Penafsiran terhadap Al-Quran, selain sebagai produk, juga merupakan rangkaian proses dialektis antara teks, mufasir dan realitas. Ini dapat dilihat dari motode, corak, karakteristik dan kecenderungan tafsir yang dari hari ke hari mengalami perkembangan dan pergeseran. Tidak terkecuali dalam konteks Indonesia. Salah satu indikator kemajuan yang membedakan dengan abad-abad sebelumnya adalah produktifitas dan orisinilitas karya tafsir berikut metodologi yang digunakan. Tidak sekedar penerimaan terhadap tafsir dari luar, tafsir-tafsir di Indonesia juga mulai ditulis secara mandiri. Dalam konteks kemunculan dan perkembangan tafsir ilmi di Indonesia, setidaknya dapat dipetakan menjadi tiga periode besar. Berikut penjelasannya:
Baca Juga: Menilik Kehadiran Tafsir Ilmi
Periode pertama (1900-1950)
Episode awal sejarah tafsir ilmi di Indonesia dapat dicirikan dengan upaya meramu ulang epistemologi tafsir tradisonal yang cenderung menilik Al-Quran dari sisi kebahasaan, fiqh dan tasawuf. Penafsiran berbasis ilmu pengetahuan dalam tafsir Al-Quran yang mulai dimasukkan sebagai warna baru tafsir merupakan pengaruh besar dari transformasi ide pembaruan Islam melalui jaringan yang terus meningkat antara Timur Tengah dan Indonesia.
Di antara gagasan pembaruan Timur Tengah dalam konteks penafsiran ilmiah Al-Quran adalah gagasan Muhammad Abduh, baik yang di bawa oleh para pelajar Indonesia di Mesir ataupun melalui publikasi tulisan-tulisan dalam majalah al-Manar. Kecenderungan baru dalam khazanah tafsir Indonesia ini merupakan pengaruh kuat sentuhan gagasan Abduh, di mana ia juga dipengaruhi oleh karakter pemikiran Barat yang sangat positivistik.
Tidak sedikit, mufasir Indonesia yang terpengaruh oleh gagasan Abduh. Di antara mufasir yang terpengaruh oleh gagasan Reformis Mesir itu adalah Mahmud Yunus yang diterimanya melalui Rasyid Ridha dan murid-murid Abduh lainnya melalui interaksi mereka selama Yunus menimba ilmu di Mesir antara tahun 1924 hingga 1930.
Syarifuddin dan Azizy dalam Mahmud Yunus: Pelopor Pola Baru Penulisan Tafsir al-Qur’an Indonesia menyebut Yunus dengan tafsirnya, Tafsir Qur’an Karim (1938) sebagai salah satu tokoh generasi awal dan pelopor yang dianggap ikut memberikan legitimasi terhadap munculnya tafsir ilmi. Sebetulnya, sebelum Yunus, ada nama Ahmad Hasan melalui al-Furqan fi Tafsir al-Qur’an (1928) yang mulai memperkenalkan penafsiran-penafsiran berbasis ilmu pengetahuan, meskipun penjelasan yang diberikannya terbilang sederhana.
Bila ditelisik lebih jauh, karakteristik penafsiran ilmiah di Indonesia pada periode awal kemunculannya adalah sebatas mengafirmasi bahwa Al-Quran sangat dimungkinkankan untuk dipahami melalui kacamata ilmu pengetahuan dan tidak menfokuskan kajiannya pada keterkaitan antara Al-Quran dan ilmu pengetahuan. Selain itu, mufasir periode awal lebih memilih untuk mencari titik temu antara perspektif Al-Quran dan perspektif ilmu pengetahuan.
Baca Juga: Mengenal Lebih Jauh Tentang Tafsir Ilmi: Pengertian dan Perkembangannya
Periode kedua (1951-2000)
Seiring berjalannya waktu, penafsiran perspektif ilmu pengetahuan semakin aplikatif. Sebab data-data ilmiah ilmu pengetahuan berdasarkan penelitian terbaru cukup mendukungnya. Jika sebelumnya, penafsiran ilmiah dalam sebuah tafsir merupakan adopsi dari tafsir-tafsir sebelumnya yang memuat elemen ilmu pengetahuan, maka pada perkembangan tafsir ilmi di Indonesia selanjutnya mulai ditemukan eksplorasi yang semakin padat ketika menjelaskan ayat dengan berdasar pada pengetahuan sains.
Dengan adanya data-data ilmu pengetahuan dan sains yang mencukupi, nuansa ilmi tumbuh subur dalam tafsir-tafsir di Indonesia. Dalam kurun waktu 1951-2000, beberapa tafsir yang menampilkan penafsiran ilmiah adalah Tafsir Al-Azhar (1976) karya Hamka, Samudera al-Fatihah (1972) milik Bey Arifin (1972), Tafsir al-Quranul Madjied an-Nur (1973) karya Hasbi ash-Shiddieqy, dan Tafsir Surat Yaa-Sien (1978) milik Zainal Abidin Ahmad.
Secara umum, kajian tentang relasi Al-Quran dan sains semakin semarak setelah diselenggarakannya seminar Internasional bertajuk “Mukjizat Al-Quran dan as-Sunnah tentang IPTEK.” Seminar ini diadakan di Bandung pada tanggal 29 Agustus sampai 2 Semptember 1994 dan dipimpin oleh Ahmad As Showy. Dihadiri oleh para pakar IPTEK dari 15 Negara dan beberapa peninjau dari negara-negara tetangga. Kumpulan makalah yang disajikan dalam seminar tersebut kemudian dibukukan dengan judul “Mukjizat a1-al-Qur’an dan as-Sunnah tentang IPTEK.”
Hasil seminar tersebut di antaranya adalah memasyarakatkan dialog intelektual antara ulama yang mendalami Al-Quran dengan kalangan ilmuwan; menghimpun pemikiran dari para IPTEK serta ulama ahli Al-Quran untuk menyusun dan memperbaiki paradigma pada institusi-institusi pendidikan Islam; menggagas kesadaran kolektif umat Islam akan pentingnya IPTEK yang banyak disebut dalam Al-Quran.
Bahkan, beberapa ilmuan muslim yang turut andil dalam seminar tersebut ada yang menulis buku yang mengungkap keterkaitan erat antara Al-Quran dan Sains. Salah satunya adalah Ahmad Baiquni dengan karyanya Alquran Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (1994) dan Alquran dan Ilmu Pengetahuan Kealaman (1997).
Baca Juga: Penjelasan Fenomena Mendung, Petir, dan Guruh dalam Al-Quran
Periode ketiga (2000-sekarang)
Perkembangan tafsir ilmi di Indonesia terus berlanjut. Diskursus seputar hubungan Al-Quran dan ilmu pengetahuan mendapat perhatian yang cukup besar dari kalangan ilmuwan muslim dan peminatnya semakin banyak pasca runtuhnya orde baru (1998). Umumnya, yang melakukan penafsiran ilmiah adalah ilmuwan, cendekiawan, dosen, dan dokter yang tidak memiliki latar belakang pendidikan tafsir. Fenomena unik ini merupakan fenomena global yang juga terjadi di negara-negara lain. Misalnya, Muhammad Syahrur yang meski mempelajari bahasa Arab, namun dididik secara formal di jurusan teknik.
Menurut laporan Rohimin dalam Pemetaan Arah Baru Studi Tafsir Alquran di Indonesia Era Reformasi dan Muttaqin dalam Konstruksi Tafsir Ilmi Kemenag RI-LIPI: Melacak Unsur Kepentingan Pemerintah dalam Tafsir, sebagai salah satu upaya kongkrit institusional dari Kementrian Agama adalah dengan menerbitkan seri Tafsir Ilmi tepatnya pada tahun 2009. Tafsir ini merupakan bentuk kerja sama antara Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Quran, Badan Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI serta Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Kerja sama ini dimulai semenjak tahun 2009, dan di tahun 2011 sudah ada sepuluh tema yang berhasil disusun dan diterbitkan. Pada tahun 2013 tafsir ini menambah tema pembahasan menjadi tiga yaitu Makanan dan Minuman Perpsektif Al-Quran dan Sains, Samudra dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains, dan Waktu dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains. Pada tahuan 2015, tafsir ini melengkapi diri menjadi 14 jilid dengan 13 judul atau tema. Kemudian ada Tafsir Salman: Tafsir Ilmiah atas Juz Amma (2014) karya kolektif para ilmuwan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Sementara beberapa literatur yang membahas Al-Quran dan sains—untuk sekedar menyebut sebagian—adalah Dimensi Sains Al-Quran: Menggali Kandungan Ilmu Pengetahuan dari Al-Quran (2004) karya Ahmad Fuad Pasya, Ayat-ayat Semesta: Sisi-sisi Al-Quran yang Terlupakan (2008) karya Agus Purwanto, dan Buku Pintar Sains dalam Al-Quran: Mengerti Mukjizat Ilmiah Firman Allah (2013) karya Nadiah Thayyarah. Dan sampai detik ini, kajian seputar Al-Quran dan sains masih terus dilakukan.
Wallahu a’lam