Kisah Khadijah dan Pembacaan Mubadalah Faqihuddin Abdul Kodir atas QS. Al-Alaq: 1-5

Khadijah ra
Khadijah ra

Khadijah ra. adalah Istri Nabi Muhammad SAW yang juga perempuan pertama yang memeluk agama Islam. Kenyataan ini membentuk kisah yang menarik tentang posisi perempuan dalam sejarah Islam, terutama merespon relasi sosial antara perempuan dan laki-laki. Di sini, Faqihuddin Abdul Kodir mengulas sosok Khadijah dalam kisahnya tentang awal kenabian Muhammad SAW. Ulasan Faqihuddin tersebut dapat dirujuk dalam bukunya, Qira’ah Mubadalah.

Faqihuddin melihat Khadijah sebagai satu fakta bahwa Islam memanggil, menyamakan laki-laki dan perempuan secara setara. Kajiannya ini merupakan model baru yang belum pernah disentuh dalam tradisi tafsir atas QS. Al-‘Alaq: 1-5, ataupun analisis sejarah kenabian Muhammad SAW. Faqihuddin membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki dipanggil secara bersamaan dan setara sejak awal Islam. Tulisan ini akan membahas kajian Faqihuddin tersebut.

Mengenal Faqihuddin dan Pembacaan Mubadalahnya

Faqihuddin Abdul Kodir merupakan sarjana Indonesia kontemporer yang pendidikan S1-nya diambil dengan double deggre di Fakultas Dakwah Abu Nur (1989-1995) dan Fakultas Syari’ah di Universitas Damaskus-Syria. Pendidikan S2-nya diambil di Fakultas Islamic Revealed Knowledge and Human Sciences dalam budang Pengembangan fiqh zakat (1996-1999) di International Islamic University Malaysia. Sebenarnya, beliau juga belajar S2 tentang fiqh dan ushul fiqh di Universitas Khrtoum-Cabang Damaskus, tetapi beliau tidak menyelesaikannya.

Baca Juga: Mengenal Faqihuddin Abdul Kodir, Perintis Metode Qira’ah Mubādalah

Faqihuddin melanjutkan S3-nya di Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS) UGM Yogyakarta (2009-2015). Disertasinya yang berjudul Interpretasi Abu Syuqqah terhadap Teks-teks Hadits untuk Penguatan hak-hak Perempuan dalam Islam termasuk banyak mempengaruhi pemikiran Faqihuddin, terutama yang tertuang dalam buku Qira’ah Mubadalah: Tafsir Progresif untuk Keadilan Gender dalam Islam.

Beliau memang dikenal sangat akrab dengan pemikiran-pemikiran isu keadilan gender. Beliau pernah aktif selama 10 tahun di kerja-kerja sosial keislaman untuk pengembangan masyarakat, terutama pengembangan perempuan. Beliau mendirikan Fahmina Institute bersama Buya Husein, Kang Fandi,dan Zeky, dan memimpin eksekutif pada 2000-2009. Beliau juga aktif di Lembaga Kemaslahatan Keluarga (LKK NU) Pusat, dan menjadi Sekretariat Nasional Alimat (Gerakan Nasional untuk Keadilan dalam Perspektif Islam).

Faqihuddin mengungkap bahwa buku Qira’ah Mubadalah merupakan rekaman dinamika teks dan konteks yang resiprokal antara laki-laki dan perempuan. Konsep dan metode pemaknaan mubadalah adalah bagian kecil dari kerja peradaban Islam Indonesia, terutama mereka yang meyakini keadilan relasi perempuan dan laki-laki. Buku ini pertama kali diterbitkan pada bulan Februari 2019 oleh IRCiSoD Yogyakarta. Dalam buku inilah kisah Khadijah ra diulas dalam kerangka keadilan relasi perempuan dan laki-laki dalam Islam.

Khadijah ra. adalah Orang Lain Pertama yang Dipanggil dalam Islam

Umum dipahami dalam sejarahnya bahwa setelah Nabi Muhammad SAW menerima surah Al-Alaq: 1-5 sebagai Wahyu Pertama dalam Islam. Beliau diselimuti kekhawatiran dan kebimbangan tak terhingga yang dialaminya dari tempatnya bertahannuts di gua Hira hingga sampai di rumahnya. Dalam keadaan ini, Nabi Muhammad SAW pertama kali menceritakan keadaannya ini kepada istrinya, Khadijah ra.

Menariknya, redaksi literal surah Al-‘Alaq: 1-5 memperlihatkan penggunaan struktur bahasa laki-laki yang umum dipakai oleh masyarakat Arab, seperti iqra’ bukan iqra’i. Menurut Faqihuddin bahwa saat itu Nabi Muhammad SAW memahami bahwa wahyu tersebut bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk umat manusia (laki-laki dan perempuan).

Oleh karena itu, sekalipun redaksi literal surah Al-Alaq: 1-5 menggunakan struktur bahasa laki-laki, tetapi Nabi Muhammad SAW juga memperdengarkannya kepada Khadijah ra. Pada saat inilah Khadijah ra. menjadi perempuan pertama, bahkan sebagai Orang Lain pertama yang dipanggil oleh Islam melalui surah Al-‘Alaq: 1-5.

Bagi Faqihuddin bahwa fakta di atas menunjukkan bahwa perintah “membaca”, sebagaimana perintah surah Al-‘Alaq: 1-5, bukan hanya untuk laki-laki tetapi juga ditujukan untuk perempuan. Sekiranya melalui ayat ini, laki-laki diperintahkan untuk membaca ayat-ayat Allah SWT yang tertulis maupun dalam bentuk hamparan alam semesta, maka ayat ini juga mesti berlaku untuk perempuan. Dapat juga dipahami bahwa, melalui kasus Khadijah ra., perempuan tidak boleh dihalangi dan dilarang untuk iqra’.

Kisah Khadijah ra. sebagai Fakta Mubadalah laki-laki dan Perempuan

Secara sederhana, Islam melalui QS. Al-‘Alaq: 1-5 memanggil manusia secara keseluruhan, sehingga di dalamnya adalah laki-laki dan perempuan. Yang menjadi catatan menarik bahwa kisah Khadijah ra. adalah kejadian awal Islam yang menjadi fakta mubadalah antara laki-laki dan perempuan.

Faqihuddin menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan, secara bersamaan, berhak memperoleh semua ilmu pengetahuan, dan berhak melakukan ‘pembacaan’ atas apa ada di seluruh alam ini.  Kisah Khadijah ra. menjadi kesaksikan sebagai manusia dan sebagai perempuan –untuk menggugurkan karakter patriarkhi yang dipegang sebagian laki-laki- yang menerima berita kewahyuan Nabi Muhammad saw.

Ketika beliau menerima, Khadijah ra. bukan hanya langsung mengimaninya, tetapi juga menjadi pendukung utama misi kenabian dan Islam. Bahkan, Khadijah ra. adalah menusia pertama yang meyakinkan Nabi Muhammad SAW ketika ragu, menenangkan ketika galau, dan melipur ketika sedih.

Baca Juga: Memaknai Kandungan al-Quran dan Perintah Iqra’

Dalam sejarah Islam, umum dicatat bahwa Khadijah ra. mengeluarkan seluruh hartanya untuk mendukung penuh misi Islam ini. Singkatnya, Khadijah ra. merupakan salah satu model perempuan yang patut diteladani dan dipahami tentang bagaimana Islam memanggilnya bersamaan dengan laki-laki. Dengan kesamaan tersebut, hak-hak beserta kewajiban-kewajiban dalam iqra’ atau ‘bacalah’ adalah milik bersama laki-laki dan perempuan.

Khadijah ra. adalah yang diperintahkan oleh wahyu Islam berupa iqra’ dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5, demikian juga wahyu-wahyu lainnya. Fakta mubadalah ini menjadikan laki-laki dan perempuan menjadi subjek dihadapan wahyu-wahyu Islam. Keduanya dipanggil, diajak, diperintahkan, demikian juga dilarang, yang semuanya itu mengarah pada ketaatan dan ikut atas ajaran-ajaran Islam. [] Wallahu A’lam.