BerandaTafsir TematikRagam Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri

Ragam Pandangan Mufassir Tentang Pemukulan Suami Terhadap Istri

Secara umum, ajaran Islam mengatur bahwa tidak ada seorangpun yang boleh memukul orang lain kecuali memiliki hak atasnya. Pandangan ini bisa ditemukan dalam Tahżīb al-Aṡar (hlm. 418-419). Dalam kitab tersebut, aṭ-Ṭabarī memandang bahwa pemukulan diperbolehkan jika dalam konteks pengajaran adab, baik itu pemukulan suami terhadap istri, tuan terhadap budaknya, maupun orangtua terhadap anaknya. Aṭ-Ṭabarī mendasari pandangannya dengan merujuk pada surah al-Ahzāb (33): 58:

وَٱلَّذِينَ يُؤْذُونَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ بِغَيْرِ مَا ٱكْتَسَبُوا۟ فَقَدِ ٱحْتَمَلُوا۟ بُهْتَٰنًا وَإِثْمًا مُّبِينًا

Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (Al-Ahzab ayat 58)

Pandangan Mufassir Seputar Pemukulan Suami Terhadap Istri

Syaikh Nawawi penulis at-Tafsīr al-Munīr, menyebutkan rincian apa saja sikap yang dilakukan istri sehingga suami memiliki hak untuk (boleh) memukul istri. Yaitu saat istri tidak berhias padahal suami menghendaki, tidak memenuhi ajakan ke ranjang, keluar rumah tanpa seizin suami, istri memukul anaknya karena menangis, istri menghina orang lain, istri menyobek baju suami, istri menarik janggut suami, memanggil suami dengan panggilan hai bodoh atau hai keledai, istri membuka wajahnya atau berbiacara pada orang lain yang bukan mahram, istri berbicara dengan suami tetapi bertujuan agar suaranya didengar orang lain, istri memberikan sesuatu yang tidak lazim dari rumahnya kepada orang lain, dan istri menolak menyambung silaturahim (Syarh ‘Uqūd al-Lujjain fî Bayān Huqūq az-Zawjain. hlm. 5).

Baca juga: Inilah 15 Nama-Nama Surga Yang Disebutkan dalam Al-Qur’an

Ulama sepakat bahwa pemukulan merupakan salah satu cara menyikapi istri yang berbuat nusyūz (al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XL: 295). ‘Illah hukum mengenai kebolehan pemukulan istri yang bersikap nusyūz adalah tidak ta’atnya istri ‘adam alimtiṡāl’ terhadap suami. (Ijābat as-Sā’il Syarh Bugyāh al-Amal, hlm. 188).

Ibn Qāsim misalnya, meriwayatkan ijmak ulama mengenai kebolehan suami memukul istri yang bersikap nusyūz, kebolehan berlaku setelah menasehati dan pisah ranjang tidak berhasil membuat istri berhenti bersikap nusyūz (Hāsyiah ar-Rau al-Murbi’i, VI: 455). Ibn Qudāmah juga menyebut ijmak mengenai ketidakbolehan suami memukul istri hanya disebabkan karena takut berbuat nusyūz, pemukulan tidak diperkenankan sebelum sikap nusyūz sudah benar benar terjadi (al-Mugni, X: 260).

Dalam literatur Islam, kebolehan pemukulan (seperti umum diketahui) sebenarnya tidak hanya berlaku terhadap istri yang bersikap nusyūz (dalam rangka memberi pelajaran). Pemukulan juga boleh dilakukan terhadap orang yang menolak menunaikan kewajibannya padahal ia mampu, suami yang menolak untuk membayar kafarat ihar, orang yang bertransaksi riba, orang yang mengkonsumsi makanan atau minuman yang diharamkan, orang yang memberi atau menerima suap, orang yang memberi kesaksian palsu, orang yang mencoba melarikan diri dari penjara, dan orang yang meninggalkan kewajiban seperti shalat dan zakat.

Baca juga: Perhatikan! Ini Hak Beragama menurut Tiga Mufasir Tersohor Indonesia

Hamka dalam tafsir Al-Azhar mengatakan ada keizinan memukul (istri yang bersikap nusyuz) jika dipandang sudah sangat perlu, tetapi orang (suami) yang berbudi tinggi akan berupaya memukul dapat dielakkan. Senada dengan Hamka, menurut Abdul Majid Daryabadi, fakta yang tidak boleh hilang dari pandangan bahwa al-Qur’an ditujukan kepada banyak orang dari segala macam latar belakang sosial budaya, mungkin saja pemukulan bisa menjadi satu solusi yang tidak terpikirkan dalam tipe masyarakat tertentu, dan merupakan satu-satunya jalan perbaikan yang layak dan efektif pada satu masyarakat (Tafsir al-Qur’an – English Translation and Commentary of the Holy Qur’an, I: 327).

Sedangkan Syaikh Nawawi dalam at-Tafsīr al-Munīr, memaparkan konteks pemukulan yaitu adanya nusyūz dari istri dan memukul hanya dilakukan ketika nusyūz istri tidak lagi bisa diatasi melalui nasihat dan pisah ranjang. Sekalipun demikian, memukul bukanlah sesuatu yang mulia dan sebaiknya tidak dilakukan (khilāf al-aulā). Jika suami tetap memilih mendidik dengan pemukulan, maka wajib dilakukan dengan cara yang tidak mencelakakan istri, tidak melukai, tidak meninggalkan bekas, tidak terfokus pada satu titik bagian tubuh tapi merata ke berbagai bagian, dan tidak berkali-kali. Hal ini hanya bisa dilakukan jika memukul menggunakan sapu tangan yang lembut (at-Tafsīr al-Munīr, I: 149).

Sementara Syaikh Nawawi memandang pemukulan sebagai sesuatu yang sebaiknya tidak dilakukan (khilāf al-aulā), Imam Atha memandang makruh pemukulan suami terhadap istri yang nusyuz. Imam ‘Aṭā berpandangan bahwa seorang suami tidak diperkenankan untuk memukul isterinya, melainkan tindakan yang paling tinggi adalah dengan memarahinya saja.

Redaksi perintah “pukullah” pada ayat an-Nisā’ (4): 34 menurut Imam Ata’ menunjukan kebolehan (ibāhah), tetapi Imam ‘Aṭā sendiri memilih makruh, dengan pertimbangan argumentasi lain, yaitu hadis Nabi yang diriwayatkan Abdullah bin Zam’ah, bahwa Nabi bersabda: “Sesungguhnya aku tidak senang (benci) terhadap lelaki yang memukul istrinya ketika dia marah, padahal bisa saja setelah itu menggaulinya pada hari yang sama” (Ahkām al-Qur’ān, I: 420).

Baca juga: Memaknai Istilah-istilah Manusia dalam Al-Qur’an Perspektif Bintu Syathi

Meski terdapat ragam pandangan para ulama mengenai pemukulan suami terhadap istri yang bersikap nusyuz, Ibn Kaṡīr dalam Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azīm  (II: 258-259) memberi peringatan, ketika istri kembali mematuhi suami dalam hal yang diizinkan Allah, maka suami tidak berhak mendiamkannya (pisah ranjang) atau memukulnya. Mengingatkan suami bahwa jika mereka memukul istri tanpa alasan yang dapat diterima, maka Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar (sebagaimana disebut pada akhir ayat) adalah pelindung mereka, dan Allah akan membalas suami yang berbuat melampaui batas terhadap istri dan memperlakukan mereka dengan tidak adil.

Pernyataan mengenai pemukulan istri dalam an-Nisā’ (4): 34 secara lahiriah tampaknya menunjukan pemukulan terhadap istri yang bersikap nusyūz diperbolehkan bahkan menggunakan bentuk perintah. Tetapi beberapa tafsir mengenai ayat tersebut menunjukan adanya pandangan makruh dan khilāf al-aulā.

Pemukulan dalam literatur tafsir juga ditemukan syarat tidak membekas dan dilakukan dengan tujuan mendidik istri agar kembali kepada normalnya hubungan pernikahan. Walaupun pemukulan dalam kasus ini diperbolehkan, ulama tetap menyarankan bahwa meninggalkan pemukulan lebih utama. Pemukulan ringan setelah langkah-langkah lain diambil hanyalah bersifat kebolehan, bukan rekomendasi apalagi kewajiban dari al-Qur’an.

Bisa jadi mengingat beragamnya konteks sosial budaya masyarakat, bagi sebagian kalangan, pemukulan ringan yang tidak membahayakan merupakan satu-satunya cara yang bisa diandalkan untuk menghentikan sikap nusyūz istri, memperbaiki perilakunya, dan berujung pada terselamatkanya pernikahan. Alih-alih memberikan kebebasan, an-Nisā’ (4): 34 justru memperingatkan suami bahwa mereka mesti bertanggung jawab kepada Allah jika bersikap melampaui batas terhadap hamba-hamba-Nya.

Misbahul Huda
Misbahul Huda
PP Bustanul Ulum Brebes, Dosen STAI Al Hikmah 2, Minat Kajian Studi Islam
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...