Pembahasan mengenai ayat-ayat yang mengenai sifat-sifat Allah terutama pada ayat-ayat yang seakan menyerupakan antara Allah dengan makhluk merupakan salah satu tema yang sering diperdebatkan penafsirannya di kalangan ulama. Hal ini bisa kita kenal dengan ayat-ayat antropomorfis. Pada artikel tempo hari, sudah dibahas mengenai penafsiran kalangan mujassimah. Jika kalangan mujassimah yang terjatuh pada penyerupaan Allah dengan makhluk ada kelompok mu’tazilah, yang cenderung menafikan sifat-sifat Allah sama sekali (ta’thil) sehingga tidak jarang disebut dengan kalangan mu’athilah.
Nah di tengah keduanya ini lah kalangan sunni berpendirian, yakni dengan menetapkan sifat Allah (ithbat) namun disertai penyucian dari keserupaan terhadap makhluk (tanzih). Ini senada dengan yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah sebagai salah satu tokoh yang pertama kali berbicara tentang teologi, sebagaimana dinukil oleh Mahmud Syahatah dalam Tafsir Muqatil Ibn Sulaiman (5/89),
أَفرَطَ جَهمٌ فِي النَّفيِ حَتَّى قَالَ إِنَّهُ لَيسَ بِشَيءٍ, وَأَفرَطَ مُقُاتِلُ فِي الإِثبَاتِ حَتَّى جَعَلَ اللهَ مِثل خَلقِهِ.
Artinya, “Jahm (bin Shafwa) telah berlebihan dalam menafikan (sifat Allah) sampai-sampai ia mengatakan bahwa Allah bukanlah ‘sesuatu’ dan Muqatil telah berlebihan dalam menetapkan (sifat Allah) sampai-sampai ia mennyerupakan Allah dengan makhluk-Nya”
Baca juga: Ketika Allah Menyeru Rasulullah di dalam Al-Qur’an
Sebelum membahas bagaimana penafsiran kalangan sunni terkait ayat-ayat antromorfis ini, perlu diketahui sebelumnya bahwa perdebatan-perdebatan teologis atau kalam ini bertujuan agar seorang muslim bisa mengenali segala bentuk syubhat dalam hal akidah dan mengetahui pemikiran akidah yang benar (sahih), ini dikatakan oleh Faishal ‘Aun dalam ‘Ilm al-Kalam wa Madarisuhu (hlm. 48).
Pemahaman Tentang Ayat-Ayat Antromorfis
Kalangan sunni sepakat untuk menetapkan (ithbat) semua sifat-sifat Allah yang Dia kabarkan melalui Alquran dan hadis sahih. Namun secara umum terbagi kepada dua macam pemahaman terkait pemaknaan terhadap ayat-ayat tersebut, yang pertama menyerahkan maknanya kepada Allah (tafwidh al-ma’na) dan yang kedua menta’wilnya dengan kaidah yang ketat (ta’wil al-ma’na).
Untuk pemikiran yang pertama, yakni tafwidh al-ma’na digambarkan dengan cukup baik oleh imam Al-Thahawi dalam kitab , ia mengatakan,
وَكُلُّ مَا جَاءَ فِي ذَلِكَ مِنَ الحَدِيثِ الصَّحِيحِ عَنِ الرَّسُولِ فَهُوَ كَمَا قَالَ, وَمَعنَاهُ عَلَى مَا أَرَادَ, لَا نَدخُلُ فِي ذَلِكَ مُتَأَوِّلِينَ بِآرَائِنَا, وَلَا مُتَوَهِّمِينَ بِأَهوَائِنَا.
Terjemah bebasnya, setiap kabar tentang sifat Allah yang datang dari hadis sahih maka itu sebagaimana yang beliau katakan, dan maknanya terserah (dikembalikan) kepada Allah dan rasul-Nya tanpa mencoba meta’wilnya dengan pemikiran sendiri dan tidak juga menafsirkannya secara serampangan.
Intinya pada kalimat tafsiruhu ‘ala ma arada, yakni penjelasan maknanya dikembalikan kepada Allah dan rasul-Nya. Hal ini masuk akal karena sejatinya tidak ada yang mengetahui tentang Dzat Allah, kecuali Dirinya sendiri.
Ini juga bisa dilihat dalam tafsir Ibn Kathir (3/426-427) ketika beliau menafsirkan potongan Q.S. Al-A’raf [7]: 54 yang berbunyi,
…ثُمَّ استَوَى عَلَى العَرشِ…
Terjemahnya, “…kemudian Dia ber-istiwa di atas ‘Arsy…”.
Baca juga: Rahasia Dibalik Perintah Shalat dalam Al-Qur’an (Perspektif Prof. Dr. Nashruddin Baidan)
Terkait ayat ini Ibn Kathir menguatkan pendapat yang membaca ayat ini begitu saja sebagaimana adanya, tanpa takyif, tasybih dan ta’thil. Menurut Ibn Kathir jalan inilah yang dilalui oleh sebagian ulama salaf al-shalih seperti Imam Malik, al-Auza’i, al-Thauri, al-Laits bin Sa’ad, al-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih dan banyak ulama lain baik pada zaman dahulu maupun sekarang.
Pemikiran yang kedua adalah dengan menta’wil ayat-ayat tersebut. ini salah satunya bisa ditelusuri dengan melihat bagaimana penafsiran para ulama terkait ayat-ayat antromorfis tersebut. Penggunaan ta’wil ini bertujuan untuk menyucikan sifat Allah dari keserupaan terhadap makhluk.
Salah satunya bisa dilihat dari penafsiran al-Qurthubi terhadap ayat yang sama seperti di atas dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (9/239-240), sesudah menyebutkan kalangan yang melakukan tafwidh al-ma’na seperti pemikiran yang pertama sebelumnya. Kemudian beliau menyebutkan setidaknya ada tiga makna kata istawa dalam bahasa arab yaitu istaula (menguasai), ‘alaa (mulia) dan irtafa’a (tinggi derajatnya). Kemudian beliau mengatakan,
فَعُلُوُّ اللهِ تعالى وَارتِفَاعُهُ عِبَارَةٌ عَن عُلُوِّ مَجدِهِ وَصِفَاتِهِ وَمَلَكُوتِهِ, أَي: لَيسَ فَوقَهُ فِيمَا يَجِبُ لَهُ مِن مَعَانِى الجَلَالِ أَحَدٌ…لَكِنَّهُ العَلِيُّ بِالإِطلَاقِ سُبحَانَهُ.
Terjemah bebasnya, maka ketinggian Allah itu adalah sebuah perumpamaan akan ketinggian kemuliaan-Nya, sifat-sifat-Nya dan kekuasaan-Nya. Yakni bukan ‘di atas’ sebagaimana makna Maha Mulia-Nya yang tidak serupa dengan apapun… melainkan Allah itu Maha Tinggi secara mutlak, tanpa berada di arah apapun dan tanpa bertempat di mana pun, karena itu tidak sesuai sifat kesempurnaan-Nya.
Selain contoh di atas, bisa dilihat juga bagaimana imam al-Razi menafsirkan frase yadullah (secara harfiah artinya tangan Allah) pada potongan firman Allah Q.S. Al-Fath [48]: 10 yang bunyinya,
…يَدُ اللهِ فَوقَ أَيدِيهِم…
Terjemahnya, “…tangan Allah di atas tangan-tangan mereka…”.
Baca juga: Dalil Maulid Nabi dalam Al-Quran (4): Surah Maryam Ayat 33
Dalam tafsir Mafatih al-Ghaib (28/87) al-Razi menafsirinya dengan dua pemaknaan, pertama ia mengatakan,
(يَدُ اللهِ) بِمَعنَى نِعمَةُ اللهِ عَلَيهِم فَوقَ إِحسَانِهِم إِلَى اللهِ
Artinya, “(yadullah) artinya nikmat Allah atas mereka, (sebagai balasan) atas kebaikan perbuatan mereka kepada Allah”. Yang pertama beliau memaknai ‘tangan Allah’ dengan ‘Nikmat Allah’, ini selaras dengan penggunaan kata yad dalam bahasa Arab yang bisa dimaknai dengan beberapa makna dan didukung dengan ayat lain seperti Q.S. Al-Hujurat [49]: 17.
Kemudian untuk makna kedua al-Razi mengatakan,
(يَدُ اللهِ فَوقَ أَيدِيهِم) أَي نُصرُتُهُ إِيَّاهُم أَقوَى وَأَعلَى مِن نُصرَتِهِم إِيَّا
Terjemahnya, “(tangan Allah di atas tangan-tangan mereka), yakni pertolongan Allah atas mereka lebih kuat dan lebih tinggi daripada pertolongan mereka atas diri mereka sendiri”.
Demikianlah bagaimana penafsiran kalangan sunni terhadap ayat-ayat antromorfis. Mereka berada di tengah-tengah, yakni tidak berlebihan dan tidak mengurang-ngurangi, serta tidak menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya seperti kalagan mujassimah dan tidak juga menafikan sifat-sifatNya seperti kalangan mu’athilah. Wallahu A’lam.