BerandaTafsir TematikTafsir IsyariDua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

Dua Dimensi Makna Wali Menurut Imam Al-Qusyairiy

Seperti yang telah disebutkan Haris Fauzi dalam Menyoal Pemakanaan Wali Menurut Al-Qur’an, pembahasan mengenai makna wali memang sangat rumit. Tak kurang dari 200 kata dengan segala bentuk derivasinya menghiasi lembar demi lembar halaman Al-Qur’an. Namun begitu, tulisan mengenai wali nyatanya belum banyak ditemui.

Pencarian penulis terhadap kajian waliyy dalam tafsiralquran.id menemukan dua tulisan dengan fokus kajian yang berbeda. Tulisan pertama milik Haris Fauzi berjudul Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Qur’an lebih menyorot pada akar kata wali berikut kemungkinan mengetahui kewalian seseorang. Tulisan kedua dari Habib Maulana Maslahul Adi, Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah, lebih menekankan aspek khauf dan huzn bagi seorang wali.

Dari dua tulisan ini, agaknya peluang kajian terhadap konsep wali dalam Al-Qur’an masih terbuka lebar. Untuk itu, dalam tulisan kali ini ijinkan penulis membagikan hasil kajian terhadap kata wali menurut perspektif Imam Al-Qusyairiy.

Dua Dimensi Makna Wali Menurut Al-Qusyairiy

Faktor yang cukup penting dalam konsep wali menurut Al-Qusyairiy dapat dilihat dari dua dimensi pemakanaan literalnya. Akar derivasi yang berbeda dalam bahasa asalnya (waliyy) memiliki implikasi pada pemaknaan yang berbeda pula.

Kata waliyy mengikuti bentuk (shighat) fa‘iil (فعيل). Bentuk ini dapat berfungsi sebagai subjek atau fa’il dan objek atau maf‘ul. Kata waliyy yang memiliki fungsi subjek berarti seseorang yang memelihara, menjaga dan bertanggungjawab (tawalla) atas segala upaya penghambaannya kepada Allah tanpa sedikit pun disertai bentuk kemaksiatan.

Fungsi subjek yang dimiliki bentuk ini memiliki perbedaan pada aksentuasi makna mubalaghah yang diberikan. Sehingga bukan sekedar subjek biasa, ia boleh dikatakan sebagai subjek super yang karenanya dalam implementasi maknanya ditunjukkan dengan definisi tanpa sedikit pun disertai bentuk kemaksiatan.

Sedangkan kata waliyy yang memiliki fungsi objek atau maf‘ul berarti seseorang yang segala urusannya telah dipelihara, dijaga dan ditanggung oleh Allah. Dan dua dimensi makna ini menjadi satu keniscayaan menurut Al-Qusyairiy. Ibarat dua sisi mata uang, keduanya harus ada dalam diri seorang wali.

Dua Dimensi Makna Wali dalam Al-Qur’an

A. Mustofa Bisri dalam beberapa momen mau‘idzah hasanah-nya sering kali merujukkan konsep wilayah dalam Al-Qur’an pada Surah Yunus ayat 62 dan Surah Al-Ahqaf ayat 13.

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang berkata, “Tuhan kami adalah Allah,” kemudian mereka tetap istiqamah tidak ada rasa khawatir pada mereka, dan mereka tidak (pula) bersedih hati”

أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Ingatlah wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati”

Dari keduanya, beliau lantas membuat sebuah silogisme sederhana dalam rangka mengetahui definisi wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang beriman, dengan mengatakan “Allah lah Tuhanku”, kemudian beristiqamah. Dan mereka juga adalah orang-orang yang tidak pernah tunduk pada rasa takut dan tidak pula bersedih.

Dua definisi Al-Qur’an ini agaknya juga menjadi akar rujukan Al-Qusyairiy dalam konsep wilayah-nya. Surah Yunus ayat 62 menjadi landasan fungsi subjek. Sementara Surah Al-Ahqaf ayat 13 menjadi landasan fungsi objek. Dan sebagaimana Al-Qur’an menyebutkan, keduanya selalu terkait satu sama lain.

Kaitan yang dimiliki keduanya diantaranya dibuktikan dengan adanya konsep hifdz bagi para wali. Seperti telah jamak diketahui bahwa para wali memiliki sifat mahfudz atau dijaga dari melakukan kemaksiatan. Menurut Al-Qusyairiy, sifat penjagaan ini selain diupayakan sendiri oleh mereka (wali berperan sebagai subjek penjagaan) juga ditunjang dengan pemberian penjagaan dari Allah (wali berperan sebagai objek penjagaan).

Namun perlu dicatat bahwa konsep hifdz ini berbeda dengan konsep ‘ishmah para nabi dari segi dimungkinkannya terjadi kemaksiatan oleh para wali. Meskipun para wali akan langsung bertaubat nashuha begitu mereka terjatuh pada melakukan kemaksiatan.

Maka berdasar pada ulasan ini, wilayah atau derajat kewalian adalah sesuatu yang tidak melulu pada pemberian Allah Swt berupa hifdz yang sering kali diasosiasikan sebagai karamah. Tetapi lebih dari itu, betapa sulitnya proses pencapaian yang harus dilakukan, memenuhi hakikat penghambaan dan meninggalkan kemaksiatan. Wallahu a‘lam bi al-shawab

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Catatan interpolasi tafsir Jami‘ al-Bayan karya Al-Ijiy pada naskah Jalalain Museum MAJT

Jami’ al-Bayan: Jejak Tafsir Periferal di Indonesia

0
Setelah menelaah hampir seluruh catatan yang diberikan oleh penyurat (istilah yang digunakan Bu Annabel untuk menyebut penyalin dan penulis naskah kuno) dalam naskah Jalalain...