Ketiadaan air tatkala hendak berwudhu kadang membuat kita bertanya-tanya, bolehkah berwudhu dengan cairan selain air yang biasa kita kenal? Seperti berwudhu dengan air kelapa, air yang kelur dari pohon, air cuka, air susu atau air perasan anggur? Bukankah kesemuanya memiliki kesamaan dengan air sungai atau air laut yang sama-sama cair? Berikut penjelasan ulama’ tafsir dan pakar hukum fikih.
Pro Kontra tentang Keabsahan Berwudhu dengan Cairan Selain Air
Pro kontra ulama’ tentang keabsahan berwudhu dengan menggunakan benda cair bermuara salah satunya dari firman Allah yang berbuyi:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَاغْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَيْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَرْجُلَكُمْ اِلَى الْكَعْبَيْنِۗ وَاِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوْاۗ وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا
Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri hendak melaksanakan salat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku serta usaplah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata kaki. Jika kamu dalam keadaan junub, mandilah. Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. (Q.S. Al-Ma’idah [5]: 6).
Dalam ayat di atas, ketiadaan air mengharuskan kita beralih dari wudhu menuju tayammum. Hal ini menunjukkan bahwa berwudhu dengan benda cair selain air tidaklah diperbolehkan. Inilah pendapat yang diyakini mayoritas ulama’. Sebab antara air dan benda cair seperti halnya air kelapa atau air susu terdapat perbedaan, meski memiliki sifat sama-sama cairnya.
Air di dalam perbendaharaan Bahasa arab diistilahkan dengan ماء, sedangkan benda cair diistilahkan dengan مائع. Firman Allah di atas menyatakan فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا / lalu (jika) tidak memperoleh air, maka bertayamumlah. Redaksi ini secara tidak langsung menafikan peran benda cair lainnya dalam berwudhu. Sebab andai benda cair selain air boleh digunakan berwudhu, tentu ketiadaan air tidak menjadi penentu bolehnya tayammum. Dan berarti potongan akhir ayat di atas tidak berlaku.
Ulama’ yang memperbolehkn berwudhu dengan benda cair adalah Imam Al-Auza’i dan Al-Asham. Pendapat ini berpijak pada keumuman redaksi “basuhlah wajahmu”, yang menunjukkan segala bentuk basuhan diperbolehkan dalam wudhu. Dan menyiramkan benda cair ke tubuh juga termasuk membasuh. Hanya saja, menurut Imam Ar-Razi, kalau memang pemahamannya begitu, maka akan bertentangan dengan redaksi sebelumnya yang menyatakan bila tidak ada air, maka hendaknya bertayamum. Selain itu, Ar-Razi juga menyarakan, keumuman definisi membasuh dengan segala hal yang cair harus dikhususkan dengan keharusan berwudu dengan air. Ini merupakan kaidah umum dalam usul fikih. (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/495).
Namun sepertinya pendapat Imam Al-Auza’i dan Al-Asham ini dianggap amat lemah sehingga tidak diperhitungkan. Hal ini dapat dilihat dalam pernyataan Imam Al-Qurthubi, bahwa di luar permasalahan air perasan anggur (nabiidz) ulama’ sepakat bahwa benda cair tidak dapat digunakan berwudhu (Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/230).
Ulama’ yang memperbolehkan berwuhu dengan air perasan anggur adalah Imam Abu Hanifah. Namun, kebolehan berwudhu dengan air perasan anggur ini hanya berlaku tatkala sedang dalam perjalanan saja, tidak tatkala tidak sedang melakukan perjalanan. Pendapat ini berpijak pada beberapa hadis yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah suatu kali dalam perjalanan tidak menemukan air untuk berwudhu dan ternyata ada sahabat yang membawa air perasan anggur. Lalu Nabi berwudhu dengan air tersebut (Al-Hawi Al-Kabir/1/64).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa berwudhu dengan cairan selain air seperti air kelapa, air susu, tidak diperbolehkan. Hal ini disebabkan di dalam bahasa Arab yang disebut air, berbeda dengan benda cair. Dan kita diperintah berwudhu dengan air, bukan dengan benda cair. Begitu pula tidak sah berwudhu dengan air yang sudah tercampur dengan unsur lain yang memengaruhi elemen dasar dari air tersebut, atau dalam istilah mazhab Syafi’iyyah disebut bukan air mutlak (al-Taqrirat al-Sadidah/57). Wallahu a’lam bish shawab.
Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks