BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranDisimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

Disimpan British Library, Beginilah Potret Empat Al-Qur’an Kuno dari Jawa

Koleksi Al-Qur’an kuno Nusantara tercecer di berbagai belahan dunia. Selain di wilayah Asia Tenggara, Al-Qur’an kuno juga disimpan di benua Australia, Eropa, hingga Amerika. Di British Library (Perpustakaan Britania Raya) misalnya. Di sana terdapat delapan Al-Qur’an kuno Nusantara yang terdiri dari satu mushaf dari Patani/Kelantan, tiga mushaf dari Aceh, dan empat mushaf dari Jawa. Dari delapan mushaf itu, kita akan melihat potret empat Al-Qur’an kuno dari Jawa.

Dalam sejarahnya, naskah Al-Qur’an kuno jarang dikoleksi oleh peminat manuskrip di negeri Barat. Menurut Kepala Koleksi Asia Tenggara di British Library Annabel The Gallop, sejak abad ke-17 para sarjana Barat hanya terfokus pada naskah-naskah sastra dan sejarah. Maka tak heran jika sebelum tahun 1995 hanya ada empat buah mushaf Nusantara di seluruh Inggris raya. Tentu jumlah ini hanya sedikit jika dibandingkan dengan naskah lainnya yang mencapai ratusan naskah (tahun 2014 dilansir dari liputan6 menyebut ada 500 manuskrip Indonesia di British Library, di sini link tersebut.)

Baca juga: Doa Nabi Ayyub as dalam Al-Quran untuk Kesembuhan Penyakit

Singkat cerita, pada tahun 1996 koleksi mushaf kuno Nusantara di British Library bertambah dan mencapai delapan buah. Pertama mushaf dari jawa dengan kode Add 12312. Kedua mushaf dari jawa dengan kode Add 12343. Ketiga mushaf dari Patani atau Kelantan dengan kode Or 15227. Keempat mushaf dari Aceh dengan kode Or 15406. Kelima mushaf dari Madura (disebut termasuk Jawa) dengan kode Or 15877. Keenam mushaf dari Aceh dengan kode Or 16034. Ketujuh mushaf dari Jawa dengan kode Or 16877. Terakhir mushaf dari Aceh dengan kode Or 16915.

Seperti yang di awal sampaikan, kita akan melihat potret empat mushaf kuno dari Jawa.

  1. Mushaf Jawa Add 12312

    Digitised Manuskrip (Add MS 12312)

Mushaf pertama ini berukuran 30 x 21 cm dengan bahan dluwang. Kondisinya masih bagus dan tiap halaman terdiri dari 17 baris. Adapun total halamannya mencapai 400 halaman. Mushaf Jawa ini dibeli dari John Crawfud, seorang dokter berkebangsaan Inggris pada tahun 1842. Tercatat, Crawfud pernah tinggal di Melayu-Jawa dan pernah menulis buku berjudul “History of the East Indian Archipelago”.

Mushaf ini terlihat sederhana namun ditulis dengan dua tinta, yakni hitam dan merah. Tinta hitam untuk ayat-ayat biasa, sedangkan tinta merah untuk nama surat. Di awal surat juga terdapat iluminasi yang unik, karena hanya menampilkan setengah lingkaran dan dedauanan belaka (seperti di gambar). Sayangnya kolofon mushaf ini hanya singkat, yakni menyebutkan harinya saja tanpa disebutkan penulis, tarikh, dan daerah penulisannya. Namun British Library mencantumkan kisaran waktu yakni abad ke-18 sampai awal abad 19.

  1. Mushaf Jawa Add 12343

    Digitised Manuscripts (Add MS 12343)

Mushaf ini hampir sama dengan mushaf sebelumnya, terlebih dari jumlah halaman, bahan yang digunakan dan tinta yang digunakan. Mushaf ini juga didapatkan dari John Crawfud. Selain itu, terdapat keunikan berkaitan dengan kolofon.  Mushaf ini justru memiliki keterangan di awal, bukan di akhir mushaf sebagaimana lazimnya. Kolofon itu berbunyi “punika syerat nipun abdi dalem paulu sila”, mungkin saja maknanya “(Al-Qur’an ini) tulisan seorang abdi dalem penghulu sila”.  Mushaf ini juga dikisarkan pada abad ke-18 hingga awal 19.

Baca juga: Annabel Gallop, Pakar Mushaf Kuno Nusantara dari Inggris

  1. Mushaf Madura Or 15877

    Digitised Manuscripts (Or 15877)

Mushaf ini berdimensi 295 x 195 mm dan bejumlah 594 halaman. Ditulis di atas dluwang, tapi memiliki iluminasi yang meriah. Mushaf ini didapatkan dari balai lelang Christie’s South Kensington pada tahun 2001. Pelelangan ini juga pernah menjual mushaf dari Bone Sulawesi Selatan yang kini disimpan di Museum Aga Khan Kanada.

Di awal halaman mushaf kuno dari Madura ini terdapat iluminasi yang megah dengan warna hijau merah dan kuning. Iluminasi itu mencantumkan keterangan bertuliskan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” dengan tulisan Arab pegon. Selain itu, ada juga kolofon yang menghimpun banyak informasi. Saya mencoba membaca namun masih banyak sekali kekurangan, begitu juga dengan guru besar Filologi UI Titik Pujiastuti. Ia mencoba membaca dan menerjemahkan sebagai berikut.

“kala tahun ja.s.ra.nga wulan eni tanggal? 22 dinten soma panca wala kumala, ‘ pada tahun? jasranga bulan eni, pada? 22, pada hari Senin, [wuku] panca wala kumala ‘, dengan nama’ Abd al-Latif, ing dusun Larangan kampung Puri wastanipun maù.rh makarim kala tahun ja. s.ra.nga, ‘di dusun Larangan, di desa bernama Puri..”

Dari pemaparan di atas, nampaknya perlu dibedah lebih lanjut. Pasalnya Annabel Gallop justru menyebut iluminasi yang terdapat di mushaf ini baru dibubuhkan sebelum dijual di pasar pelelangan. Beberapa indikasi yang mengarah ke asumsi tersebut berkaitan dengan kaligrafi yang digores dan warna yang masih mencolok. Memang, penulisan “Pangeran Pakuningrat Keraton 1793 Sumeneb” itu terlihat rapi dan ditulis dengan khat tsulus serta naskhi. Mushaf ini menurut British Library ditulis pada abad ke-19 namun dibubuhi iluminasi pada akhir abad 20.

Terkait analisa penambahan iluminasi itu, silahkan buka artikel Annabel Gallop berjudul Fakes or fancies? Some ‘problematic’ Islamic manuscripts from Southeast Asia”.

  1. Mushaf Jawa Or 16877

    Digitised Manuscripts ( Or 16877)

Mushaf ini berdimensi 320 x 20 mm, dan memiliki 644 halaman. Mushaf ini ditulis di atas kertas Belanda yang digunakan pada kisaran tahun 1852-1860. Mushaf ini didapatkan dari peneliti naskah Melayu berkebangsaan Inggris, Russell Jones pada tahun 2012. Namun dalam catatannya, Jones mencantumkan tarikh saat mendapatkan naskah ini, tepatnya pada tahun 1971 di Yogyakarta. Sementara di bagian belakang mushaf, terdapat kolofon yang menyebut bahwa mushaf ini merupakan waqaf dari Encik Musa bin Yahya untuk Masjid Sunan Giri.

Baca juga: Hukum Membuka Lembaran Al-Quran dengan Ludah, Berikut Penjelasan Para Ulama

Terkait gaya penulisan, mushaf ini justru yang paling sederhana di antara lainnya dan tidak ada iluminasi apapun. Nampaknya, juru tulisnya juga bukan dari kalangan kaligrafer, sehingga tulisannya pun tidak rapi. Adapun tinta yang digunakan hampir sama dengan mushaf sebelumnya, yakni hitam dan merah.

Sebagai tambahan keterangan, empat mushaf yang disampaikan tadi ternyata menggunakan rasm imla’i, bukan usmani. Kesimpulan sederhana ini dilihat dari penulisan lafadz maaliki yang mencantumkan huruf alif. Padahal dalam konsep rasm usmani, kalimat itu berlaku kaidah pembuangan alif. Biasanya diganti dengan fathah berdiri untuk tetap menunjukkan bacaan yang panjang.

Demikian, uraian singkat terkait Al-Qur’an kuno di Jawa yang tersimpan di British Library. Semoga bermanfaat.

Wallahu a’lam bi al-shawab[]

Zainal Abidin
Zainal Abidin
Mahasiswa Magister Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal-Universitas PTIQ, Jakarta. Juga Aktif di kajian Islam Nusantara Center dan Forum Lingkar Pena. Minat pada kajian manuskrip mushaf al-Quran.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...