Orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya oleh Allah swt sebagaimana yang dilukiskan dalam firman-Nya (Q.S. al-Mujadalah [58]: 11). Dalam pengertian yang lebih luas, orang yang berilmu adalah mereka yang menjadi pakar di bidangnya.
Fenomena the death of expertise (matinya kepakaran) di era disrupsi teknologi menjadi hal yang tak terbantahkan. Karenanya Al-Qur’an menyoroti hal ini sebagaimana dalam firman-Nya di bawah ini (Q.S. al-Baqarah [2]: 5) dan Rasul saw pun telah mewanti-wanti bahwa suatu perkara jika tidak diserahkan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.
اُولٰۤىِٕكَ عَلٰى هُدًى مِّنْ رَّبِّهِمْ ۙ وَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
Merekalah yang mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. al-Baqarah [2]: 5)
Tafsir Surat al-Baqarah Ayat 5
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menafsirkan kata ulaaika dengan al-muttashifuna bima taqaddama (orang-orang yang memiliki ciri-ciri terdahulu) yakni mereka yang beriman kepada hal yang gaib, beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menegakkan shalat dan menginfakkan sebagian hartanya di jalan Allah swt, dan yakin adanya kehidupan akhirat.
Sedangkan redaksi ‘ala hudan dimaknai sebagai nur wa bayan wa bashirah (cahaya, bukti yang nyata dan penglihatan). Maksudnya adakah mereka yang mendapat cahaya kebenaran dan petunjuk dari Allah swt. Dan redaksi wa ulaika humul muflihun, dimaknai dengan mereka lah orang-orang yang beruntung di mana memperoleh apa yang mereka minta dan selamat dari kejahatan.
Lain halnya dengan Ibnu Katsir, al-Qurthuby memiliki penafsiran berbeda. Ia mengkhususkan penafsiran pada redaksi muflihun di situ. Muflihun menurutnya berasal dari kata falah, bermakna syaqqun wa qath’un (membelah dan memotong). Sebab muflih (petani) membelah dan memotong tanah untuk bercocok tanam. Dalam konteks ayat ini, muflihun diartikan sebagai qad qatha’a al-masha’iba hatta naala mathulubuhu (memotong atau membelah kesukaran sehingga mendapatkan apa yang dicarinya).
Dalam Tafsir Jalalain misalnya, sifat muflihun (orang-orang yang beruntung) telah disebutkan pada ayat sebelumnya (Q.S. al-Baqarah ayat 3-4). Sedangkan mereka yang beruntung pada ayat ini adalah mereka yang mendapat surga dan selamat dari api neraka. Al-Baghawy menambahkan, bahwa kata hudan bermakna kebenaran, keterangan, dan hujjah yang nyata. Sedangkan al-muflihun berasal dari kata al-falah yang berarti al-baqa’ (kekal).
Artinya, mereka kekal dalam kenikmatan yang abadi. Adapun makna dasar al-falah adalah al-qath’u dan al-syaqqu, yang berarti putus atau pecah. Dari sini kemudian petani disebut sebagai al-falah karena petani selalu membelah tanah dan memotong semak belukar guna bercocok tanam.
Keberuntungan Bagi Mereka yang Menjadi Pakar di Bidangnya
Ayat di atas menyiratkan satu pesan yang sekaligus dapat dimaknai bahwa beruntung lah mereka yang menjadi pakar atau ahli di bidangnya. Menjadi pakar memang tidaklah mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin. Ada beberapa tahapan yang harus ia tempuh untuk mendapat predikat sebagai seorang pakar yang mempunyai otoritas berbicara tentang suatu ilmu yang dikuasainya.
Di era disrupsi dan pandemi ini, kepakaran adalah menjadi hal yang urgent. Bagaimana tidak, misalnya dalam urusan wabah covid-19, dokter yang mempunyai otoritas untuk berbicara kesehatan sangat diperlukan dalam hal ini. Begitu pula ulama yang ‘alim sangat dibutuhkan untuk berbicara dan mendakwahkan kepada masyarakat dalam hal keagamaan.
Dalam hal ini saya ingin menyatakan, orang yang menjadi pakar dalam keilmuan tertentu, baik pakar kesehatan, ekonomi, pendidikan, olahraga dan lainnya itulah sesungguhnya yang disebut dalam ayat ini sebagai muflihun, orang-orang yang beruntung mendapat petunjuk dari-Nya, surga-Nya bersiap untuk menyambutnya kelak dan berbagai benefit lain yang ia dapatkan. Wallahu A’lam.