Metode tafsir kontekstual dapat dikategorikan sebagai metode alternatif yang mumpuni dalam memahami dan menghidupkan Al-Qur’an, terutama menjadikannya sebagai Kitab Suci yang shalih likulli zaman wa makan (cocok untuk setiap waktu dan tempat). Amin Abdullah, dalam tulisannya “Memaknai Al-Ruju’ ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah” (2015), mengatakan bahwa pemahaman kontekstuallah yang tepat digunakan dalam menerapkan pemahaman Al-Qur’an di ruang dan waktu yang berbeda, termasuk di Indonesia.
Metode tafsir kontekstual dapat dipahami sebagai upaya menafsirkan Al-Qur’an dengan melibatkan pemahaman konteks pewahyuan dan konteks pengkajinya. Metode kontekstual tersebut tidak datang begitu saja, ia memiliki fakta sejarah tersendiri sebagai landasan yang menjadikannya penting diterapkan dalam memahami Al-Qur’an. Di sini, saya akan memaparkan secara singkat sejarah beserta ragam metode penafsiran Al-Qur’an secara kontekstual tersebut.
Baca Juga: Mengenal Ma’na Cum Maghza Sebagai Pendekatan Tafsir Ala Sahiron Syamsuddin
Kemunculan Metode Tafsir Kontekstual
Sebenarnya, kemunculan memahami Al-Qur’an secara kontekstual dapat kita rujuk sejak terjadinya proses pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri. Ini berdasarkan karekteristik pemahaman Al-Qur’an ketika disampaikan secara lisan dari Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat Arab. Di sana, Al-Qur’an dipahami secara kontekstual. Pemahaman yang kontekstual tersebut berdasarkan komponen kelisanan Al-Qur’an, yaitu Al-Qur’an sebagai teks lisan/tuturan, Allah SWT melalui Nabi Muhammad SAW sebagai penutur, masyarakat Arab sebagai pendengar/lawan tutur, dan Arab sebagai konteks tuturan.
Pemahaman kontekstual lainnya dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal ini terlihat ketika pendengar wahyu (masyarakat Arab) tidak memahami maksud ayat yang disampaikan, maka mereka akan bertanya kepada Nabi Muhammad SAW. Di sini, Nabi Muhammad SAW menjelaskan secara lisan tentang ayat yang tidak dipahami tersebut berdasarkan konteks pendengar wahyu, sehingga mereka memahami maksud ayat tersebut.
Selain dari proses pewahyuannya secara lisan, dan penafsiran Nabi Muhammad SAW. Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang melakukan pemahaman kontekstual, misalnya Umar ibn Khattab yang tidak menerapkan hukuman potong tangan bagi pencuri karena konteks berbeda dengan saat ayat potong tangan diwahyukan pada era Nabi Muhammad SAW.
Pemahaman konteks ini kemudian menjadi perhatian tersendiri oleh para ulama. Di antaranya, adanya kaidah atau teori yang mengatakan bahwa al-ibrah bi khushushi al-sabab la bi umumi al-lafdz, maksudnya untuk memahami ayat Al-Qur’an mesti dibarengi dengan pemahaman konteksnya. Dalam ulumul Qur’an juga memberikan perhatian tersendiri pada pemahaman konteks, seperti adanya ilmu asbabun nuzul, makki madani, dan seterusnya. Lebih jauh, ilmu-ilmu terkait konteks Al-Qur’an tersebut senantiasa digunakan oleh para penafsir Al-Qur’an.
Dari sini, keterlibatan konteks dalam pemahaman Al-Qur’an telah dilakukan secara substansi, baik oleh para penafsir, ulama ulumul Qur’an, Nabi dan sahabatnya, bahkan Allah SWT sendiri melalui Al-Qur’an yang disampaikan secara lisan. Upaya melibatkan konteks ini kemudian menjadi komponen utama bagi penafsir kontemporer, terutama dari kalangan sarjana, dalam kerangka metode tafsir kontekstual.
Ragam Metode Tafsir Kontekstual
Para sarjana kontemporer melihat sisi konteks Al-Qur’an sebagai bagian penting dalam menemukan pemahaman Al-Qur’an era pewahyuan. Saat yang sama, para sarjana tersebut juga melihat sisi konteks mereka, sebagai pengkaji Al-Qur’an, yang juga penting dalam menemukan pemahaman Al-Quran terkini. Konteks pada era pewahyuan dan konteks para pengkaji Al-Qur’an inilah yang menjadi bagian utama metode tafsir kontekstual.
Di sini, beberapa metode tafsir kontekstual yang dapat dipaparkan di sini adalah double movement yang dicetuskan oleh Fazlur Rahman, kontekstualisasi oleh Abdullah Saeed, ma’na-cum-maghza oleh Sahiron Syamsuddin, tafsir maqashidi oleh Abdul Mustaqim, dan verbalisasi Al-Qur’an oleh Muhammad Alwi HS (penulis tulisan ini). Menariknya, sekalipun berbagai metode tersebut sepakat melibatkan konteks Al-Qur’an era pewahyuan dan konteks pengkaji, tetapi setiap metode tersebut memiliki kekhasan tersendiri.
Melalui double movement dari Fazlur Rahman, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai kitab yang mengandung panduan etis atau ethico-legal. Fazlur Rahman mengatakan bahwa yang terpenting dari kehadiran Al-Qur’an dalam kehidupan manusia, bukan makna literalnya saja, tetapi pemahaman yang menjadi konsepsi pandangan dunia (waltanshaung). Pemahaman ini kemudia ia sebut sebagai ideal moral atau ide dasar yang terkandung dalam penyampaian wahyu Al-Qur’an. Ideal moral inilah yang berlaku ketika hendak memahami Al-Qur’an secara kontekstual.
Melalui Kontekstualisasi dari Abdullah Saeed, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai kitab yang dapat diterapkan dalam konteks yang berbeda, dengan mengambil pesan utama yang dapat disebut sebagai hirarki nilai. Dalam pemahaman hirarki nilai tersebut, dapat dipahami adanya nilai yang tetap atau tidak. Nilai yang tetap dijumpai dalam kasus-kasus ibadah dan keyakinan, sementara nilai yang berubah dapat dijumpai dari kasus-kasus hukum. Perubahan ini biasanya terjadi dalam kitab-kitab tafsir, dan juga pengkaji yang terakhir. Lebih jauh, perubahan tersebut dipengaruhi oleh konteks kehidupan pengkajinya.
Baca Juga: Inilah Lima Latar Belakang Penafsiran Kontekstual Abdullah Saeed
Melalui ma’na-cum-maghza dari Sahiron Syamsuddin, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an memuat pemahaman yang disebut signifikansi. Signifikansi tersebut terbagi menjadi dua, yaitu fenomenal dan ideal. Signifikansi fenomenal terbagi menjadi dua: (1) signifikansi fenomena historis yang dapat dipahami sebagai pesan Al-Qur’an pada era pewahyuan. (2) signifikansi dinamis yang dapat dipahami sebagai pesan Al-Qur’an dalam kitab-kitab tafsir. Sementara signifikansi ideal yaitu pemahaman yang menjadi pesan utama Al-Qur’an. Jadi, Ma’na sebagai pemahaman era pewahyuan dan kitab tafsir, dan maghza sebagai pemahaman yang berlaku bagi pengkaji Al-Qur’an.
Melalui tafsir maqashidi dari Abdul Mustaqim, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an memuat berbagai kemaslahatan, yang disebut maqashid, baik pada ayat-ayat hukum, sosial, sains atau lainnya. Maqahsid tersebut di antaranya hifdz al-aql (penjagaan akal), hifdz al-din (penjagaan agama), hifdz al-mal (penjagaan harta), hifdz al-nafs (penjagaan nyawa), dan seterusnya. Maqashid ini dapat ditemukan dengan perhatian pada konteks pewahyuan Al-Qur’an, teks Al-Qur’an, hingga konteks pengkajinya yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai disiplin keilmuan.
Melalui verbalisasi Al-Qur’an dari Muhammad Alwi HS, kita dapat memahami bahwa Al-Qur’an sebagai Kitab Suci berbasis fenomena kelisanan, yang memuat pedoman hidup atau hudan. Pedoman hidup tersebut terbagi menjadi pedoman hidup temporal dan universal. Pedoman hidup temporal yaitu pemahaman Al-Qur’an untuk masyarakat Arab pada era pewahyuan. Sementara pedoman hidup universal yaitu pemahaman Al-Qur’an untuk pengkaji Al-Qur’an berdasarkan tempat dan waktunya.
Berbagai metode tafsir kontekstual di atas menunjukkan sangat pentingnya memahami Al-Qur’an secara kontekstual. Hal ini terlihat sejak kemunculannya yang memiliki landasan yang kuat, karena metode-metode tersebut didukung oleh fakta sejarah pewahyuan Al-Qur’an itu sendiri. Terlebih lagi, maraknya ulama-ulama yang memerhatikan pembacaan konteks Al-Qur’an, baik ulama ulumul Qur’an, tafsir, dan lainnya. [] Wallahu A’lam.