BerandaTafsir TematikAyat-Ayat Wasathiyah: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 143 Menurut Hasbi al-Shiddiqie

Ayat-Ayat Wasathiyah: Tafsir Surah al-Baqarah Ayat 143 Menurut Hasbi al-Shiddiqie

Moderasi Agama atau Moderasi Islam atau Islam Wasathiyah masih menjadi salah satu isu yang populer untuk dikaji dewasa ini. Isu ini berkembang sebagai counter atas semakin melunjaknya wacana radikalisme agama di tengah masyarakat. Banyak kajian yang telah lahir berkat keberadaan isu populer ini, salah satunya ialah kajian tafsir terhadap ayat-ayat yang menjadi cerminan dari sikap wasathiyah Islam atau biasa disebut tafsir ayat-ayat wasathiyah.

Kajian tafsir ayat-ayat wasathiyah memiliki beberapa ciri khas tertentu, khususnya di Indonesia. Ada kajian yang mencoba menganalisis dan menafsirkan secara mandiri ayat-ayat wasathiyah melalui aplikasi berbagai pendekatan dan metodologi tafsir yang saat ini sedang berkembang atau dinilai tepat sebagai alat untuk menguak nilai-nilai moderatisme dalam ayat.

Kemudian ada juga yang berupaya mengeksplorasi karya-karya tafsir mu’tabarah yang dinilai berhasil memberikan penafsiran yang baik atas ayat-ayat wasathiyah. Sebab selain memiliki tingkat keilmuan yang tinggi, sang mufassir juga memiliki atau berafiliasi pada gerakan Islam pengarusutamaan yang sampai saat ini masih menjadi representasi wajah Islam moderat di Indonesia. Di antaranya seperti Hasbi al-Shiddieqy dengan Tafsir al-Nur-nya, Buya Hamka dengan Tafsir al-Azhar-nya dan Quraish Shihab dengan Tafsir al-Misbah-nya.

Baca Juga: Tafsir Tarbawi: Nilai-Nilai Moderasi Beragama dalam Pendidikan Islam

Maka edisi tulisan kali ini akan masuk ke dalam golongan kajian tafsir ayat-ayat wasathiyah yang kedua (kajian karya tafsir). Di mana Hasbi al-Shiddieqy menjadi subjek pertama yang akan dikaji dan coba untuk dieksplor penafsirannya atas Q.S. al-Baqarah [2]: 143 yang menjadi representasi definitif atas golongan yang dianggap moderat. Selanjutnya poin-poin penting dalam penafsirannya akan coba direfleksikan dengan kehidupan masa kini.

Tafsir Q.S. al-Baqarah [2]: 143 dan Refleksi Kehidupan Masa Kini

 وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا ۗ وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِيْ كُنْتَ عَلَيْهَآ اِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَّتَّبِعُ الرَّسُوْلَ مِمَّنْ يَّنْقَلِبُ عَلٰى عَقِبَيْهِۗ وَاِنْ كَانَتْ لَكَبِيْرَةً اِلَّا عَلَى الَّذِيْنَ هَدَى اللّٰهُ ۗوَمَا كَانَ اللّٰهُ لِيُضِيْعَ اِيْمَانَكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوْفٌ رَّحِيْمٌ

Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu (umat Islam) ”umat pertengahan” agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar Kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh, (pemindahan kiblat) itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sungguh, Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang kepada manusia.

Hasbi al-Shiddieqy menafsirkan lafadz ummatan wasathan sebagai umat yang seimbang (moderat), tidak hidup berlebih-lebihan dalam beragama (ghuluw/ ekstrem) dan tidak pula termasuk orang yang terlalu kurang dalam menunaikan kewajiban agamanya.

Al-Shiddieqy menjelaskan bahwa yang disebut sebagai ummatan wasathan dalam ayat ini ialah umat Muhammad dan bukan dua umat sebelumnya (Yahudi dan Nasrani). Sebab dalam uraiannya ia menjelasakan bahwa umat Yahudi adalah umat yang tergolong maddiyun atau materialistis, cinta dunia. Sedangkan umat Nasrani ialah umat yang terlalu berlebihan dalam dunia spiritualitas dan sampai meninggalkan kehidupan duniawi bahkan sampai seolah tidak sadar bahwa ia hidup di dunia (ruhaniyyun).

Maka berdasar penafsiran ayat ini, ada poin penting yang didapati yaitu definisi ummatan wasathan menurut Hasbi al-Shiddieqy. Jika disimpulkan, ummatan wasathan adalah umat yang selalu menjaga keseimbangan, baik seimbang dalam mementingkan kehidupan duniawi dan ukhrawi, serta seimbang dalam menjalani kehidupannya di dunia sebagai makhluk yang membutuhkan materi dan hamba Tuhan yang membutuhkan asupan spiritualitas.

Definisi yang dihadirkan oleh al-Shiddieqy dapat dijadikan sebagai standar yang apik dalam upaya mendefinisikan diri (otokritik) sehingga pantas dimasukkan ke dalam golongan ummatan wasathan. Setidaknya ada dua poin yang bisa direfleksikan dalam kehidupan saat ini. Pertama, manusia harus menyadari dirinya sebagai makhluk yang hidup di dunia dan sekaligus hamba Tuhan. Kesadaran ini penting untuk menjaga keseimbangan dalam kehidupan manusia itu sendiri.

Keseimbangan yang dimaksud ialah di satu sisi manusia modern tidak begitu saja terbuai dengan segala kenikmatan yang hadir di tengah gemerlapnya kemajuan teknologi sehingga melupakan kehidupannya setelah mati. Di sisi lain manusia juga tidak hanya memikirkan kematian dan kehidupan setelah mati, namun lupa bahwa kemajuan teknologi dan kemajuan-kemajuan lainnya di abad ini dapat menjadi sarana untuk menjadi manusia yang bermanfaat sekaligus bekal bagi kehidupan akhirat.

Baca Juga: Inilah 3 Syarat Utama Implementasi Islam Wasathiyah Menurut Quraish Shihab

Kedua, ummatan wasathan di era saat ini bisa diuraikan sebagai umat yang mampu mengharmonisasikan antara kemajuan peradaban dan spiritualitas. Artinya kemajuan peradaban (seperti halnya teknologi) bukan berarti mengenyampingkan spiritualitas namun justru dapat digunakan sebagai sarana meningkatkan spiritualitas dan bahkan menjadikan geliat spiritualitas sebagai wasilah inspiratif dalam mewujudkan suatu terobosan teknologi.

Bukti realistis dari poin kedua ini ialah lahirnya portal-portal kajian keislaman online yang juga menyajikan konten-konten ringan nan berbobot serta dilandasi semangat moderatisme. Seperti halnya tafsirquran.id sebuah platform kajian tafsir virtual yang lahir dari geliat spiritualisme agama (membangun peradaban islami berbasis tafsir al-Qur’an) dan saat ini menjadi sarana yang mendukung bagi umat Islam untuk meningkatkan spiritualitasnya melalui kajian-kajian al-Qur’an yang disajikan di dalamnya.

Dari dua poin reflektif tersebut, setidaknya penulis ingin memberikan gambaran bahwa isu moderasi Islam atau Islam wasathiyah sebenarnya tidak terbatas pada counter narasi terhadap fenomena radikalisme dan terorisme agama. Namun juga mencakup berbagai wacana yang memperlihatkan respon Islam sebagai agama yang selalu mampu memberikan tawaran metodologis serta memperhatikan sisi-sisi keseimbangan di dalamnya. Wallahu a’lam bish shawab.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...