Dalam Bahasa Arab pengulangan isim (kata benda) punya arti tersendiri. Setidaknya dikenal empat macam kaidah. Tetapi, tahukah anda ada sebagian ulama yang menganggap penerapan kaidah-kaidah tersebut mengandung inkonsistensi saat digunakan dalam menginterpretasikan Al-Qur’an? Tulisan ini, sedikit akan membahas terkait topik tersebut.
Menurut Syekh Abdullah Al-‘Asymawi dalam Syarah Al-‘Asymawi ‘Ala Matn Al-Ajurumiyah Fi Qowaid Al-Arobiyah (13) kaidah pengulangan isim ini adalah kaidah aghlabiyah (kaidah yang cakupannya tidak menyeluruh terhadap semua permasalahan). Sehingga memang tidak menutup celah adanya anggapan seperti itu. Namun, bagi sebagian ulama ada yang mencoba menjawab terkait permasalahan ini, seperti dalam Al-Itqon Fi Ulumil Qur’an, walaupun berupa jawaban singkat.
Oleh karena itu, penulis mencoba mencari tambahan jawaban atas anggapan inkonsistensi tersebut dengan melihat hasil interpretasi atau penafsiran para mufasir yang tertuang dalam lembaran kutubut tafsir karya mereka, sebagai salah satu usaha dalam mengembangkan kajian Ulumul Qur’an yang mungkin dianggap “sudah final” pembahasannya oleh sebagian orang.
Baca juga: Kaidah Nakirah dan Ma’rifah: Bagaimana Jika Kata (Isim) yang Sama Disebutkan Dua Kali?
Gambaran Batasan Pengulangan Isim
Sebelum masuk pembahasan, ada beberapa pertanyaan terkait tema ini. Diantaranya, bagaimana gambaran suatu isim itu dianggap terulangi? Haruskah bersambung dalam satu ayat atau boleh terpisah?
Syekh Bahaudin As-Subki (w. 773) dalam ‘Arus Al-Afroh Fi Syarh Talkhis Al-Miftah (I/212-213) telah menjelaskan bahwa mengulangi isim dua kali itu maksudnya pengulangan dalam satu pembicaraan (kalam), atau dua pembicaraan yang antara keduanya masih ada hubungan, seperti di’athofkan pada lainnya, punya hubungan dhohir, atau kesesuaian yang jelas.
Anggapan Inkonsistensi Kaidah Pertama
فَإِنْ كَانَا مَعْرِفَتَيْنِ فَالثَّانِيْ هُوَ الْأَوَّلُ غَالِبًا
Jika kedua isim tersebut ma’rifat, maka umumnya isim yang kedua maksudnya sama dengan isim yang pertama
Kaidah ini ditentang oleh sebagian ulama dengan mengajukan beberapa ayat, seperti yang termuat dalam ‘Arusul Afroh (I/20), yaitu QS. Al-Baqorah [2]:178 yang terdapat kata الْحُرُّ بِالْحُرِّ dan QS. Al-Insan [76]:1-2 yang terdapat kata الْإِنْسَان.
Sekilas terlihat kata Al-Hurr kedua itu bukanlah yang pertama, karena orang yang diqishah dengan orang yang menyebabkan diqishah itu beda. Begitu juga kata Al-Insan pertama maksudnya Adam dan yang kedua maksudnya anak cucunya. Mungkin bisa saja benar seperti itu. Toh, mengingat kaidah ini hanya kaidah aghlabiyah. Namun, bukan berarti tidak ada jawaban atas anggapan ini.
Baca Juga: Mengenal Istilah Nakirah dan Ma’rifah dalam al-Quran
Jawaban Atas Anggapan
Imam Suyuthi dalam Al-Itqon-nya telah menjawab, bahwa Al yang terdapat pada kata Al-Hurr dan Al-Insan di atas itu merupakan Al lil Jinsi (Al untuk menunjukkan jenis). Dengan demikian, kata tersebut seakan bermakna seperti halnya nakirah (umum).
Terlebih penafsiran ini sesuai dengan kaidah ilmu nahwu yang menyebutkan bahwa diantara ciri-ciri Al Jinsiyah itu Al-nya bisa diganti dengan kata Kull (semua/seluruh/setiap). Sehingga kata Al-Hurr diartikan dengan setiap orang merdeka dan kata Al-Insan dengan setiap manusia.
Senada dengan pernyataan di atas, Imam Ar-Razi dalam masterpiece-nya, Mafatih Al-Ghoib (V/53-54) juga berkata bahwa alif lam pada kata Al-Hurr itu berfaidah umum. Beliau melanjutkan penjelasannya:
فَقَوْلُهُ الْحُرُّ بِالْحُرِّ يُفِيدُ أَنْ يُقْتَلَ كُلُّ حُرٍّ بِالْحُرِّ
Maka Firman-Nya: الْحُرُّ بِالْحُرِّ itu memberikan faidah bahwa setiap orang merdeka dibunuh sebab membunuh setiap budak
Lebih lanjut, Ibnu Asyur dalam At-Tahrir Wa At-Tanwir (XXIX/372) mengomentari bahwa Al-nya kata Al-Insan pada QS. Al-Insan [76]:1-2 itu merupakan Al lil jinsi, beliau berkata:
وَتَعْرِيفُ الْإِنْسانِ لِلِاسْتِغْرَاقِ مِثْلُ قَوْلِهِ: إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا الْآيَة، أَيْ هَلْ أَتَى عَلَى كُلِّ إِنْسَانٍ حِينٌ كَانَ فِيهِ مَعْدُومًا
Pema’rifatan dalam kata Al-Insan berfaidah istighroq (menghabiskan atau menyeluruh), seperti Firmannya: “Sungguh, semua manusia berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman…” dst. Maksudnya, bukankah pernah ada waktu dimana tak ada seorangpun manusia pada waktu itu?
Sudah maklum dalam ilmu nahwu, bahwa Al Mu’arrifah ada 2 macam, Al ‘Ahdiyyah dan Al Jinsiyyah. Kemudian Al ‘Ahdiyyah sendiri terbagi menjadi 3, yaitu lil ‘ahdi adz-dzikri, lil ‘ahdi adz-dzihni dan lil ‘ahdi al-hudhuri. Begitu juga Al Jinsiyyah terbagi menjadi 3, yaitu li istighraq al-afrod, li istighraq ash-shifat, dan li bayan al-haqiqat.
Begitu juga Imam Ar-Razi dalam Mafatihul Ghoib (XXX/235) menyebutkan para ulama berbeda pendapat mengenai maksud dari kata Al-Insan yang disebutkan pada ayat ini. Sekelompok ulama ahli tafsir menghendaki Nabi Adam Alaihissalam. Sedangkan sebagian yang lain adalah anak keturunannya.
Bagi kelompok pertama mereka menganggap bahwa Allah SWT telah menyebutkan penciptaan Adam di ayat ini (QS. Al-Insan [76]:1). Kemudian mengiringinya dengan menyebutkan anak keturunannya dalam Firman-Nya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya” (QS. Al-Insan [76]:2).
Sedangkan menurut pendapat kedua yang menafsirkan anak keturunan Adam, berdalil dengan Firman-Nya: “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani”. Maka kata Al-Insan dalam dua tempat tersebut menurut mereka maksudnya adalah satu, yaitu anak keturunannya. Syekh Ali Ash-Shobuni tampaknya lebih condong ke pendapat yang kedua ini, sebagaimana dalam Shofwah At-Tafasir (III/491)–nya.
Baca Juga: Makna-Makna Sighat Amar (Perintah) dalam Al-Quran (Bagian 2)
Diantara ayat yang dalam kitab ‘Arus Al-Afroh juga dijadikan salah satu contoh bantahan terhadap kaidah pertama adalah QS. Al-Ankabut [29]:47 sebagai berikut:
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يُؤْمِنُونَ بِه
“Dan demikian pulalah Kami menurunkan Al-Kitab kepadamu maka orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab mereka beriman kepadanya”
Sekilas tentu kata Al-Kitab pertama adalah Al-Qur’an dan Al-Kitab kedua adalah Taurat atau Injil. Mungkin memang bisa juga ditafsirkan seperti itu. Namun, penulis melihat ada celah untuk menjawab anggapan tersebut, seperti dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan:
فَالَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتابَ يُؤْمِنُونَ بِهِ أَيِ الَّذِينَ أَخَذُوهُ فَتَلَوْهُ حَقَّ تِلَاوَتِهِ مِنْ أَحْبَارِهِم الْعُلَمَاءِ الْأَذْكِيَاءِ، كَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَلَامٍ وَسَلْمَانَ الْفَارِسِيِّ وَأَشْبَاهِهِمَا
Maka orang-orang yang telah Kami berikan kepada mereka Al-Kitab mereka beriman kepadanya. Maksudnya, orang-orang yang mengambil Al-Kitab, lalu membacanya dengan bacaan yang sebenarnya dari para ilmuwan, yaitu para ulama yang cerdas-cerdas, seperti Abdullah Ibnu Salam, Salman Al-Farisi dan yang sama dengan mereka berdua.
Ayat sebelumnya, Allah sekilas telah menyinggung mengenai Ahli kitab dan kitab-kitab terdahulu. Sehingga menurut penulis, tak mengapa kalau kata Al-Kitab kedua langsung ditafsirkan dengan “mereka yang diberikan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan mengambilnya, lalu mereka membacanya dengan seksama tentu akan beriman kepada Al-Kitab tersebut (Al-Qur’an)”.
Bahkan dengan penafsiran di atas, cakupan maknanya menjadi lebih luas. Tidak terkhusus dengan orang-orang yang diberi Taurat atau Injil saja, akan tetapi mencakup siapa saja yang mau mengambil Al-Qur’an, membacanya dengan benar, dan merenungi kandungan isinya dia pasti akan mengimani kebenarannya, kecuali mereka yang kafir dan dzolim.
Sekaligus penafsiran ini bisa menjadi salah satu jawaban bahwa sebetulnya ayat ini terbebas dari anggapan inkonsistensi kaidah pertama ini. Begitupun kaidah-kaidah selainnya juga terbebas dari anggapan tersebut. Ingin tahu jawabannya? Nantikan tulisan berikutnya.
Wallahu Ta’ala A’lam.