Dalam kehidupan orang muslim istilah wakaf sudah tidak asing lagi. Dalam Islam pun wakaf merupakan anjuran. Seringkali sepetak tanah atau bangunan dijadikan bentuk wakaf oleh seseorang yang diberikan kepada pihak yang dirasa pantas menerima wakaf tersebut. Anjuran untuk wakaf antara lain terdapat dalam Surah Ali Imran ayat 92.
Term wakaf
Adapun wakaf sendiri secara terminologi berasal dari bahasa Arab, bentuk asalnya adalah waqafa-yafiqu-waqfan, berarti berdiri, abadi, dan menahan. Sedangkan secara epistimologi adalah memberikan harta kekayaan dengan suka rela, atau suatu pemberian yang berlaku abadi, untuk kemaslahatan keagamaan atau untuk kemaslahatan umum.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Dalil Larangan Riba dan Ancamannya
Ali as-Shabuni dalam kitabnya Shafwah at-Tafasir, mengatakan bahwa menurut para mufassirin mereka memaknainya dengan kata infak, shadaqah, dan bentuk pengorbanan dijalan Allah atau melakukan kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt.
Adapun Dalil dianjurkannya wakaf memang tidak disebutkan secara tegas di dalam al-Qur’an sebagaimana penyebutan perintah-perintah zakat atau pun yang lainnya, namun ahli fiqih mengambil dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada QS. Ali Imran/3: 92.
Tafsir Surah Ali Imran ayat 92
لَن تَنَالُواْ الْبِرَّ حَتَّى تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيْءٍ فَإِنَّ اللّهَ بِهِ عَلِيمٌ
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui”
Quraish Shihab mengatakan, ayat ini menegaskan bahwa tidak akan meraih kebaikan sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan, maka sesungguhnya Allah pasti megetahuinya. Anjuran untuk bernafkah di jalan Allah swt. apa yang disukai. Mencampurkan yang disukai atau yang tidak disukai pun dapat ditoleransi, tetapi itu bukan cara terbaik untuk meraih kebajikan yang sempurna.
Dalam kitab Tanwir al-Miqbas, dijelaskan makna lan tanâlul birra (sekali-kali kalian tidak akan meraih kebaikan), yakni segala yang ada di sisi Allah swt. berupa pahala, kemuliaan, dan surga hanya dapat diraih manakala kalian menginfakkan harta yang kalian cintai. Menurut pendapat yang lain, lan tanâlul birra berarti, kalian tidak akan sampai pada ketawakalan dan ketakwaan. Hattâ tunfiqû min mâ tuhibbûn, wa mâ tuηfiqû min syai`in (sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan), yakni harta benda. Fa innallâha bihî (maka sesungguhnya Allah kepadanya) dan kepada niat kalian.‘Alîm (pasti mengetahui), apakah bertujuan untuk mengharap ridha Allah swt. atau demi mendapat pujian orang lain.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Pengampunan Hukuman dalam Islam
Dalam kitab Tafsir al-Misbah, Kata al-Birr di atas, pada mulanya berarti “keluasan dalam kebajikan” dan dari akar kata yang sama dengan kata “daratan” dinamai al-barr karena luasnya kebajikan mencakup segala bidang, serta tentu saja termasuk menginfakkan harta di jalan Allah (berwakaf).
Pada ayat sebelumnya, disebutkan bahwa siapa yang meninggal dalam kekufuran maka tidak akan diterima atau berguna nafkahnya untuk menampik siksa yang akan menimpanya. Maka disini dikemukakan kapan dan bagaimana sehingga nafkah seseorang dapat bermanfaat. Yakni bahwa yang dinafkahkan hendaknya harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian dari harta benda yang kamu sukai dengan cara yang baik dan tujuan yang baik serta motivasi yang benar..
Thabathaba’i dalam tafsirnya, Al-Mizan fi Tafsir al-Quran, menyebutkan setelah terlebih dahulu mengemukakan ketidakjelasan hubungan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya. Ia menduga boleh jadi ayat ini ditujkan kepada Bani Isra’il. Yakni setelah dalam ayat-ayat yang lalu mereka dikecam akibat perhatian dan kecintaan yang demikian besar terhadap kehidupan dunia dan harta dengan mengabaikan tuntunan agama, di sini mereka sekali lagi dikecam bahwa ”kalian berbohong ketika berkata bahwa kalian adalah kekasih Allah dan pengikut para Nabi. Atau orang-orang yang bertakwa dan berbuat kebaikan, karena kalian sangat mencintai harta-harta kalian yang baik dan kikir menafkahkannya, padahal kalian tidak akan meraih kesempurnaan dalam kebajikan jika tidak menafkahkan apa yang kalian sukai”.
Baca juga: Tafsir Fiqh (4): Al-Qurthubi dan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
Ayat di atas, memang tidak secara tegas menyinggung tentang wakaf. Namun, ayat di atas lah yang dijadikan para ahli fiqih sebagai dalil dianjurkannya berwakaf didasarkan pada keumuman ayat-ayat al-Quran tentang perintah lakukanlah kebaikan, yang mana kata kebaikan itu mengandung arti yang umum yang termasuk pula di dalamnya perintah untuk berwakaf, karena dengan wakaf akan mendekatkan hubungan seorang hamba dengan tuhannya dan dengan sesama manusia.
Ulama berpendapat bahwa perintah wakaf merupakan bagian dari perintah untuk melakukan al-Birr (secara harfiah berarti kebaikan). Imam Al-Baghawi menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-Birr berarti perintah untuk melakukan silaturrahmi, dan berakhlak yang baik. Sementara Taqiy al-Din Abi Bakr Ibn Muhammad al-Husaini al-Dimasqi, menafsirkan bahwa perintah untuk melakukan al-Birr berarti perintah untuk melakukan wakaf.
Bertitik tolak dari ayat al-Quran yang menyinggung tentang akaf tersebut nampak tidak terlalu tegas. Karena itu sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang diterapkan berdasarkan ayat diatas. Sehingga anjuran untuk wakaf ini diletakan pada wilayah yang bersifat ijtihadi, bukan ta’abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan, jenis wakaf, syarat, peruntukan dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat al-Quran yang sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafa`ur Rasyidin sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka sendiri. Sebab itu sebagian besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad mereka masing-masing, dengan menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, mashlahah mursalah,urf dan lain-lain.
Hikmah dan manfaat wakaf dalam kehidupan
Manfaat adanya wakaf dalam kehidupan dapat dilihat dari sisi hikmahnya. Setiap peraturan yang disyariatkan Allah swt. kepada makhluknya baik berupa perintah atau larangan pasti mempunyai hikmah dan manfaat bagi kehidupan manusia, khususnya bagi umat islam. Adapun ibadah wakaf ini bersifat sunnah banyak sekali hikmah yang terkandung didalam wakaf ini :
Pertama, harta benda yang kita wakafkan dapat tetap terpelihara dan terjamin kelangsungannya. Tidak perlu khawatir atas apa yang diwakafkan, karena secara prinsip barang wakaf tidak boleh ditassarufkan. Kedua, pahala dan keuntungan bagi si pewakaf akan tetap mengalir, sekalipun si pewakaf sudah meninggal dunia. Ketiga, wakaf merupakan salah satu sumber dana yang sangat penting manfaatnya bagi kehidupan agama dan umat.
Adapun wakaf disamping mempunyai nilai ibadah, sebagai tanda rasa syukur seorang hamba atas nikmat yang telah di anugerahkan Allah, juga mempunyai nilai sosial yang cukup tinggi. Wallahu a’lam[]