaan. Nabi menolaknya dan al-Qur’an menyikapi perbedaan melalui ayat keenam tersebut.
Quraish Shihab menganalisis didahuluinya lafaz (لكم) dan (لي) pada ayat keenam adalah bentuk kekhususan. Masing-masing agama dipersilahkan menjalankan ritual keagamaannya dan tanpa dicampurbaurkan. Nabi Muhammad dalam hal ini tidak berarti membenarkan ajaran mereka, namun hanya memberikan ruang kepadanya untuk melanjutkan ritual keagamaan yang mereka yakini (Tafsir al-Misbah, vol. XV, 581)
Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab
Setelah membaca penafsiran Quraish Shihab seputar kerukunan umat beragama, penulis menarik kesimpulan ada tiga sikap yang dipilih oleh Quraish Shihab. Pertama, bersikap terbuka dan tidak memaksa. Kedua, membangun hubungan yang berorientasi kedamaian. Ketiga, eksklusif yang bersifat ke dalam.
Bersikap terbuka maksudnya, keragaman adalah sunnatullah yang tidak terelakkan. Maka, sikap menerima perbedaan menjadi sebuah keniscayaan dengan cara tidak memaksa kehendak orang lain dalam memilih agama atau bahkan dalam setiap perkara.
Shihab juga berupaya menjembatani keragaman dengan cara menjalin hubungan atau mitra kerja dalam kebajikan. Sehingga, perbedaan yang terjadi di masyarakat pada gilirannya akan membangun keharmonisan dan kedamaian, bukan pemicu perpecahan.
Perihal sikap eksklusif, dalam pandangan Shihab adalah sebuah pokok ajaran agama. Namun sikap ini diarahkan ke dalam masing-masing individu pemeluk agama. Kebenaran agama yang dianutnya haruslah diyakini sepenuhnya dengan tidak menyatakan ke tataran masyarakat yang multikultural. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesatuan dan persatuan, terlebih dalam konteks Indonesia yang memiliki ragam agama dan kepercayaan. Wallahu A’lam[]