BerandaTafsir TahliliTafsir Surat Al Baqarah Ayat 102

Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102

Pembahasan sebelumnya mengenai tentang orang Yahudi yang mengingkari ayat Allah, mengingkari janji dan menyampingkan Taurat. Selanjutnya Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102 ini tidak lepas dari ayat 101 sebelumnya. Sebagian Ahli Kitab itu meninggalkan Kitab mereka (Taurat).


Baca sebelumnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 97-101


Pada Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 102 menjelaskan orang Yahudi (ahli kitab) yang tidak hanya meninggalkan Taurat juga mengikuti bisikan manusia-manusia setan (syayatin) yang mengajarkan sihir pada masa Nabi Sulaiman.

Ayat 102

Orang-orang Yahudi mengikuti sihir yang dibacakan oleh setan pada masa Sulaiman putra Daud, meskipun mereka tahu, bahwa yang demikian itu sebenarnya salah. Mereka menuduh bahwa Nabi Sulaiman yang menghimpun kitab sihir, dan menyimpan di bawah tahtanya, kemudian dikeluarkan dan disiarkan.

Dugaan seperti ini adalah suatu pemalsuan dan perbuatan yang dipengaruhi oleh hawa nafsu. Sebenarnya mereka hanya menghubung-hubungkan sihir itu pada Nabi Sulaiman.

Nabi Sulaiman tidak mengajarkan atau mempraktekkan sihir karena ia mengetahui bahwa perbuatan yang demikian itu termasuk mengingkari Tuhan, apalagi kalau ditinjau dari kedudukannya sebagai nabi, mustahillah ia mempraktekkan sihir.

Kisah tentang sihir banyak dituturkan dalam Alquran terutama dalam kisah Musa dan Fir’aun. Dalam kisah itu diterangkan sifat-sifat sihir, bahwa sihir itu adalah sulapan yang menipu pandangan mata, sehingga orang yang melihat mengira, bahwa yang terlihat seolah-olah keadaan yang sebenarnya. Hal ini dijelaskan dalam firman Allah:

يُخَيَّلُ اِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ اَنَّهَا تَسْعٰى

“…Terbayang olehnya (Musa) seakan-akan ular merayap cepat, karena sihir mereka…. (Taha/20:66) Dan sesuai dengan firman Allah:

سَحَرُوْٓا اَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوْهُمْ

“…Mereka menyihir mata orang banyak dan menjadikan orang banyak itu takut,… (al-A’raf/7:116)

Sihir termasuk sesuatu yang tersembunyi, yang hanya diketahui oleh sebagian manusia saja.

Tetapi apa yang telah terjadi menunjukkan bahwa kedua malaikat itu tidak mampu memberikan pengaruh gaib yang melebihi kemampuan manusia, bahkan yang disebut kekuatan gaib oleh mereka itu hanyalah kemahiran dalam menguasai sebab-sebab yang mempunyai perpautan dengan akibat yang dilakukan.

Hal ini hanyalah terjadi karena izin Allah semata-mata, sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan-Nya.

Dalam praktek, tukang-tukang sihir itu membaca mantera dengan menyebut nama-nama setan dan raja-raja jin agar timbul kesan seolah-olah manteranya itu dikabulkan oleh raja jin. Atas dasar praktek mereka inilah timbul anggapan yang merata dalam lapisan masyarakat, bahwa sihir itu dibantu oleh setan.

Kemudian orang Yahudi yang sezaman dengan Nabi Muhammad saw menyebarluaskan sihir itu di kalangan orang-orang Islam dengan tujuan untuk menyesatkan. Mereka dapati sihir itu dari nenek moyang mereka yang mengatakan sihir itu dari Sulaiman a.s..

Padahal kedua malaikat tidak mengajarkan sihir kepada seorang pun, sebelum memberikan nasihat agar orang jangan mengamalkan sihir itu, sebab orang yang mempraktekkan sihir itu adalah kafir.

Ayat 102 ini tidak lepas dari ayat 101 sebelumnya. Sebagian Ahli Kitab itu meninggalkan Kitab mereka (Taurat) dan mengikuti bisikan manusia-manusia setan (syayatin) yang mengajarkan sihir pada masa Nabi Sulaiman.

Ayat ini membantah tuduhan kelompok Yahudi, bahwa ia mendapatkan kekuasaan dan kekayaannya melalui sihir (Zamakhsyari 1/230), juga menolak pernyataan Bibel, bahwa Sulaiman telah berdosa dengan melakukan praktek syirik.

Dia dituduh beristrikan 700 perempuan bangsawan asing dan 300 gundik. Karena kebanyakan mereka penyembah berhala, maka Sulaiman juga pada masa tuanya terpengaruh oleh mereka, cenderung percaya kepada berhala-berhala dan dewa-dewa—tidak seperti bapanya Daud (Kitab Raja-Raja I, 11:1-10).

Harut dan Marut yang disebutkan dalam ayat ini adalah dua orang di Babilonia, sekitar Sungai Furat di Irak, “yang berpura-pura seperti orang saleh dan bertakwa. Mereka mengajarkan sihir kepada masyarakat, sehingga keduanya dikira dua malaikat yang turun dari langit, dan yang diajarkan dikira wahyu dari Allah.

Mereka pandai sekali menipu dan menjaga itikad baik masyarakat kepada mereka, maka mereka berkata kepada setiap orang yang ingin belajar dari mereka, bahwa “Kami hanyalah cobaan, janganlah kamu menjadi kafir,” yakni bahwa mereka para penguji “yang akan menguji kamu, akan bersyukur atau akan kufur. Maka kami menasihati kalian, janganlah menjadi kafir.”

Mereka berkata begitu untuk memberi kesan bahwa ilmu yang mereka bawa dari Tuhan, dan praktek mereka untuk kepentingan rohani. Tapi tujuannya hanya demi merusak keharmonisan.

Dalam hal ini orang-orang Yahudi punya banyak tahayul. Mereka percaya bahwa sihir yang diturunkan kepada mereka sungguh dari Tuhan. Kedatangan kedua malaikat itu hanya untuk mengajar manusia. Maka Alquran datang membantah anggapan mereka, bahwa itu datang dari langit, dan mengecam keras mereka yang belajar dan mengajarkannya…” (al-Qasimi 1/210).

Mengutip al-Hasan al-Basri, al-Zamakhsyari (1/230) mengatakan bahwa kata malakaini (dua malaikat) ini dibaca malikaini (dua raja). Muhammad Asad menambahkan, bahwa Ibn Abbas dan tabi’in berikutnya, seperti al-Hasan al-Baari, Abu al-Aswad ad-Dahhak juga membacanya malikaini.

Adapun dua malaikat itu adalah Jibril dan Mikhail, mereka yang mengajarkan sihir kepada Sulaiman, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang Yahudi itu. Sedang dua raja adalah Daud dan Sulaiman.


Baca juga: Tafsir Tarbawi: Belajar Tawadhu dari Kisah Nabi Sulaiman


Tentang kata Wa ma unzila ‘ala al-malakaini, pendapat para mufasir tidak sama, ada yang mengatakan ma nafiyyah (“tidak diturunkan”) ada pula yang berpendapat ma ismiyyah atau isim mausul (“apa yang diturunkan”), dan sebagainya. Tetapi perbedaan gramatikal ini rasanya kurang perlu dibahas di sini.

Dengan mengacu kepada tafsir-tafsir Haqqani, Baidawi dan ar-Razi, kita coba meringkaskan apa yang disebutkan dalam tafsir Abdullah Yusuf Ali, bahwa “Kata para malaikat yang diterapkan pada Harut dan Marut ialah kata kiasan, yang berarti orang-orang baik, berpengetahuan, berilmu (atau arif bijaksana) dan punya kekuatan”, seperti kata malaikat dalam bahasa-bahasa modern juga dipakai untuk perempuan yang baik dan cantik, dan bagi mereka berlaku segala sifat keindahan, yang juga berarti kebaikan, pengetahuan, kearifan dan kekuatan.

“Harut dan Marut hidup di Babilonia, pusat ilmu paling tua, terutama dalam astronomi. Diperkirakan masanya sekitar zaman Kerajaan Kuno di Timur, sangat kuat dan maju. Malah mungkin lebih tua lagi, mengingat Marut atau Marduk merupakan pahlawan yang didewakan dan kemudian dipuja sebagai dewa sihir di Babilonia.

Agak berbeda dengan pendapat al-Qasimi di atas, ia menyebutkan bahwa Harut dan Marut sebagai manusia yang baik tidak mau menceburkan diri ke dalam kejahatan, mereka bersih dari segala penipuan.

Ilmu dan seni jika dipelajari oleh orang jahat dapat digunakan untuk kejahatan pula. Di samping praktek sihirnya yang keji, setan juga belajar tentang ilmu yang benar itu sedikit-sedikit dan akan digunakannya untuk maksud-maksud jahat tadi.

Harut dan Marut bukan mau menyembunyikan ilmu, namun mereka belum pernah mengajarkan kepada siapa pun tanpa memberikan peringatan mengenai bahaya dan godaan ilmu semacam itu bila berada di tangan orang jahat.

Mereka melihat bukan tidak mungkin orang-orang jahat itu akan terjerumus ke dalam kekufuran dan akan jadi sombong karena ilmunya. Ilmu ini memang merupakan cobaan dan godaan; kalau sudah diberi peringatan, tahulah kita akan bahayanya. (Abdullah Yusuf Ali: C. 107).

Yusuf Ali menambahkan, “Di antara sekian banyak cerita Israiliat dalam Midrash (Kitab Tafsir Yahudi) ada sebuah cerita tentang dua malaikat yang memohonkan izin kepada Allah hendak turun ke bumi ini, tetapi kemudian mereka menyerah kepada godaan, lalu sebagai hukuman mereka digantung di Babilonia dengan kaki di atas.

Cerita-cerita tentang para malaikat yang berdosa yang telah menerima hukuman demikian sudah menjadi kepercayaan kalangan kristiani dahulu juga. (Lihat Surat Petrus yang Kedua, 2, 4, dan Surat Yudas, ayat 6).

Apa yang dipelajari oleh setan dari Harut dan Marut mereka ubah untuk maksud-maksud jahat. Karena dicampur dengan kepalsuan dan penipuan, maka lahirlah segala jimat-jimat, mantera dan guna-guna.

Tetapi lepas dari mudarat yang dibuat oleh penipu-penipu yang hendak ditimpakannya kepada orang lain itu, mudarat atau bahaya yang mereka lakukan itu akan menimpa jiwa mereka sendiri. Mereka menjual diri sendiri menjadi budak kejahatan (Idem).

Ayat ini sebenarnya tidak menunjukkan hakikat sihir. Apakah sihir itu berpengaruh secara tabi’i atau disebabkan oleh sesuatu yang sangat misteri, juga tidak diterangkan apakah sihir itu dapat memberi pengaruh kepada manusia dengan cara yang tidak biasa, atau sama sekali tidak memberikan pengaruh apa-apa.

Ringkasnya, Allah tidak memberikan keterangan secara terinci. Andaikan Allah memandang baik menerangkan hakikat sihir itu dan bermanfaat bagi manusia, tentulah Allah akan menerangkannya secara terperinci.

Seterusnya Allah menjelaskan bahwa sihir tidak memberikan manfaat sedikit pun kepada manusia, bahkan memberikan mudarat. Oleh sebab itu, Allah mengancam orang yang mempraktekkannya dengan siksaan. Orang-orang Yahudi pun sebetulnya telah mengetahui bahwa sihir memudaratkan manusia, dan seharusnya mereka membencinya.

Tetapi, karena ada maksud jahat yang terkandung dalam hati mereka untuk menyesatkan orang Islam, mereka pun mau mengerjakannya. Oleh karena itulah, Allah mencela perbuatan sihir dan memasukkan orang yang melakukannya ke dalam golongan orang yang memilih perbuatan sesat.

Selanjutnya Allah menegaskan bahwa di akhirat mereka tidak akan mendapat kebahagiaan sedikit pun. Karena mereka yang telah memilih perbuatan sihir, berarti mereka telah menyalahi hukum yang termuat dalam Taurat, padahal dalam Kitab mereka sendiri terdapat juga ketentuan bahwa orang yang mengikuti bisikan jin, setan dan dukun itu, sama hukumnya dengan orang yang menyembah berhala dan patung.

Lebih jauh Allah menjelaskan bahwa sihir yang mereka kerjakan itu sangat jelek, Allah menggambarkan orang yang memilih perbuatan sihir sebagai kesenangannya seperti orang yang menjual iman dengan kesesatan. Gambaran serupa ini gunanya untuk menyingkapkan selubung mereka, agar kesadarannya dapat terbuka dan mengetahui bahwa manusia diciptakan Allah untuk berbakti kepada-Nya.

Dengan kata lain, andaikata mereka mengetahui kesesatan orang yang mempelajari dan mempraktekkan sihir, tentulah mereka tidak akan melakukannya. Tetapi mereka telah jauh tertipu, sehingga mereka beranggapan bahwa sihir itu termasuk ilmu pengetahuan, dan mereka merasa puas dengan ilmu yang tidak terbukti kebenarannya dan tidak memberikan pengaruh apa pun kepada jiwa seseorang kecuali dengan izin Allah.


Baca setelahnya: Tafsir Surat Al Baqarah Ayat 103-106


(Tafsir kemenag)

Redaksi
Redaksihttp://tafsiralquran.id
Tafsir Al Quran | Referensi Tafsir di Indonesia
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...