Kita semua tentu pernah merasakan kegelisahan, sebuah suasana yang begitu mengguncang ketenangan jiwa. Keadaan dimana pikiran negatif dan merasa jauh dari kasih sayang Tuhan. Padahal kasih sayang Allah Swt nyata adanya. Dalam Firman-Nya, Allah Swt menyapa jiwa-jiwa yang tenang dengan istilah nafs al-muthmainnah. Term ini dapat kita temukan dalam surah Al-Fajr ayat 27.
يٰٓاَيَّتُهَا النَّفْسُ الْمُطْمَىِٕنَّةُۙ ٢٧
“Wahai jiwa yang tenang”
Ayat ini secara umum, ditafsirkan sebagai panggilan Tuhan kepada manusia yang akhir hayatnya dalam keadaan tenang. Ketenangan ini diukur berdasarkan iman dan amal saleh yang telah dikerjakan hamba kepada Tuhannya. Lantas jiwa-jiwa yang tenang itu diminta kembali dengan perasaan puas dan senang karena telah memenuhi perintah Tuhan kala di dunia. Setidaknya penafsiran ini yang tercantum dalam Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia tahun 1972.
Muhammad Abduh, salah satu mufassir modernis Mesir menafsirkan kata nafs muthmainnah dalam salah satu tafsir Juz Amma-nya dengan permisalan yang menarik. Ia menyebutkan bahwa nafs muthmainnah ada dalam jiwa seorang hartawan yang senantiasa bersyukur, tidak mengambil apapun kecuali haknya, dan memberikan sesuatu kepada yang berhak. Selain itu, hartawan itu juga memberikan perhatian lebih kepada anak yatim, serta mengajak orang lain agar mengikutinya, dan menebar manfaat untuk masyarakat sekitar.
Baca juga: Perempuan dalam Al-Quran: Antara Pernyataan Allah Sendiri dan Kutipan atas Ucapan Orang Lain
Selain untuk hartawan, orang miskin juga dapat mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah). Abduh menyebut ragam contohnya seperti bersabar, tidak meminta-minta, tidak melakukan hal yang rendah, dan saling tolong-menolong. Dari penafsiran ini, terlihat pendekatan sosial digunakan oleh Muhammad Abduh, untuk menggerakkan orang-orang yang membaca tafsirnya.
Buya Hamka dalam Tafsir Al-Azhar menafsirkan nafs muthmainnah sebagai tingkatan kepribadian yang telah melalui gemblengan pengalaman dan penderitaan hingga berhasil mencapai ketenangan. Kepribadian ini bersinggungan dengan spiritual karena sukses melalui berbagai liku percobaan. Orang dengan nafs muthmainnah tersebut tidak mengeluh dan berhasil menyeimbangkan antara iman dan perasaan.
Keseimbangan ini juga dimisalkan layaknya dua sayap yang kuat. Sayap pertama yakni sikap syukur, sementara sayap kedua yakni sabar. Syukur ketika mendapatkan kenikmatan, kekayaan dan lainnya, dan sabar saat mendapati kekurangan dan cobaan. Dari uraian ini, terlihat bahwa penafsiran Abduh dan Buya Hamka terhadap nafs muthmainnah memiliki persamaan yang signifikan, yakni konsep syukur dan sabar. Jika Buya Hamka menjelaskan syukur dan sabar dalam tataran konsep, maka Abduh melengkapinya dengan permisalan yang solutif di lingkungan sosial.
Selain itu, Buya Hamka juga menyebutkan beberapa nafs sebagai tingkatan pengolahan jiwa. Adapun ragam nafs itu terdiri dari, nafs ammarah, nafs lawwamah, dan nafs muthmainnah.
Baca juga: Surah An-Nahl [16]: 125: Pentingnya Kontra Narasi di Media Sosial
Terkait tiga tingkatan nafs ini, perlu diuraikan lebih lanjut sebagai berikut.
- Nafs Ammarah
Nafs Ammarah berarti jiwa yang memerintah. Kepribadian ini merupakan tabiat alami dari diri manusia. Maka kepribadian ini memiliki kecenderungan badaniyah yang berkeinginan untuk mendapatkan kesenangan (syahwat). Adapun contoh kepribadian ini seperti ambisius, hasrat biologis, marah, dan sifat lainnya. Terkait nafs ini, Allah Swt memperingatkan agar manusia tidak mudah menurutinya, sebab nafs ini berpotensi menyesatkan dan menjerumuskan kepada hal-hal yang buruk.
- Nafs lawwamah
Nafs ini merupakan tingkat kepribadian jiwa seseorang yang kedua. Sesungguhnya level jiwa yang kedua ini mampu menerima pencerahan hati, namun sesekali ia masih melakukan hal yang buruk, dan terkadang menyesalinya. Tentu, jiwa yang ada dalam level lawwamah ini memiliki potensi besar untuk bertaubat dan insyaf.
Dalam disiplin ilmu tasawuf, nafs lawwamah ini menyukai perbuatan-perbuatan baik, namun tidak dapat melakukan secara istiqamah. Di antara penyebab sulitnya istiqamah itu karena dalam hati masih dihinggapi maksiat batin, seperti ujub dan riya’. Meski demikian, orang yang masih dominan nafs lawwamah-nya dianjurkan untuk memperbanyak zikir kepada Allah agar mampu mengendalikannya dan mencapai ketenangan jiwa (nafs muthmainnah).
Baca juga: Balasan Kebaikan Adalah Ridha Allah Swt Bagi Hamba-Nya
- Nafs Muthmainnah
Nafs yang ketiga ini merupakan puncak dari jiwa-jiwa yang sebelumnya. Manusia secara alami memang tidak bisa lepas dari ammarah dan lawwamah. Namun bukan berarti manusia tidak dapat mengendalikan jiwa dan mencapai ketenangan yang purna. Tentu, cara yang ditempuh agar mampu mencapai level ini, sudah dijelaskan di awal bahwa iman dan amal saleh yang diliputi istiqamah zikir dapat menggapai ketenangan yang sejati.
Bergandengan dengan surah Al-Fajr ayat ke-27, Allah memanggil manusia yang telah mencapai ketenangan jiwa untuk kembali di sisi-Nya dengan hati ridha dan diridhai. Lantas manusia tersebut masuk golongan baik yang akan dimasukkan ke surga.
ارْجِعِيْٓ اِلٰى رَبِّكِ رَاضِيَةً مَّرْضِيَّةً ۚ ٢٨ فَادْخُلِيْ فِيْ عِبٰدِيْۙ ٢٩ وَادْخُلِيْ جَنَّتِيْ ࣖ ٣٠
- Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang rida dan diridai-Nya.
- Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku,
- dan masuklah ke dalam surga-Ku.
Baca juga: Nasaruddin Umar: Al-Qur’an Bedakan antara Gender dan Jenis Kelamin
Dari lanjutan ayat tersebut, penafsiran yang umum menunjukkan keadaan hari akhir seseorang yang condong terhadap nafs muthmainnah. Namun, Abduh dan Hamka tidak hanya membatasinya dalam konteks tersebut, mereka menunjukkan bahwa ketenangan jiwa bisa juga digapai dengan kepekaan sosial dan kekuatan iman, khususnya melalui rasa syukur dan sabar.
Semoga kita semua mampu menggapai ketenangan jiwa.
Wallahu a’lam[]