Tafsiralquran.id – Semua orang menginginkan hidup dengan penuh keberkahan (kebaikan dan kebahagiaan), baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Bahkan setiap orang berharap kebaikan dan kebahagiaan yang dimilikinya ada pula pada keturunan mereka. Akan tetapi, apakah mereka sudah mengetahui perihal yang bisa memberi dampak keberkahan kepada keturunannya?
Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Kahfi [15]: 82,
وَأَمَّا الْجِدَارُ فَكَانَ لِغُلَامَيْنِ يَتِيمَيْنِ فِي الْمَدِينَةِ وَكَانَ تَحْتَهُ كَنْزٌ لَهُمَا وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فَأَرَادَ رَبُّكَ أَنْ يَبْلُغَا أَشُدَّهُمَا وَيَسْتَخْرِجَا كَنْزَهُمَا رَحْمَةً مِنْ رَبِّكَ وَمَا فَعَلْتُهُ عَنْ أَمْرِي ذَلِكَ تَأْوِيلُ مَا لَمْ تَسْطِعْ عَلَيْهِ صَبْرًا
Artinya :” Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang Ayahnya adalah seorang yang saleh, Maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya”.
Ayat di atas adalah penggalan dari kisah perjalanan Nabi Musa As. dan Nabi Khidir As. Disebutkan pada ayat sebelumnya, bahwa dalam perjalanan Nabi Musa sampai bertanya sebanyak tiga kali terkait sikap yang dilakukan Nabi Khidir yang diniliai telah menyalahi syariat Allah. Dan pada akhir perjalanan, Nabi Khidir menjelaskan perihal perbuatannya.
Diantara perbuatan tersebut yang dipertanyakan oleh Nabi Musa As. adalah manakala Nabi Khidhir membangunkan dinding rumah yang hampir roboh, di sebuah desa. Padahal sebelumnya ketika mereka berdua meminta makanan kepada penduduk tersebut mereka berdua di tolak. Sehinga Nabi Musa As. mengusulkan kepada Nabi Khidir agar meminta upah dari kebaikan yang dilakukannya, dan berkomentar “sebaiknya engkau tidak melakukan hal tersebut secara gratis karena mereka tidak menjamu kita ”.
LaluNabi Khidir menjawab: “bahwa dinding rumah tersebut adalah milik kedua anak yatim yang ayahnya adalah seorang yang shalih, dan di bawah dinding terdapat harta simpanan”.
Para ahli tafsir menjelaskan bahwa alasan dari perbuatan baik yang dilakukan Nabi Khidir As. terhadap kedua anak yatim tersebut adalah karena keshalihan ayah mereka. Sebab keshalihan ayahnya, Allah Swt. melindungi kedua anak yatim tersebut dan menjaga harta simpanan miliknya sampai usia dewasa. Dan disebutkan oleh banyak mufasir seperti Nawawi al-Bantani, az-Zuhaili, Ibnu Ajibah, Ibnu Katsir, Ibnu Athiyyah dll. bahwa ayah yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah ayah generasi ke tujuh leluhur.
Ibnu Katsir menyebutkan dalam Tafsirnya :
وَكَانَ أَبُوهُمَا صَالِحًا فيه دليل على أن الرجل الصالح يحفظ في ذريته وتشمل بركة عبادته لهم في الدنيا والآخرة بشفاعته فيهم، ورفع درجتهم إلى أعلى درجة في الجنة، لتقر عينه بهم
Artinya: “Penggalan ayat (wa Kana Abuhuma Shaliha) terdapat dalil bahwa seorang yang shalih akan diberikan penjagaan pada keturunannya, keberkahan ibadahnya akan meliputi mereka di dunia dan akhirat dengan syafaatnya, dan dia akan mengangkat mereka ke derajat yang tinggi di surga agar menjadi penyejuk baginya”.
Ibnu Ajibah dalam tafsirnya mengutip perkataan Muhammad bin al-Munkadir:
إن الله تعالى ليحفظ بالرجل الصالح ولده، وولد ولده، ومَسربته التي هو فيها، والدويرات التي حولها، فلا يزالون في حِفْظِ الله وستره
Artinya: “Sungguh, sebab keshalihan seseorang, Allah Swt. akan menjaga anaknya, cucunya, kerabatnya dan lingkungan sekitarnya. Mereka senantiasa dalam perlindungan dan penjagaan Allah”.
Dari ayat dan penafsiran tersebut dapat difahami bahwa amal shaleh akan dapat berdampak keberkahan (kebaikan) kepada keturunannya dan juga yang lain. Terkait keberkahan ini, al-Qusyairi memberi nasehat: “hendaknya seorang muslim menjadikan takwa dan amal shaleh sebagai tabungan untuk keluarganya, bukan harta kekayaan. Karena Allah tidak berfirman (perbanyaklah harta, tanah, budak, peremuan dan kekayaan lainnya), tapi berfirman (bertaqwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Dia melindungi orang-orang shaleh) ”. Wallahu A’lam