Dalam buku Oase Al-Qur’an, karangan KH. Ahsin Sakho’ Muhammad mengibaratkan Al-Qur’an sebagai mutiara yang segala sisinya memancarkan aneka cahaya yang indah. Ungkapan ini sangat tepat mengingat banyak sekali ilmu pengetahuan yang ditemukan dan berkembang berkat sentuhan Al-Qur’an. Al-Suyūthī (al-Itqān, 5/1912) menuliskan sekian banyak ilmu pengetahuan yang bisa dipelajari manusia berkat firman Allah Yang Maha Tahu. Keragaman ilmu ini lahir dari rahim Al-Qur’an setelah ditinjau dari sekian sisi-sisinya. Diantara ilmu tersebut adalah al-wa’d dan al-wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan keturunan dari ayat-ayat yang mengandung hikmah, contoh, dan ajaran yang menggoncang hati manusia dan hampir-hampir meluluh lantakkan gunung.
Sudah menjadi kebiasaan Allah – sebagaimana tulis Abu Hayyān – menyebutkan dua hal ini secara bergantian dalam satu tempat. Hal ini memudahkan hamba-Nya untuk mengambil pelajaran sesuai dengan cara berfikir mereka. Diantara mereka ada yang bisa menerima pelajaran sebab termotivasi oleh janji Allah. Dan ada pula yang baru mau berubah setelah mengetahui ancaman yang Allah siapkan bagi mereka yang enggan beriman (Tafsir al-Bahr al-Muhīth, 1/252). Banyak sekali ayat yang mengandung janji dan ancaman Allah kepada hamba-Nya. Diantara ayat yang tersebar dalam banyak surat ini adalah QS. al-Insān [76]: 4-5.
اِنَّآ اَعْتَدْنَا لِلْكٰفِرِيْنَ سَلٰسِلَا۟ وَاَغْلٰلًا وَّسَعِيْرًا. اِنَّ الْاَبْرَارَ يَشْرَبُوْنَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُوْرًا
Artinya: “Sungguh, Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir rantai, belenggu dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh, orang-orang yang berbuat kebajikan akan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur”
Tafsir Surah Al-Insan Ayat 4-5
Pesan yang dikandung dua ayat ini sangat jelas, yakni balasan bagi dua golongan, mereka yang ingkar dan yang beriman. Balasan ini Allah sampaikan setelah menyebutkan adanya nikmat berupa petunjuk jalan yang diberikan kepada manusia. KH. Bisyri Musthofa memahami nikmat yang diberikan ini dengan pengutusan seorang rasul yang bertugas memberikan petunjuk hidup kepada mereka (al-Ibrīz, 2183). Hal ini karena memberikan panduan hidup berupa kitab suci saja tidak cukup. Kehadirannya membutuhkan sosok yang mampu menjelaskannya kepada mereka, baik dengan ucapan maupun perbuatan nyata. Setelah mendapatkan peringatan darinya, mereka dipersilahkan untuk memilih dua jalan; tetap menutup diri dengan kekafirannya atau beriman sebagai ungkapan rasa syukur atas anugerah petunjuk tersebut.
Baca juga: Membincang Kebahagiaan dalam Al-Qur’an: Hakikat, Bentuk, dan Cara Menggapainya
Makna al-wa’d
Kemudian dalam QS. al-Insān [76]: 4 Allah memberikan al-wa’d (ancaman) bagi orang-orang yang enggan menerima ajakan utusan-Nya. Di sana Allah menyatakan bahwa bagi mereka yang kafir telah disediakan rantai, belenggu, dan neraka yang menyala-nyala. Sungguh perpaduan yang membuat suasana semakin mencekam. Ibarat di penjara, mereka yang divonis tidak hanya diborgol tangannya tapi juga diblenggu lehernya. Pemandangan yang membuat penghuninya sama sekali tidak bisa leluasa bergerak di dalam sel tahanan.
Namun demikian, yang lebih menarik adalah pemilihan kata a’tadnā (menyiapkan) yang Allah gunakan. Dia tidak menvonis para pembangkang tersebut sebagai orang-orang yang berhak menerima tiga hukuman di atas. Allah tidak berfirman “Kami akan memasukkan mereka”, “Kami akan menghukum mereka” atau kalimat lain yang mengandung vonis. Di sini Allah lebih memilih kata a’tadnā yang berarti ‘menyiapkan’. Ada apa di balik kata yang Allah gunakan sebagai ancaman ini?
Memperhatikan jamuan model prasmanan akan membuat kita mudah memahami makna di balik penggunaan kata ‘menyiapkan’ ini. Dalam pesta yang menunya disajikan secara prasmanan, tuan rumah akan menyiapkan sekian menu yang bisa dipilih tamu-tamunya. Mereka bisa memilih satu, dua, atau tiga menu yang dihidangkan. Bahkan jika enggan memilih satu pun menu yang ada, tidak menjadi soal. Demikianlah Allah. Dia tidak ingin hamba-Nya yang ingkar, memilih dan mengambil apa yang telah Allah siapkan untuk mereka di akhirat kelak. Caranya bagaimana? Bertaubat, berhenti dari keingkarannya dan menerima petunjuk-Nya. Cukup kiranya, bentuk ancaman dan pilihan yang Allah berikan itu menjadi sesuatu yang membuat kita jera dari aneka keburukan.
Baca juga: Tafsir Surah Al-Baqarah Ayat 114: Ancaman Bagi Mereka yang Merusak Rumah Ibadah
Makna al-wa’īd
Berbeda dengan al-wa’īd, saat menyampaikan al-wa’id atau janji, Allah lebih suka menggunakan kata yang menggambarkan sebuah kegiatan yang sedang dilakukan seorang hamba. Dalam QS. al-Insān [76]: 5 Allah memilih kata yasyrabūna (meminum) sebagai pembanding kata a’tadnā (menyediakan). Melalui penggunaan fi’il mudlāri’ ini Allah mengajak hamba-Nya untuk berimajinasi seakan-akan mereka sedang merasakan apa yang Allah janjikan. Kemudian dari sisi materi yang akan dinikmati, Allah memilih kāfūr sebagai bahan campuran minuman mereka di surga nanti. Menurut Ibn Katsīr, kāfūr adalah sesuatu yang mampu mendinginkan badan dan memiliki aroma yang harum (14/208). Sungguh ramuan minuman yang sangat pas untuk wilayah dengan suhu di atas 40° celsius.
Pendek kata, masyarakat Arab yang sangat faham makna di balik yasyrabūna (fi’il mudlāri’) diajak berimajinasi untuk menikmati minuman yang menyejukkan di tengah-tengah panasnya terik matahari padang pasir. Sangat tidak wajar, jika hal ini belum membuat mereka termotivasi untuk menerima ajaran Islam. Lantas bagaimana dengan kita yang terbiasa merasakan sejuknya alam Indonesia? Rasa dahaga yang sesekali menghampiri kita, cukup rasanya membuat kita tersadar. Apa lagi jika dahaga tersebut dipadukan dengan gambaran kondisi di Hari Kiamat kelak? Di mana matahari berada sejengkal di atas kepala. Tidak ada tempat lari untuk berteduh (QS. al-Qiyāmah [75]: 11).
Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Baca Selawat Kepada Nabi Wajib Ketika Salat?
Terakhir, penulis ingat wejangan yang dahulu disampaikan almarhūm KH. Ahmad Ilyas Ahmad Jaza – orang tua angkat Habib Luthfi – terkait mati dan hidupnya manusia. “Orang itu ada empat macam. Pertama, orang yang hidup dalam keadaan beriman dan mati juga beriman. Inilah kehidupan dan kematian yang kita inginkan. Kedua orang yang hidup dan matinya dalam kondisi kafir. Ketiga, orang yang hidup dalam kemaksiatan dan kekafiran. Tapi saat akan mati, ia bertaubat dan taubatnya diterima Allah. Jarang sekali hal ini terjadi. Keempat, orang yang usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada Allah namun ketika sudah mendekati ajal dia berubah keyakinan dan mati dalam keadaan kafir. wal-‘iyādzu billāh”.
Kurang lebih demikian tutur Beliau. Dengan merenungi bentuk janji dan ancaman Allah serta redaksi yang digunakan-Nya, semoga kita tergugah dan termotivasi untuk senantiasa menjadi yang lebih baik hingga ajal menjemput. wallāhu a’lam…