BerandaTafsir TematikTafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Memahami Al-Quran dan Memahami Allah Swt

Berbicara tentang al-Quran tidak akan terhenti oleh terbatasnya ruang dan waktu, baik al-Quran dipandang sebagai teks kitab atau kalamullah sebagai sifat-Nya. Namun, bagi Ibn Ajibah kedua pandangan tersebut bertujuan untuk  memperkuat wujud kesempurnaan Allah. Maka, wujud kesempurnaan Allah tertuang di dalam memahami al-Quran. Kenapa demikian? Karena al-Quran memiliki sifat “tidak terbatas” khususnya dalam memahaminya. Istilah yang Ibn Ajibah gunakan adalah mafāhīm al-Qurān lā tatanāhā “memahami al-Qur’an itu tidak ada akhirnya/batasnya”.

Pernyataan Ibn Ajibah tersebut mengindikasikan bahwa di dalam al-Quran terdapat rahasia, makna, dan isyarat yang sangat luas dan tidak terbatas. Artinya, setiap makna yang terkandung dibelakang teks zahir, di dalamnya terdapat makna bathin; dimana tidak semua orang memiliki kemampuan menyingkap makna bathin tersebut. Diperlukan perasaan dan pengalaman spiritualitas yang sangat kuat.

Sebagai langkah awal untuk menyingkap makna bathin ialah dengan mengamalkan apa yang telah difahami selama proses memahami al-Quran. Karena di dalam prosesnya, Allah akan membuka makna bathin itu kepada orang yang dikehendaki-Nya, dengan barokah mengamalkan al-Quran. Di dalam kitab al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1,35) Ibn Ajibah mengatakan:

فَإِنَّ مَنْ عَمِلَ بِمَا عَلِمَ وَرَّثَهُ اللهُ عِلْمَ مَا لَمْ يَعْلَمْ

Sesungguhnya orang yang mengamalkan apa yang telah ia ketahui, maka Allah akan mewarisinya pengetahuan yang ia belum ketahui.

Baca Juga: Tafsir Sufistik Ibn Ajibah: Kesucian Jiwa dalam Surah An-Nur Ayat 21-22

Oleh kerena itu, orang yang mempunyai seribu pemahaman dari setiap huruf al-Quran, itu tidak terlepas dari kehendak dan karunia Allah; karena pada hakikatnya al-Quran adalah sifat Allah, yaitu kalam; dan kalamullah tidak terbatas. Allah swt berfirman dalam Q.S Luqman [31]: 27-28

وَلَوْ أَنَّما فِي الْأَرْضِ مِنْ شَجَرَةٍ أَقْلامٌ وَالْبَحْرُ يَمُدُّهُ مِنْ بَعْدِهِ سَبْعَةُ أَبْحُرٍ ما نَفِدَتْ كَلِماتُ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ (27) ما خَلْقُكُمْ وَلا بَعْثُكُمْ إِلاَّ كَنَفْسٍ واحِدَةٍ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (28)

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan lautan (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh lautan (lagi) setelah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat-kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana[27] Menciptakan dan membangkitkan kamu (bagi Allah) hanyalah seperti menciptakan satu jiwa saja (mudah). Sesungguhnya Allah Maha Mendengan, Maha Melihat[28]. (Q.S Luqman [31]: 27-28)

Tafsir Sufistik Sebagai Seni Memahami al-Quran

Karakteristik tafsir sufistik Ibn Ajibah ialah menonjolkan tafsir bathiniyah setelah mengungkap makna zahirnya, di antaranya dengan pendekatan bahasa. Jalan yang ditempuh olehnya sebagai proses memahami sifat dan kesempurnaan Allah, yang hanya bisa ditempuh dengan tafsir bathin dan tidak melupakan makna zahir. Karena kedua makna tersebut adalah sebuah keniscayaan. Rasulallah saw bersabda yang diriwatkan oleh Ibn Mas’ud. Al-Mu’jam al-Kabīr li At-Thabrani (10,105) :

وَأُنْزِلَ الْقُرْآنُ عَلَى سَبْعَةِ أَحْرُفٍ، وَلِكُلِّ آيَةٍ مِنْهَا ظَهْرٌ وَبَطْنٌ

Al-Quran diturunkan dalam tujuh huruf, setiap satu ayat di dalamnya terdapat makna zahir dan bathin. (H.R Al-Thabrani)

Atas dasar hadis di atas, para ulama membagi makna al-Quran kepada dua, yaitu zahir dan bathin. Namun, yang dimaksud –dalam perkataanya- bukan pada hakikat al-Qur’an itu sendiri, karena hakikat al-Quran adalah satu. Timbulnya pembagian tersebut karena dihubungkan dengan tingkatan manusia.

Ibn Ajibah mengklasifikasikan manusia berdasarkan seni memahami al-Quran ke dalam lima tingkatan; pertama, kafir,  mereka memandang al-Quran hanyalah kerugian. Kedua, munafik, al-Quran hanya menambah penyakit saja. Ketiga, muslim, al-Quran dipahami dengan sederhana. Keempat, mukmin, membaca al-Quran disertai fikiran yang teliti, mencerahkan, dan mendalam. Kelima, muhsin, yaitu orang-orang seakan-akan ia melihat Allah, sehingga ia membaca al-Quran seakan-akan ia mendengar dari Tuhannya. al-Bahru al-Madīd Fī Tafsīr al-Qur’an al-Majīd (1,36)

Dari lima tingkatan tersebut, tiga golongan yaitu kafir, munafik, dan muslim memahami al-Quran dengan zahirnya saja; dua golongan dengan menghimpun makna zahir dan bathin yaitu mukmin dan muhsin. Dua golongan terakhir inilah yang akan menemukan wujud kesempurnaan Allah.

Makna Isyari Surah Luqman ayat 27-28

Pada mulanya ayat 27 tersebut sebagai jawaban dari pertanyaan orang Yahudi, yang bertanya kepada Rasulallah saw terkait Q.S Al-Isra [17] ayat 85, “Kalian hanya diberi ilmu itu hanya sedikit”. Mereka (Yahudi) merespon ayat tersebut, “Apakah itu untuk kami atau kaummu? Padahal kami mempunyai taurat (hikmah) dan di dalamnya terdapat keterangan untuk semua perkara” Rasulullah menjawab, “Semua itu jika dibandingkan dengan ilmu Allah sangat sedikit”. Maka turunlah surah Luqman ayat 27.

Di sisi lain, ayat 27 tersebut merupakan bentuk ketegasan Allah bahwa kalamullah (Al-Quran) tidak akan terjangkau oleh siapa pun dan tidak akan ada orang yang puas dalam memahami al-Qur’an, karena pada hakikatnya memahami al-Quran adalah proses memahami sifat Allah yang sempurna.

Oleh karena kesempuranaan milik Allah, bagi makhluk yang dianggap “serupa” mempunyai sifat seperti Allah hanyalah sebutan saja dan dinisbatkan kepada “makna bahasa” semata. Perkataan “orang itu bisa berbicara, mampu, berilmu dan lain sebagainya” itu semua tidak akan terwujud apabila Allah tidak memberikan sifat tersebut kepada makhluk-Nya. Sehingga semua sifat yang ada dalam diri makhluk itu terbatas dan tidak sempurna.

Selanjutnya, setelah Allah memperkenalkan sifat kalam dan ‘ilmu, pada ayat 28 berbicara terkait kemampuan dan kekuasaan Allah yang digambarkan dengan penciptaan, baik menciptkan atau membangkitkan bagi-Nya sangat mudah. Artinya, sedikit atau banyaknya perkara tidak ada bedanya dihadapan Allah, sehingga tidak mungkin disibukan dengan dua perkara yang berbeda. Karena semua perkara ada dalam qudratullah (kekuasaan/kemampuan Allah).

Baca Juga: Imam An-Nawawi: Pembaca Al-Qur’an Perlu Membayangkan Allah Hadir Di Hadapannya

Ibn Ajibah menafsirkan qudratullah dengan memberikan imajinasi berupa lebih cepat dari kedipan mata. Allah menciptakan dan membangkitkan  makhluk tidak sampai sekejap mata, bahkan lebih cepat dari itu. Rahasia dari perkataan tersebut mencakup dua poin, yaitu untuk menunjukkan kesempuraan Allah dan ketidak mampuan manusia mengukur kekuasaan Allah.

Oleh sebab itu, masyhur dikalangan sufi perkataan, “Sesungguhnya aku memperoleh manfaat dari diriku sama halnya kalian memperoleh manfaat dariku, dan itu semua limpahan (karunia) Tuhan”. Nampaknya, dalam perkataan tersebut ada upaya untuk mengonstruksi hakikat Allah –yang maha sempurna- dan hakikat makhluk –serba terbatas-. Salah satu untuk memperoleh manfaat ialah dengan memahami al-Quran, dan kegiatan itu pada hakikatnya sebagai prosesi memahami wujud kesempurnaan Allah. Wallahu ‘alam.

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...