Didin Sirojuddin namanya, seorang maestro kaligrafi sekaligus penulis mushaf Al-Qur’an yang kini masih aktif mendidik kaligrafer Indonesia. Pengabdiannya dalam dunia kaligrafi tak bisa diragukan, ribuan santrinya telah menjadi kaligrafer ternama, dan beberapa di antaranya menyabet prestasi Internasional. Namanya sangat dikenal ketika HB.Jassin merealisasikan mushaf unik “ Al-Qur’an Berwajah Puisi”, saat itu ia ditunjuk sebagai penulisnya. Sekarang, mari kita belajar tekun darinya.
Sabtu pagi (16/01), Didin mengirimkan artikel ringan via Whatsapp berjudul “Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi”. Artikel seperti ini biasa ia bagikan kepada kolega, santri, atau siapapun yang ia ingin bagikan. Tak hanya satu kali, ratusan tulisan seperti ini telah ia bagikan. Bahkan, 108 artikel sebelumnya telah ia kumpulkan menjadi buku “Kisah-kisah Kaligrafi” yang terbit awal tahun 2020 lalu.
Dalam artikel “Isolasi Mandiri ala Pelukis Kaligrafi” ini, ia menyebutkan bahwa banyak para tokoh kaligrafer dunia berhasil menciptakan karya luar biasa melalui isolasi mandiri. Mantan jurnalis Panji Masyarakat ini menuliskan kisah-kisah isolasi para kaligrafer dan pengalamannya dalam menuliskan mushaf Al-Qur’an.
Baca juga: Implementasi ‘Amud Al-Quran dalam Tafsir Nidzam Al-Quran (1): Empat Surat Al-Quran
“Mengurung diri di rumah untuk menekuni pekerjaan ternyata dapat menggandakan hasil kerja. Di Indonesia, mushaf Al-Qur’an, apalagi yang berukuran besar, rata-rata ditulis setahun atau lebih. Saya pun menulis 4 Al-Qur’an masing-masing sekitar setahun. Dengan mengurung diri dan berkonsentrasi penuh di rumah, Al-Qur’an bisa ditulis lebih cepat. Misalnya, Abdurrahman bin Shayig menulis Al-Qur’an selama 60 hari dengan khat tsulus. Emin Berin juga menyebut seorang khattat Turki menulis Al-Qur’an 48 hari,” tulisnya.
Selain itu, ia juga mencantumkan beberapa nama kaligrafer kondang yang berhasil menulis mushaf puluhan hingga ratusan melalui pengurungan diri. Nama-nama itu seperti, Muhammad bin Umar Arab Zadah menulis 1000 mushaf, Ibnu Khazin menulis 500 mushaf, Ibnu Bawab menulis 64 mushaf, Mustafa bin Umar Al-Ayubi menulis 48 mushaf, Sayid Muhammad bin Ahmad Qaishari menulis 500 mushaf, Umar Muhammad Al-Ayubi Al-Kurdi menulis 477 mushaf, Ramadhan bin Ismail menulis 400 mushaf, Musthafa Hilmi menulis 200 mushaf, Faidhullah bin Shun’illah menulis 196 mushaf, Musthafa Raqim menulis 100 mushaf, Hafizh Waliyuddin menulis 99 mushaf, Darwisy Ali Syeikh Tsani menulis 88 mushaf, Ahmad Al-Suhrawardi menulis 33 mushaf, dan Hafizh Usman menulis 25 mushaf.
Dari tulisannya ini, Didin menyebut bahwa suasana pandemi bisa menjadi waktu yang tepat untuk melahirkan karya fenomenal, misalnya mushaf Al-Qur’an.
Ketekunan Didin Sirajuddin
Sebagaimana di pembukaan tadi disebutkan, kita akan belajar bagaimana tekunnya seorang Didin Sirajuddin. Ia merupakan sosok yang berjuang luar biasa untuk membumikan kaligrafi Al-Qur’an di tanah Indonesia. Salah satu gurunya adalah Salim Fachry, penyalin Mushaf Pusaka Republik Indonesia era Soekarno. Ia tidak hanya menulis kaligrafi dan mushaf, ia juga membangun pesantren kaligrafi, meneliti kajian kaligrafi, dan menjadi dewan hakim di berbagai kompetisi kaligrafi nasional dan internasional.
Baca juga: Inilah 4 Cara Menjaga Agama dalam Bingkai Maqashid Syariah
Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta ini pernah mengenyam pendidikan di Pesantren Gontor dan merasakan keberkahan dari kiainya. Dalam kisah yang pernah ia ceritakan, KH. Imam Zarkasyi suatu ketika mendekatinya yang sedang menulis Arab dan mengucapkan, “Sirojuddin, la, la, la. Labud an yakuna hakaza.” Kiai Zarkasyi itu memberi isyarat sambil membetulkan posisi tangannya. Inilah yang diyakini Didin sebagai doa dan memotivasinya untuk berkarier di kaligrafi Al-Qur’an.
Singkatnya, ia pun berhasil mendirikan tempat kursus Lembaga Kaligrafi Al-Qur’an (Lemka) di Ciputat tahun 1985, kemudian membangun pesantren kaligrafi di Sukabumi pada tahun 1998. Sebagai pionir pendiri pesantren kaligrafi, ia tercatat pernah memenangi peraduan khat di level Asean pada tahun 1987 tepatnya di Brunei Darussalam. Karena ketekunannya, hingga kini ia masih diandalkan sebagai dewan hakim di Asia Tenggara.
Selain didaulat sebagai maestro kaligrafi, ia juga diakui sebagai penulis yang produktif. Artikel ringan yang disebutkan di atas adalah salah satu contohnya. Pria yang lahir pada tahun 1957 ini juga telah melahirkan ratusan karya tulis bertemakan kaligrafi Al-Qur’an. Beberapa karyanya yaitu Tafsir Al-Qalam (1999), Seni Kaligrafi Islam di Indonesia Angkatan Perangkatan (1998), dan Koleksi Karya Master Kaligrafi Islam (Ensiklopesi Kaligrafi Islam), (2007).
Saat HB. Jassin diterpa kontroversi, Didin pun memberikan penjelasan secara ilmiah tentang salinan mushaf yang ia kerjakan itu. Di antara keterangan untuk menjelaskan itu berjudul “Al-Quran Gagasan HB Jassin Tetap Berdasarkan Kaidah Mushaf Ustmani” yang diterbitkan dalam Harian Pelita pada Senin, 16 Oktober 1995/21 Jumadil Awal 1416 H.
Baca juga: Digitalisasi Mushaf Nusantara dan Masa Depan Kajiannya
Kepiawaiannya dalam ilmu kaligrafi Al-Qur’an juga dimanfaatkan beberpa muridnya untuk menekuni manuskrip kuno. Guru Besar Filologi UIN Jakarta Oman Fathurahman, dan peneliti Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Ali Akbar merupakan di antara murid yang pernah belajar kaligrafi dengannya.
Sementara muridnya yang menjadi kaligrafer internasional banyak sekali, di antaranya adalah Isep Misbah dan Teguh Prasetyo. Mereka berdua sering kali memenangi peraduan di Turki, kemudian mereka juga membimbing kaligrafer-kaligrafer berbakat di Indonesia.
Dedikasi Didin Sirojuddin dalam mengembangkan kaligrafi Al-Qur’an, benar-benar kita rasakan. Lahirnya kaligrafer ternama dan peneliti mansukrip kuno hanyalah contoh keberhasilannya. Demikian salah satu alasan mengapa kita perlu belajar tekun kepadanya.
Wallahu a’lam[]