Bencana banjir merupakan satu dari sekian fenomena bencana alam yang telah akrab dengan peradaban kehidupan manusia sejak zaman dahulu. Di Indonesia sendiri, banjir telah menjadi bagian dari sejarah dan sampai saat ini masih terjadi. Dalam al-Qur’an bahkan ada beberapa ayat-ayat kisah yang menggambarkan terjadinya banjir di suatu kaum dan kesemuanya dinilai oleh umumnya mufasir sebagai azab yang ditimpakan karena sikap kufur teologis. Salah satu ayat yang berbicara mengenai banjir ialah Q.S. al-Saba’: 15-17:
لَقَدْ كَانَ لِسَبَاٍ فِيْ مَسْكَنِهِمْ اٰيَةٌ ۚجَنَّتٰنِ عَنْ يَّمِيْنٍ وَّشِمَالٍ ەۗ كُلُوْا مِنْ رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَاشْكُرُوْا لَهٗ ۗبَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَّرَبٌّ غَفُوْرٌ فَاَعْرَضُوْا فَاَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ سَيْلَ الْعَرِمِ وَبَدَّلْنٰهُمْ بِجَنَّتَيْهِمْ جَنَّتَيْنِ ذَوَاتَيْ اُكُلٍ خَمْطٍ وَّاَثْلٍ وَّشَيْءٍ مِّنْ سِدْرٍ قَلِيْلٍ ذٰلِكَ جَزَيْنٰهُمْ بِمَا كَفَرُوْاۗ وَهَلْ نُجٰزِيْٓ اِلَّا الْكَفُوْرَ
Sungguh, bagi kaum Saba’ ada tanda (kebesaran Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri, (kepada mereka dikatakan), “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik (nyaman) sedang (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun.”
Tetapi mereka berpaling, maka Kami kirim kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit pohon Sidr.
Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena kekafiran mereka. Dan Kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.
Secara garis besar, ketiga ayat ini berbicara tentang kaum Saba’, kekufuran dan bencana banjir sebagai sebagai balasan atas kekufuran. Kaum Saba’ sendiri dikenal sebagai sebuah negeri yang makmur (baldatun thayyibatun) sebab memiliki hasil alam yang begitu melimpah. Mereka memiliki kebun-kebun yang terbentang di sisi kanan maupun kiri bendungan Ma’rib (karena terletak di lembah Ma’rib) atau dikenal juga dengan bendungan ‘Arim. Distribusi air dari bendungan ‘Arim yang menyebabkan kebun-kebun masyarakat Saba’ subur dan makmur.
Baca Juga: Benarkah Musibah adalah Adzab dari Allah? Gus Baha: Bukan Hak Kita Menjudge!
Namun sayangnya, kesuburan dan kemakmuran negeri Saba’ tidak abadi dan harus berakhir ditelan bencana banjir. Dalam ayat dijelaskan bahwa penyebab kaum Saba’ ditimpa musibah banjir ialah keberpalingan mereka (فَاَعْرَضُوْا). Redaksi ini pada umumnya dikomentari oleh para mufasir sebagai wujud kufur teologis, seperti halnya Ibn Katsir dan Ibn ‘Asyur yang menyatakan bahwa kaum Saba’ telah berpaling dari nikmat iman serta tauhid dan memilih kembali pada agama nenek moyang mereka meskipun telah banyak utusan Allah yang telah diturunkan kepada mereka.
Para mufasir juga menjelaskan bahwa bencana banjir yang menimpa kaum Saba’ tidak begitu saja terjadi sebagaimana yang dialami kaum nabi Nuh as. Namun disebabkan oleh hancurnya bendungan Ma’rib atau ‘Arim, maka oleh al-Qur’an banjir itu diberi nama sail al-‘arim. Ibn ‘Asyur menyebutkan bahwa hancurnya bendungan ‘Arim disebabkan oleh kelalaian kaum Saba’ yang tidak melakukan pemugaran akibat perang saudara yang terjadi di antara mereka.
Penafsiran umumnya mufasir terhadap penyebab terjadinya banjir di Saba’, bertumpu pada alasan kufur teologis. Hal itu bisa dinalar secara semantik bahwa kata a’radha atau i’radh (bentuk mashdar) merupakan sikap penolakan yang harus didahului oleh seruan maupun ajakan.
Sebab pada masa itu, menurut riwayat yang dikutip oleh para mufasir, terjadi penolakan terhadap ajakan para utusan Allah yang berupaya mengajak masyarakat Saba’ kembali pada syari’at Islam. Poin penting yang bisa ditangkap dari sebab terjadinya banjir yang menimpa kaum Saba’ ialah penolakan pada ajakan pelaksanaan syari’at Islam.
Dalam perspektif tafsir ekologi, pelaksanaan syari’at Islam difungsikan salah satunya ialah untuk tujuan menjaga lingkungan (hifz al-bi’ah). Hal ini menekankan bahwa dalam syari’at Islam, terdapat tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan kemaslahatan lingkungan sehingga umat Islam juga dituntut atau di-taklif untuk melaksanakannya. Maka apabila dibaca dengan kacamata tafsir ekologi, penyebab bencana banjir tidak hanya terpusat pada masalah teologis namun juga memungkinkan jika disebabkan oleh masalah ekologis.
Dengan begitu kesimpulan yang bisa diambil bahwa banjir di masa kaum Saba’ bisa saja dipahami sebagai balasan yang Allah timpakan akibat kufur teologis yang mereka lakukan. Namun apabila dikontekstualisasi tentu setiap ruang dan waktu memiliki masalah yang berbeda-beda terkait dengan penerimaan dan pengamalan syari’at Islam. Lalu bagaimana dengan banjir yang terjadi di Indonesia?
Baca Juga: Inilah 3 Macam Musibah Yang Digambarkan dalam Al-Quran
Maka bencana banjir yang terjadi silih berganti di Indonesia, jika merujuk pada pendapat ahli yang umumnya menyatakan bahwa faktor utama terjadinya banjir disebabkan oleh perilaku manusia itu sendiri, bisa dinilai merupakan akibat dari kufur ekologis. Perilaku kufur ekologis ini lahir dari ketidakhirauannya manusia pada alamnya dan pada kasus umat Islam, kufur ekologis terjadi sebab sikap acuh tak acuh umat Islam dalam menjalankan syari’atnya yang berkaitan dengan lingkungan.
Realita ini sudah semestinya mendorong umat Islam—khususnya umat Islam Indonesia yang merupakan mayoritas umat beragama di negeri ini—mulai berbenah dan melaksanakan syari’atnya secara syumuli (komprehensif) dan optimal. Sebab setiap syari’at yang umat Islam jalankan sejatinya memberikan manfaat kepada dirinya sendiri dan juga pada lingkungannya. Wallahu a’lam.