BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranBolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

Bolehkah Menulis Mushaf Al-Quran dengan Selain Rasm Utsmani?

Ketika membaca Al-Qur’an kita sering menemukan lafal atau teks suatu kata Al-Qur’an yang memiliki perbedaan dalam sisi susunan struktur kata dengan penulisan bahasa Arab konvensional saat ini. Hal ini terjadi dikarenakan mushaf Al-Qur’an tersebut ditulis menggunakan rasm utsmani. Jika demikian, apakah penulisan mushaf Al-Qur’an itu harus menggunakan rasm utsmani? Bolehkah jika menulis mushaf Al-Quran menggunakan standar penulisan bahasa Arab konvensioanl (rasm imla’iy) saat ini?

Menyikapi pertanyaan tersebut, terjadi perbedaan pendapat di antara para ulama terkait hukum menulis mushaf Al-Quran dengan selain rasm utsmani. Secara umum, Musthafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Mastu dalam karyanya al-Wadhih fi ‘Ulum al-Qur’an memaparkan bahwa perbedaan pendapat tersebut sekurang-kurangnya terbagi dalam dua pandangan atau pendapat ulama berikut:

Baca Juga: Sepuluh Pijakan Ilmu Rasm Utsmani Yang Patut Diketahui

Pendapat Pertama

Para ulama kelompok pertama ini berpandangan bahwa rasm utsmani merupakan suatu sistematika penulisan mushaf Al-Qur’an yang bersifat tauqifi. Sehingga tidak diperbolehkan bagi para penulis mushaf Al-Quran untuk menyalahi kaidah penulisan yang telah ditetapkan oleh rasm utsmani.

Argumentasi kelompok pertama ini didasarkan pada persetujuan Nabi atas penggunaan rasm yang sama dengan rasm utsmani sebagai basis dasar penulisan mushaf Al-Qur’an. Sebagaimana disampaikan oleh Musthafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Mastu berikut:

بِأَنَّ النَّبِيَّ ص.م كَانَ لَهُ كُتَّابٌ يَكْتُبُوْنَ الوَحْيَ، وَقَدْ كَتَبُوْا القُرْآنَ فِعْلًا بِهَذَا الرَّسْمِ، وَأَقَرَّهُمْ رَسُوْلُ اللهِ ص.م عَلَى كِتَابَتِهِمْ

“Sesungguhnya Nabi Saw memiliki para penulis yang bertugas menulis wahyu, dan mereka menulis Al-Qur’an berdasarkan rasm ini (rasm ustmani). Dan Rasulullah Saw membenarkan atas hasil penulisan mereka”

Berdasarkan data tersebut, maka rasm utsmani layak dijadikan patokan dalam penulisan mushaf, karena sunnah Nabi itu tidak hanya ucapan, atau perbuatan Nabi, namun juga termasuk ketetapan Nabi (taqrir) atas suatu hal tertentu.

Kemudian, dari sisi historis, penggunaan rasm pada masa Nabi tersebut terus digunakan oleh generasi selanjutnya, mulai dari era pengumpulan pertama yang dilakukan pada masa Abu Bakar hingga era standarisasi mushaf pada masa Utsman ibn Affan. Hingga akhirnya rasm yang digunakan dalam menulis mushaf Al-Qur’an pada masa utsman tersebut dikenal dengan istilah rasm utsmani.

Tidak berhenti disitu, pada era tabi’in dan setelahnya, tidak ada satupun dari para penulis mushaf Al-Qur’an yang menyalahi rasm utsmani. Berdasarkan fakta historis tersebut, maka kelompok pertama ini mewajibkan penulisan mushaf Al-Qur’an dengan rasm ustmani, karena sudah menjadi semacam sunnah mutaba’ah.

Baca Juga: Inilah Potret Mushaf Tertua Nusantara di Rotterdam, Tidak dengan Rasm Usmani

Pendapat Kedua

Berbeda dengan pendapat pertama, terdapat sebagian ulama yang lebih cenderung memandang rasm utsmani hanya sebatas istilah semata yang digunakan oleh sekelompok orang untuk menunjuk kepada suatu sistematika penulisan (rasm) tertentu. Oleh karena itu, rasm utsmani dipandang oleh kelompok kedua ini sebagai suatu hal yang tidak bersifat tauqifi.

Mereka yang berpendapat demikian menggunakan basis argumentasi dikarenakan tidak adanya dalil baik dari Al-Qur’an, Hadis, maupun Ijma’ dari umat tentang kewajiban mengikuti rasm utsmani dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an. Tidak hanya itu, kelompok ini menyatakan bahwa dalam beberapa riwayat hadis justru menunjukkan akan kebolehan menulis dengan perangkat rasm apa saja, selama itu lebih memudahkan dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an.

Selain itu, memang Nabi menyuruh para sahabat yang tergabung dalam kuttab al-wahy untuk menulis wahyu-wahyu ilahi yang disampaikan kepada mereka. Namun, Nabi tidak menjelaskan kaidah atau format penulisan tertentu yang harus dijadikan dasar pijakan dalam proses penulisan mushaf Al-Qur’an. Oleh karena itu, ditemukan adanya perbedaan khat dalam mushaf-mushaf yang ditulis oleh para sahabat.

Sehingga dengan alasan kemudahan tersebut, mereka ingin mengubah rasm utsmani menjadi rasm imla’i, seperti penulisan (طه) menjadi (طاها), kemudian lafal (الله) menjadi (اللاه) dan seterusnya. Beberapa ulama yang berpendapat demikian antara lain adalah Ibnu Khaldun dan Abu Bakar al-Baqillani.

Baca Juga: Memahami Selisih Pendapat Tentang Rasm Yang Dilematik

Pandangan Jumhur Ulama

Mayoritas ulama dan para imam madzhab yang muktabar sepakat bahwa rasm utsmani adalah tauqifi. Oleh karena itu, haram hukumnya menulis mushaf Al-Qur’an dengan selain rasm utsmani sebagaimana disampaikan oleh Abu al-Wafa Ahmad menyebutkan dalam karyanya al-Mukhtar min ‘Ulum al-Qur’an al-Karim berikut:

وَنُقِلَ عَنِ الْإِمَامِ أَحْمَدِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى أَنَّهُ قَالَ: تَحْرُمُ مُخَالَفَةُ خَطِّ مُصْحَفِ عُثْمَانِ فِيْ وَاوٍ، أَوْ أَلِفٍ، أَوْ بَاءٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ. وَنَقَلَ الإِمَامُ الجَعْبَرِيُّ وَغَيْرُهُ إِجْمَاعُ الْأَئِمَّةُ الْأَرْبَعَةُ عَلَى وُجُوْبِ اِتِّبَاعِ رَسْمِ الْمُصْحَفِ العُثْمَانِي

“Dikutip dari Imam Ahmad rahimahullah ta’ala, bahwasanya ia berkata: haram untuk menyelisihi khat mushaf Utsman, baik dalam partikel wawu, alif, ba’ ataupun selainya. Dikutip juga dari Imam al-Ja’bariy dan selainya, bahwasanya empat Imam madzhab telah sepakat bahwa wajib hukumnya untuk mengikuti rasm al-mushaf al-utsmani

Selain telah menjadi kesepakatan di antara para ulama’, Sya’ban Muhammad Isma’il dalam karyanya Rasm al-Mushaf wa Dlabthuhu menjelaskan bahwa rasm utsmani memiliki berbagai keistimewaan yang menjadikan rasm utsmani lebih unggul dibanding rasm yang lain. Salah satu keistimewaan tersebut adalah kalimat yang ditulis dengan rasm utsmani dapat mencakup ragam macam qira’at. Misalnya dalam QS. al-Fathir [35] ayat 40:

قُلْ اَرَاَيْتُمْ شُرَكَاۤءَكُمُ الَّذِيْنَ تَدْعُوْنَ مِنْ دُوْنِ اللّٰهِ ۗاَرُوْنِيْ مَاذَا خَلَقُوْا مِنَ الْاَرْضِ اَمْ لَهُمْ شِرْكٌ فِى السَّمٰوٰتِۚ اَمْ اٰتَيْنٰهُمْ كِتٰبًا فَهُمْ عَلٰى بَيِّنَتٍ مِّنْهُۚ بَلْ اِنْ يَّعِدُ الظّٰلِمُوْنَ بَعْضُهُمْ بَعْضًا اِلَّا غُرُوْرًا – ٤٠

Dalam Al-Qur’an, kata bayyinah disebutkan sebanyak 19 kali, seluruhnya ditulis menggunakan ta’ marbuthah (بينة) kecuali dalam ayat tersebut yang ditulis dengan ta’ ta’nits (بينت). Hal ini dikarenakan adanya qira’at yang membaca kalimat bayyinah dengan bentuk jamak (بينات), namun ada juga yang membacanya dengan bentuk mufrad (بينة). Oleh karena itu, dalam redaksi ayat tersebut kalimat bayyinah oleh rasm utsmani ditulis dengan ta’ ta’nits namun tanpa alif sebagaimana bentuk jamak, sehingga dapat menampung dua bentuk varian qira’at.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penulisan mushaf Al-Qur’an harus menggunakan rasm utsmani. Selain itu, para ulama juga sepakat bahwa rasm utsmani merupakan rasm yang bersifat tauqifi dan memiliki berbagai keistimewaan dibanding rasm lain. Oleh karena itu, mayoritas ulama sepakat bahwa menulis mushaf Al-Quran dengan selain rasm utsmani ataupun menggunakan rasm imla’iy adalah haram. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...