Di Nusantara sendiri telah lahir banyak, sosok ulama pakar di bidang tafsir seperti Syaikh Nawawi al-Bantani, Buya Hamka, KH. Misbah Mustofa, KH. Ahmad Sanusi, A. Hassan dan masih banyak lagi. Akan tetapi artikel ini akan mencoba mengenalkan sosok Mbah Fadhal al-Senory sebagai sosok guru besar ulama Nusantara yang luar biasa, yang juga merupakan salah seorang guru Mbah Maimoen Zubair.
Abu al-Fadhl bin Abd al-Syakur atau lebih akrab disapa dengan Mbah Fadhal, merupakan seorang ulama kelahiran Sedan Rembang, Jawa Tengah pada tahun 5 Syawal 1335 H atau bertepatan 5 Juni 1917 M.
Baca juga: Surah Al A’raf Ayat 199: Cara Menghadapi Orang yang Suka Merendahkan Kita
Meskipun terlahir di Jawa Tengah, dalam jurnal Paradigma Abul Fadhal Terhadap Hukum Fikih Ibadah (Hermeneutik, Vol. 13, No. 2, 149) disebutkan bahwa Mbah Fadhal diajak oleh ayahnya untuk pindah ke desa Swedang Jatirogo di Tuban, Jawa Timur untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu-ilmu keislaman di sana. Dari sini lah gelar al-Senory disematkan kepada Mbah Fadhal, karena kelak beliau banyak mengabdikan di Senori, satu kecamatan di Tuban.
Perjalanan Intelektual Mbah Fadhal
Ayahnya, Kiai Abd al-Syakur merupakan sosok ulama terkemuka pada masanya dan juga menjadi tokoh yang berperan penting dalam perkembangan intelektual Mbah Fadhal, karena semenjak kecil Mbah Fadhal dididik langsung dibawah asuhan ayahnya.
Meskipun terlihat agak ‘nakal’, Mbah Fadhal terkenal sebagai santri yang cerdas dan memiliki hafalan yang kuat. Kakaknya, Kiai Abdul Khoir mengakui kalau dirinya kalah dengan adiknya jika menyangkut hafalan. Didukung oleh ayahnya yang juga menekankan aspek hafalan dalam pembelajarannya, Mbah Fadhal sejak kecil mampu menghafal beberapa kitab seperti ‘Aqidah al-Awam, al-Jurumiyyah, Nazham Ibn ‘Imad, ‘Uqud al-Juman, al-Imrithi, Alfiyyah Ibn Malik dan Nazham Jam’ al-Jawami’.
Tidak hanya itu, beliau juga mampu menghafalkan 30 juz Alquran hanya dalam waktu sekitar tiga bulan. Maka tak mengherankan jika kelak Mbah Fadhal menjadi seorang ulama, karena dididik oleh ayah yang luar biasa. Dari ayahnya ini, Mbah Fadhal mendapatkan silsilah keilmuan yang luar biasa, karena ayahnya sendiri juga sangat tekun dalam mencari ilmu.
Baca juga: Tafsir Ahkam: Asal Usul Kewajiban Menguburkan Mayat dalam Islam
Dalam skripsi berjudul K.H Abul Fadhal (1917 M-1989 M) Kiai Kharismatik dari Pondok Pesantren Darul Ulum Senori Tuban (UINSA (2020), 18-19) disebutkan kalau ayah Mbah Fadhal, yakni kiai Abd al-Syakur pernah berguru kepada Syaikh Kafrawi Tuban, Kiai Sholeh Darat Semarang dan pernah belajar ke Haramain. Di Haramain, beliau belajar kepada Syaikh Nawawi al-Bantani, Abu Bakar Syahta, Syaikh Zaini Dahlan, Syaikh Mukri dan lain-lain.
Setelah ayahnya meninggal, Mbah Fadhal sempat melakukan rihlah ke Tebuireng untuk menimba ilmu kepada K.H Hasyim Asy’ari, namun ini hanya berlangsung sekitar 7 bulan saja karena ketika itu K.H Hasyi Asy’ari ditangkap oleh penjajah Jepang karena menolak melakukan seikerei kepada kaisar Jepang.
Sesudah melalui proses pembelajaran yang panjang ini, Mbah Fadhal lanjut mengajarkan agama Islam dan melahirkan beberapa tokoh besar di masa kemudian diantaranya adalah Kiai Abdullah Faqih Langitan, K.H Maimoen Zubair dan Kiai Hasyim Muzadi.
Dalam skripsi yang sama disebutkan Mbah Fadhal menutup usia pada 11 November 1989 bertepatan dengan 12 Rabiul Awal 1410 H, dikarenakan sakit-sakitan dan faktor usia yang memang sudah sepuh. Beliau dimakamkan di satu pemakaman umum di Senori, Tuban.
Baca juga: Surah Ar-Ra’d [13] Ayat 28: Zikir Dapat Menenangkan Hati
Karya-Karya Mbah Fadhal
Dalam jurnal Tafsir Ayat Ahkam dari Pesantren (Suhuf, Vol. 10, No. 2 (2017), 336) disebutkan bahwa Mbah Fadhal sebetulnya memiliki banyak sekali karya dalam berbagai bidang, karena beliau terbiasa mengajar muridnya dengan kitab yang dikarangnya sendiri.
Dalam bidang tauhid ada karya seperti al-Kawakib al-Lamma’ah fi Tahqiq al-Musamma bi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, Manzhumah al-Asma’ al-Husna dan al-Durr al-Farid fi Syarh Jauhar al-Tauhid.
Dalam bidang bahasa Arab dengan berbagai cabangnya ada Tashil al-Masalik, Zubad Syarh Alfiyyah, Manzhar al-Muwafi dan Syarh Uqud al-Juman. Sedangkan dalam bidang fikih terdapat beberapa judul seperti Isthilah al-Fuqaha, Nazhm al-Asybah wa al-Nazhair, Kasyf al-Tabarih fi Bayan Shalat al-Tarawih, dan al-Wirdah al-Bahiyyah fi al-Isthilahat al-Fiqhiyyah.
Masih ada beberapa lagi karya beliau, namun sayangnya banyak dari karangan beliau itu tidak diterbitkan karena berbagai alasan, ditambah tempat beliau menyimpan karya-karyanya sewaktu muda yakni desa Swedang pernah tertimpa banjir besar pada tahun 1997 yang menghilangkan sebagian naskah kitab yang pernah beliau tulis.
Mengenal Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an al-Karim
Agaknya, tidak banyak ulama nusantara yang menulis tafsir dengan corak fiqhi atau ahkam. Karena memang untuk membaca apalagi menulis tafsir seperti ini diperlukan spesifikasi khusus bagi seseorang disamping kemampuan berbahasa Arab, yaitu ilmu fikih dan usul fikih.
Berbeda dengan al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya al-Qurthubi yang ditulis berdasarkan tartib Mushafi, dalam jurnal Konstruksi Metodologis Tafsir Ayat al-Ahkam min Al-Qur’an al-Karim (al-Itqan, Vol. 5, No. 2 (2019), 58-59) karya tafsir Mbah Fadhal ini disusun berdasarkan tema-tema dalam kitab fikih. Namun dalam karyanya ini, tidak semua tema dalam fikih beliau jelaskan, tercatat hanya sekitar 20 bab atau tema yang mencakup fikih ibadah dan muamalah saja.
Menurut jurnal tersebut, metode yang digunakan oleh Mbah Fadhal dalam tafsirnya ini adalah metode maudhu’i karena beliau membuat bahasannya secara sistematis serta mengumpulkan ayat-ayat dibawah satu tema tertentu. Dalam bab thaharah misalnya, beliau mengumpulkan beberapa ayat seperti Q.S. al-Baqarah [2]: 222, Q.S. Al-Taubah [9]: 108, Q.S. Al-Maidah [5]: 6 dan Q.S. Al-Furqan [25]: 45.
Namun, karya tafsirnya ini juga bisa dikatakan menggunakan metode analitis atau tahlili, karena dalam membedah ayat-ayat hukum tersebut beliau menggunakan berbagai pisau analisis, mulai dari ilmu bahasa, asbab al-nuzul, fiqih dan ushul fiqih.
Adapun sumber tafsir yang digunakan cenderung bi al-ma’thur, dimana beliau cenderung menafsirkan ayat dengan ayat, hadis, pendapat para sahabat dengan merujuk ke kitab-kitab hadith, maupun mengutip dari kitab-kitab tafsir yang telah ada sebelumnya seperti Tafsir al-Jalalain dan Tafsir al-Kasysyaf. Sekalipun juga terkadang bernuansa bi al-ra’y, dengan analisa-analisa yang dipaparkan.
Akhir kata, kitab ini merupakan satu warisan intelektual dari seorang ulama nusantara yang sangat berharga. Karya yang berusaha menghadirkan tuntunan solusi qur’ani dalam kehidupan praktis sehari-hari seputar tema ibadah dan muamalah. Menarik untuk dibaca lebih jauh dan semoga bermanfaat.