BerandaTafsir Al QuranMenyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

Menyoal Pemaknaan Wali Menurut Al-Quran

Pembahasan tentang wali adalah persoalan yang rumit. Al-Quran sendiri menyebutkan, terdapat sebanyak 124 kata benda dan sekitar 112 kata kerja dari kata dasar wali yang dipakai (Quraish Shihab: 2014). Sebab itu, kata wali atau auliya’ tidak pernah henti-hentinya dikaji, baik di jurnal, buku, majalah, maupun tugas akhir; skripsi, tesis, dan disertasi. Berikut pemaknaan wali menurut al-quran.

Kata wali banyak polarisasinya. Ada yang mengatakan akar kata wali adalah ‘al-wilayah’ yang artinya ’kekuasaan’ atau ‘daerah’. Lalu diserap ke dalam bahasa Indonesia dan kita mengenalnya dengan istilah wali kota, wali murid, atau wali mempelai dalam pernikahan. Arti wali dalam konteks tersebut bermakna seseorang yang menguasai, punya hak penuh atas apa yang ia miliki.

Ada juga yang mengatakan kalau ‘wali’ terambil dari kata ‘al-walayah’, yang berarti pertolongan. Dari segi bahasa, wali memang maknanya bermacam-macam; kekasih, sekutu, penolong, kawan karib, follower, tetangga, dan lain-lain.

Baca juga: Syah Waliyullah Al-Dahlawi: Tokoh Pencetus Asbabun Nuzul Makro

Sementara secara terminologinya, di kalangan Ulama Ahlussunnah sering menyebut wali ditujukan kepada seorang yang beriman, bertakwa, dan mempunyai kedekatan tinggi di hadapan Allah Swt. Tidak salah jika Walisongo yang menyebarkan agama Islam di tanah Nusantara disebut sebagai waliyullah (orang yang dekat dengan Allah), karena memang kata dasar dari wali adalah ‘waliya-yawla’, yang berarti ‘dekat’.

Lantas, siapakah yang mempunyai otoritas untuk mengklaim atau menyebut seseorang sebagai wali? Sebab jika diukur dari kualitas ibadah atau iman dan taqwa seseorang, konsep tersebut masih abstrak. Derajat wali ada di bawah nabi, tapi identitasnya lebih misteri dibanding nabi. Wajar jika ada sebuah kaidah yang terkenal mengatakan; ‘la ya’riful wali illal wali’, tidak ada yang tahu wali kecuali wali itu sendiri.

Mengenai penjagaan seorang wali, Allah Swt dalam sebuah hadis qudsi-Nya berfirman, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya” (Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi). Di dalam Q.S. Yunus (10): 62 dicirikan, seorang wali adalah ia yang tidak punya rasa takut dan rasa sedih di hatinya. Dia selalu berada dalam garis pembelaan terhadap ajaran Allah, dengan cara membela makhluk-Nya. Menistakan makhluk-Nya, sama saja menistakan pencipta-Nya. Tidak aneh jika K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) disebut sebagai seorang wali karena pembelaannya kepada nilai-nilai kemanusiaan tanpa rasa takut.

Bila melihat definisi al-Qur’an tersebut, wali tidak masuk kepada kategori orang-orang yang takut terhadap segala hal yang menimpa dirinya. Takut dipenjara, takut dihukum, takut disidang, takut jatuh miskin, takut tidak bisa menikah, takut sulit move on, dan kesedihan lainnya. Sebab itulah, sikap silau terhadap kehebohan seseorang yang kita anggap sebagai pembela agama, namun perilakunya bertentangan dengan ajaran agama, tidak dibenarkan.

Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah

Dalam sebuah kisah diceritakan seorang wali yang dikenal sebagai orang gila berpakaian compang-camping laiknya gelandangan. Namun ketika meninggal dunia, banyak khalayak berbondong-bondong mengantarkan kepergiannya. Dalam hemat saya, katakanlah orang tersebut adalah gila dan hina di hadapan manusia, tetapi tidak di hadapan Allah Swt.

Poinnya adalah orang tersebut tidak pernah melukai hati saudaranya. Tidak pernah menghina dan mendzalimi sesama. Justru orang-orang yang seperti itu malah sering mendoakan kebaikan kepada saudara-saudaranya. Di pesantren, saya diajarkan, ada sebuah sindiran bila melihat orang yang gila, para santri menyentil, “Ojo dipoyoki sopo ngerti kui wali” atau “Atine ditoto ojo dirasani sing ora-ora, iso wae dongone mandi”. Dan saya pribadi justru menyangsikan, kalau ada orang yang kelihatannya paling depan dan berteriak paling keras soal bela agama, tetapi perilakunya jauh dari agama, berat rasanya orang itu disebut sebagai waliyullah (kekasih Allah).

Imam Syafi’i dalam kitab A’lamus Sunnah Al-Manshurah menyatakan, apabila kalian melihat orang yang bisa berjalan di atas air atau terbang di udara, janganlah tertipu dengannya, sampai kalian mengetahui dia mengikuti amalan dan sunnah Rasulullah. Jika bertentangan dengan ajaran Rasul, maka dia adalah wali setan (temannya setan).

Pernyataan Imam Syafi’i di atas sangat menarik jika kita kaji kembali khususnya oleh generasi milenial, generasi yang lahir di tengah banyaknya informasi hoax serta bermacam bentuk kepalsuan dan rekayasa (simulakra). Banyak orang yang kelihatannya hebat, bisa menggandakan uang, bisa menghilang, dan mempunyai pasukan ribuan di akun-akun media sosial. Kita tidak perlu terkejut, gumunan. Karena bisa jadi itu semua hanya tipuan mesin-mesin robot yang sengaja diciptakan untuk tampak memukau di depan mata, untuk menipu orang yang melihatnya.

Baca juga: Hermeneutika Kritis Jurgen Habermas dan Posisinya dalam Studi Al-Quran

Di media sosial, kita tidak perlu menyanjung dan memuja seseorang sak sundul langit, jika ia melakukan kehebatan atau suatu kehebohan yang luar biasa. Dan kita juga tidak perlu menghina dan menista seseorang yang telah berbuat jahat atau dosa. Siapa tahu orang yang berbuat baik itu hanyalah kepalsuan. Dan yang berbuat buruk atau jahat, dia juga berpeluang menjadi orang yang baik.

Kita tentu pernah mendengar sebuah kisah dimana seorang pelacur yang masuk surga karena memberi minum kepada anjing yang kehausan, dan kita juga pernah mendengar keampuhan seorang ustadz Barseso, yang bisa terbang dan menghilang, namun di ujung kematiannya, dia melakukan perbuatan yang melanggar syariat Islam; minum khomr, berbuat zina, bahkan sampai membunuh saudaranya.

Wali (orang yang dekat dengan Allah) untuk saat ini, adalah dia yang bukan hanya duduk manis dalam ritus-ritus ibadah an sich. Sekarang juga ada wali digital (waliyuddigital). Dialah yang mengamalkan prinsip-prinsip kebaikan, tidak mudah mencemooh dan melakukan hujatan di media sosial. Sebaliknya, ada wali setan. Orang-orang yang menciptakan chaos, mengajak keburukan dengan cara menyebarkan fitnah serta ujaran kebencian, walaupun dengan topeng agama sekalipun.

Kita berhak menjadi follower dari akun yang kita anggap sebagai kekasih (baca: wali) di media sosial, karena itu hak kita secara personal. Namun perlu diingat, kita tidak pernah mendengar seorang wali, kekasih Allah, yang menyebarkan ajaran Islam dengan kekerasan dan mengumbar kebencian, serta menghujat dan memaki orang lain. Karena kekasih Allah tentu ia mendakwahkan ajaran yang sesuai dengan sifatnya yang rahman dan rahim, pengasih dan penyayang. Sementara wali setan, adalah sebaliknya.

Bisa jadi, yang kita maki-maki di media sosial adalah seorang yang mempunyai kedekatan tinggi di sisi-Nya, kita tidak tahu. Namun di dalam hadis qudsi-Nya, Sang pemilik wali itu berpesan; Man ‘adaa liy waliyyan faqad aadathu bi al-harbi, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku telah menyatakan perang untuknya”. Membenci dan memerangi makhuk-Nya, berarti sama halnya mengajak perang pencipta-Nya. Lalu, bagaimana jika yang kita maki-maki di media sosial itu justru orang-orang yang selama ini dekat dengan-Nya? wallahu a’lam[]

Muhammad Haris Fauzi
Muhammad Haris Fauzi
Mahasiswa Magister IAT UIN Walisongo Semarang. Content Creator dan Translator di NU Online Jateng.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...