Mi’yar al-‘Ilm adalah salah satu kitab babon dalam ilmu mantiq atau logika yang dikarang oleh Hujjah al-Islam, Imam al-Ghazali. Kata Mi’yar dalam bahasa Indonesia berarti timbangan, al-‘ulum berarti ilmu pengetahuan. Maka dengan sendirinya, judul kitab ini telah memberikan kesan kepada pembacanya bahwa mereka akan menjumpai suatu “alat” untuk menimbang suatu kebenaran pengetahuan. Dalam pengantar kitab ini, al-Ghazali menyebut,
كَذَلِكَ لَا يُفْرَقُ بَيْنَ فَاسِدِ الدَّلِيْلِ وَقَوِيْمِهِ وَصَحِيْحِهِ وَ سَقِيِمِهِ اِلَّا بِهَذَا الْكِتَابِ, فَكُلُ نَظَرٍ لَا يُتَّزَنُ بِهَذَا الْمِيْزَانِ وَلَا يُعَارُ بِهَذَا الْمِعْيَارِ فَاعْلَمْ أَنَّهُ فَاسِدُ الْعِيَارِ غَيْرُ مَأْمُوْنِ الْغَوَائِلِ وَ الْأَغْوَارِ
“Begitu juga halnya perihal cara membedakan antara dalil yang rusak dengan dalil yang tepat, mana dalil yang absah dan dalil yang cacat. Keduanya tidak bakal bisa dibedakan kecuali dengan adanya kitab ini (dengan ilmu mantiq maksudnya, pen). Maka setiap pemikiran yang tidak ditimbang dan diukur terlebih dahulu dengan timbangan ilmu ini (mantiq), ketahuilah bahwa pemikiran tersebut bukanlah pemikiran yang sempurna, artinya ia tidak bebas dari sesat pikir dan tipuan.” (Mi’yar al-‘Ilm, hal 26)
Untuk saat ini, di mana teknologi memudahkan akses terhadap penyebaran informasi, mau tidak mau kita akan selalu dihadapkan oleh berbagai macam informasi dan pemikiran. Utamanya dalam topik agama, setiap orang sekarang dengan bebas “mengaji” kepada seorang dai atau ustaz. Yang asli atau tidak.
Kita harus bersikap hati-hati terhadap kemudahan dan banyaknya sumber ilmu agama sekarang. Langkah-langkah memilah sumber mana yang relevan untuk kita jadikan pegangan perlu kita lakukan. Karena itulah kitab karya al-Ghazali ini agaknya perlu kita baca kembali dan pahami benar. Seperti judulnya, dengan belajar kitab ini kita akan memiliki “penimbang” untuk melakukan check and recheck terhadap limpahan informasi yang ada sekarang.
Baca Juga: Mengapa Al-Quran Mukjizat Terbaik? Ini Jawaban al-Suyuthi dalam al-Itqan
Kegunaan dari ilmu Mantiq tak lain untuk menjaga pikiran kita dalam merumuskan sesuatu agar tidak cacat pikir. Istilah yang digunakan logika dalam hal ini adalah logical fallacy. Syaikh al-Akhdluri, pengarang Sullam al-Munawraq -kitab yang menadzamkan pembahasan logika- berkata,
وَبَعْدُ فَالْمَنْطِقَ لِلْجَنَانِ # نِسْبَتُهُ كَالنَّحْوِ لِلِّسَانِ
فَيَعْتَصِمُ الْاَفْكَارَعَنْ غَيِّ الْخَطَا # وَعَنْ دَقِيْقِ الْفَهْمِ يَكْشِفُ الْغِطَا
“Lalu setelahnya, maka hubungan Mantiq dengan pikiran # sama seperti hubungan antara nahwu dengan kecakapan berbicara.
Maka Mantiq menjaga akal pikiran agar tidak tergelincir dan melakukan kesalahan kesalahan # dan membantunya menyingkap tebalnya awan pemahaman yang runyam.”
Memahami Qiyas (Silogisme)
اَلنَّظَرُ الثَّالِثُ فِى الْمُغَلَّطَاتِ فِى الْقِيَاسِ وَفِيْهِ فُصُوْلٌ
“Pembahasan yang ketiga tentang kesalahan-kesalahan logika di dalam logika deduktif. Di dalamnya terdapat beberapa sub tema pembahasan.”
اَلْفَصْلُ الْاَوَّلُ فِى حَصْرِ مَثَارَاتِ الْغَلَطِ
“Tema pertama terkait batasan kesalahan-kesalahan berpikir.”
Saya pilihkan bab ini, di mana al-Ghazali akan menjelaskan macam-macam kesalahan logika dalam penalaran deduktif. Setidaknya dengan begitu kita akan dapat mengetahui macam-macam cacat pikir dan dapat menghindarinya.
Al-Ghazali menerangkan bahwa tatkala premis-premis dalam silogisme telah memenuhi semua standar dan aturan-aturan agar dapat menghasilkan suatu kesimpulan, “Maka secara otomatis dan pasti kesimpulan yang dihasilkannya merupakan suatu kebenaran, tidak ada keraguan di dalamnya.”
Lalu katanya, “Apabila kesimpulan yang dihasilkan salah, tidak lain itu dikarenakan adanya cacat di dalam standar dan syarat-syarat silogisme itu sendiri.” Sang hujjah al-Islam ini kemudian mengklasifikasikan tujuh macam kesalahan penalaran dalam logika deduktif.
Kesalahan Logika dan Validitas Silogisme
اَلْمَثَارُ الْاَوَّلُ: اَنْ لَا تَكُوْنَ عَلَى شَكْلٍ مِنَ الْاَشْكَالِ الثَّلَاثَةِ
“Kesalahan pertama adalah kesimpulan (natijah) tidak dihasilkan dari tiga macam silogisme yang valid.”
Perlu diketahui sebelumnya bahwa untuk menyusun suatu silogisme yang menghasilkan kesimpulan setidaknya diperlukan tiga komponen utama. Premis Mayor (Mukaddimah Kubra), Premis Minor (Mukaddimah Sughra), dan Terma Penengah (Had Ausath). Contohnya:
Setiap manusia akan mati. – Premis Mayor
Fulan adalah manusia – Premis Minor
Maka Fulan akan mati. – Kesimpulan
Terma penengah dalam contoh di atas adalah kata manusia. Sebab kata “manusia” layaknya tali yang menghubungkan antara “Fulan” pada premis minor dengan “takdir kematian”-nya pada premis mayor. Karena ikatan itulah kemudian dapat dihasilkan kesimpulan bahwa “Fulan akan mati”.
Nah, jadi inti dari kesalahan logika yang pertama ini adalah bahwa jika “ikatan”itu tidak dijumpai maka suatu silogisme tidak akan menghasilkan kesimpulan yang benar.
“Ikatan” tersebut adakalanya dengan jelas kita sadari tidak ada atau malah tidak jelas; samar. Contoh yang yang dengan jelas kita ketahui letak kesalahannya adalah silogisme berikut,
Semua rakyat Indonesia wajib bayar pajak. – Premis Mayor
Fulan adalah Penyanyi. – Premis Minor
Maka Fulan wajib bayar pajak. – Kesimpulan
Pada contoh di atas, dengan jelas kita dapat mengetahui letak kesalahan berpikirnya. Tidak ada hubungan yang mengikat antara Premis Mayor dan Minor.
Namun terkadang, “ikatan” tersebut hilang tanpa kita sadari. Kata al-Ghazali,
وَ اِنَّمَا يَغْلَطُ إِذَا وَجَدَ مَا هُوَ مُشْتَرَكٌ لَفْظًا مَعَ اخْتِلَافْ الْمَعْنَى
“Hanya saja, kita akan sering salah dalam berpikir apabila “ikatan” tersebut sepintas nampak ada namun sebenarnya tidak ada.”
Pada bagian inilah kita sering terkecoh. Pasalnya, terdapat banyak pemahaman dan klaim beberapa oknum yang melandasinya dengan ayat al-Quran, yang sepintas terlihat benar namun sejatinya cacat logika nalar. Berikut salah satu contohnya.
Fulan telah memfitnah Said – Premis Minor
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan seperti disebut al-Quran al-Baqarah: 191. – Premis Mayor
Maka Fulan telah menzalimi Said dengan tindakan yang lebih kejam daripada membunuhnya.
Sejenak kita pahami bahwa silogisme di atas telah benar sebab terdapat “ikatan” di antara kedua premis.
Namun jika kita teliti, sebenarnya arti kata “fitnah” dalam kedua premis berbeda, ini mengakibatkan “ikatan” itu tidak lagi ada. Kata fitnah dalam premis minor memiliki arti telah berkata bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang.
Baca Juga: Ketika Nabi Ibrahim Menanyakan Allah tentang Cara Menghidupkan Orang Mati
Sedangkan kata fitnah dalam al-Quran pada ayat tersebut tidak sama maknanya seperti di atas. Ia malah berarti suatu tindakan penindasan, penganiayaan dan teror orang-orang kafir terhadap umat Islam. (Tafsir Anbarsari, hal 163)
Inilah macam kesalahan pertama dalam berpikir yang sering saya jumpai berkenaan dengan dakwah-dakwah yang mengatasnamakan al-Quran. Imam al-Ghazali menyebut bahwa, “Dan sangat sulit untuk mengetahui perbedaan di dalam macam kesalahan yang satu ini, dan ini juga merupakan kesalahan terebsar di dalam logika.”
Maka dari itu, kita harus lebih berhati-hati lagi dengan informasi yang beredar sekarang, lebih-lebih yang berkaitan dengan topik tafsir keagamaan. Wallahu A’lam.