Fanatisme agama adalah sebuah bentuk sikap kukuh dan kekakuan seorang terhadap kepercayaannya dengan sangat berlebihan tanpa penghayatan. Sikap-sikap tersebut pada ujungnya melahirkan fenomena takfiri yang marak terjadi sekarang, bukan hanya kepada lintas kepercayaan, namun juga sesama saudara seiman yang berbeda madzhab atau aliran. Jelas, hal tersebut menodai prinsip luhur agama yang hanif dan rahmatan lil ‘alamin. Fanatisme agama yang terjadi saat ini bukanlah suatu yang baru. Fanatisme agama hari ini ternyata memiliki benang merah dengan keadaan zaman dulu sebagaimana yang terekam dalam Surah Al-An’am ayat 159.
Tafsir Surah Al-An’am ayat 159
إِنَّ ٱلَّذِينَ فَرَّقُوا۟ دِينَهُمْ وَكَانُوا۟ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِى شَىْءٍ ۚ إِنَّمَآ أَمْرُهُمْ إِلَى ٱللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَفْعَلُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat.”
Asbabun nuzul ayat tersebut dirujuk dari hadis riwayat Ibnu Abbas yang ditakhrij oleh At-Tirmidzi yaitu berkenaan dengan kerasulan Nabi Muhammad. Pada waktu Nabi Muhammad diangkat menjadi seorang rasul dan dibekali hujjah kalam Allah, umat yahudi dan nasrani berpecah belah dalam agama mereka. Lalu ayat ini turun sebagai petunjuk dari Allah bahwa Rasulullah tak usah mengurusi mereka, karena Allah sendiri nantinya yang akan menentukan nasib mereka kelak.
Baca juga: Ayat-Ayat Jihad dalam Al-Quran: Klasifikasi dan Kontekstualisasinya Di Era Kekinian
Mengenai makna innaladzina diinahum ada perbedaan tafsiran di antara mufassir periode klasik, pertengahan, hingga kontemporer. Mufassir klasik Jarir At-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an mengartikannya sebagai umat yahudi dan nasrani kala itu, dan juga umat Islam yang mengikuti Al-Quran tanpa mengetahui hukumnya.
Di periode pertengahan ada mufassir Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsrinya Mafatih al-Ghayb yang memaknai lafadz tersebut uumat yahudi dan nasrani yang saling mengafirkan. Selain itu ayat ini juga ditujukan kepada umat Islam menjauhi fanatisme agama dan tidak terpecah belah.
Ahmad Mustafa Al-Maraghi seorang mufassir kontemporer dalam Tafsir Al-Maraghi juga memberikan pandangan yang sama dengan pendapat Ar-Razi yang terakhir. Menurut Al-Maraghi, turunnya ayat ini adalah sebuah bentuk perintah Allah kepada umat Islam agar bersatu mengikuti Rasul dan kitab sucinya Al-Qur’an, dan tidak terpecah belah.
Baca juga: Ayat-Ayat Wasathiyah: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 143 Menurut Hasbi al-Shiddiqie
Fanatisme agama dalam konteks Surah Al-An’am ayat 159
Sebelum lebih lanjut membahas fanatisme agama, akan lebih baik jika menyepakati definisi tersebut, baik secara baku mufrodat Arab, maupun istilah yang digunakan dalam surah Al-An’am ayat 159. Dalam kamus Arab versi Almaany, kata fanatik diistilahkan pada beberapa kata yaitu pada lafadz mutahammis, mas’uur, dan ta’asshub. Namun, Al-Qur’an tidak menggunakan kata-kata tersebut untuk merujuk makna fanatik sebagaimana dalam surah Al-An’am 159 yang justru menggunakan lafazd syiya’an.
Lafadz syiya’an merupakan bentuk lain dari lafadz syi’ah yang berarti pengikut. Pada surah Al-Al-An’am ayat 159, Tafsir Kemenag memaknai kata syiya’an dengan berkelompok atau bergolong-golong, karena setiap anggotanya akan saling menguatkan. Orang-orang yang berkelompok-kelompok cenderung mengikuti kelompoknya dan di sinilah lafadz syiya’an atau syi’ah tersebut bisa selaras dengan makna fanatik. Tentu definisi istilah tersebut hanya pada berfungsi di kisaran ulumul qur’an, dan tidak bisa digunakan dalam ranah madzhab atau teologi aliran seperti Suni dan Syiah.
Baca juga: Tinjauan Tafsir terhadap Jihad, Perang dan Teror dalam Al-Quran
Pada penafsiran surah Al-An’am ayat 159 di atas, bisa digambarkan keadaan dan masalah sosial yang terjadi pada waktu ayat ini diturunkan. Kondisi umat beragama pada waktu itu, dalam artian para ahlul kitab yahudi dan nasrani sebagaimana diungkapkan At-Thabari, Ar-Razi, dan Al-Maraghi adalah berpecah belah ketika Rasulullah diutus menjadi rasul. Mereka saling menyalahkan satu sama lain, yahudi mengafirkan nasrani begitu pula sebaliknya nasrani mengafirkan yahudi.
Surah Al-An’am ayat 159 merekam hiruk pikuk klaim takfiri para ahlul kitab tersebut dengan menyebutkan lafadz syiya’an untuk sikap fanatik mereka yang berlebihan pada golongan. Melalui surah ini, Allah ingin memberi pesan kepada Rasulullah agar tidak perlu mengurusi mereka, dan menegaskan kepada umat islam agar tidak mengikuti sikap fanatisme beragama mereka.
Fanatisme agama hari ini, suatu benang merah
At-Thabari, Ar-Razi, dan Al-Maraghi memiliki satu buah pemaknaan yang sepadan tentang khitab surah Al-An’am ayat 159 selain ditujukan kepada ahlul kitab, yahudi dan nasrani. Dalam penafsiran mereka, khitab lain yang dituju oleh ayat tersebut adalah umat Islam yang melakukan bid’ah, dan yang tidak mengamalkan ajaran Islam dengan benar.
Kata ‘bid’ah’ tentu tidak bisa dimaknai secara leksikal. Kata tersebut mengalami pergeseran dan perkembangan makna, bahkan dalam perkembangannya mengalami kategorisasi akibat pergerakan konteks zaman. Sedangkan yang dimaksud ahlul bid’ah oleh para mufassir di atas cenderung merujuk kepada fanatisme beragama yang dilakukan oleh ahlul kitab maupun oleh umat Islam sendiri.
Penafsiran Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an al-‘Adhim terhadap surah Al-An’am ayat 159 tersebut selaras dengan pandangan demikian, karena menurutnya secara lahiriyah ayat ini bersifat umum. Ayat ini berlaku bagi setiap orang yang fanatik terhadap agama yaitu pada firqah-firqah dan golongan mereka sendiri tanpa mengindahkan saudara yang lain, mengikuti hawa nafsu dan kesesatan egoisme, maka Allah membebaskan Rasulullah dari tanggung jawab terhadap mereka.
Baca juga: Makna Kebebasan Beragama dan Toleransi dalam Al-Quran
Dari sini kita bisa menarik sebuah benang merah, sebuah keterkaitan sikap yang sama yang terjadi pada umat dahulu maupun umat Islam sendiri hingga hari ini, yaitu fanatisme beragama. Akibat sikap tersebut, jangankan penganut antar kepercayaan, perbedaan aliran dan madzhab seagamapun disalahkan dan dikafirkan oleh mereka sang empunya sikap ini. Umat Islam perlu menyegarkan pemikiran kembali salah satunya dengan mengingat pesan Sayyidina Ali bin Abi Thalib dalam Nahjul Balaghah, “mereka yang bukan saudara seiman, adalah saudaramu dalam kemanusiaan”.
Perbedaan sebenarnya memanglah sunatullah yang terjadi pada setiap kepercayaan. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah memaparkan bahwa sepanjang perbedaan itu tujuannya sama, didasari kaidah kebebasan disiplin ilmu, dan hanya metode dan cara panjdang yang berbeda maka itu tidak jadi persoalan. Sedangkan surah Al-An’am ayat 159 tersebut menyudut pada fanatisme kelompok yang membawa perpecahan. Umat Islam hari ini telah mengalami polarisasi luar biasa akibat fanatisme kelompok maupun kepercayaan. Maka dari itu pesan ayat tersebut adalah larangan bagi umat Islam untuk bersikap fanatik berlebihan hingga menyalahkan dan mengafirkan yang lain sebagaimana yang terjadi pada umat-umat terdahulu.
Wallahu a’lam.