Tritunggal atau Trinitas, merupakan ajaran teologis yang diyakini oleh umat Kristiani. Doktrin ini mengajarkan, bahwa Allah bersemayam di dalam tiga entitas yang berbeda, mereka adalah Anak (Yesus), Bapa, dan Roh Kudus. Hal ini tertuang dalam Injil Matius 28:19 yang berbunyi: Karena itu, pergilah dan ajarlah orang-orang yang datang dari setiap suku-bangsa supaya mereka menjadi murid-Ku. Baptislah mereka sebagai orang-orang yang mengikuti Aku (Yesus), Bapa-Ku, dan Roh Kudus (Injil Matius, 28:19).
Dari beberapa kajian tentang trinitas yang berkembang, ada satu kajian yang cukup ramai diperbincangkan. Kajian ini membahas tentang bagaimana status “anak Allah” (Son of God) dalam ranah teologi Kristen. Dalam Al-Qur’an sendiri, secara tegas dikatakan bahwa mereka yang meyakini bahwa Isa (Yesus) adalah anak Allah, mereka adalah kelompok yang kafir.
وَقَالَتِ الْيَهُوْدُ عُزَيْرُ ابْنُ اللّٰهِ وَقَالَتِ النَّصٰرَى الْمَسِيْحُ ابْنُ اللّٰهِ ۗذٰلِكَ قَوْلُهُمْ بِاَفْوَاهِهِمْۚ يُضَاهِـُٔوْنَ قَوْلَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا مِنْ قَبْلُ ۗقَاتَلَهُمُ اللّٰهُ ۚ اَنّٰى يُؤْفَكُوْنَ
Orang-orang Yahudi berkata, “Uzair putra Allah,” dan orang-orang Nasrani berkata, “Al-Masih putra Allah.” Itulah ucapan mereka dengan mulut-mulut mereka. Mereka meniru ucapan orang-orang yang kafir sebelumnya. Allah melaknat mereka; bagaimana mereka sampai berpaling?
Salah satu teolog Kristen ternama, Karl Barth pernah menyitir sebuah masalah yang membahas tentang Jesus Christ as God (Yesus Kristus sebagai Tuhan). Menurut Barth, pembahasan ini cukup kontradiktif di kalangan orang-orang yang kemudian ia petakan menjadi dua kelompok. Pertama, kelompok yang meyakini bahwa Yesus Kristus bukanlah seorang Tuhan (He is not God). Kedua, kelompok yang meyakini bahwa Tuhan adalah paradoks yang absolut (God is absolute paradox). Artinya, sampai kapanpun, Tuhan adalah sebuah entitas yang tidak dapat didefinisikan.
Pandangan kelompok yang kedua ini, juga sekaligus menjadi antitesa kelompok pertama yang menyatakan bahwa Yesus bukanlah Tuhan. Masalahnya, anggapan bahwa Yesus bukanlah Tuhan merupakan sebuah pernyataan. Sedangkan, menurut kelompok kedua, Tuhan adalah entitas yang tidak dapat didefinisikan, diuraikan, dan dijelaskan.
Baca juga: Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab
Konsep Anak Allah dalam Alkitab
Dalam perjalanannya, doktrin trinitas dan lebih spesifik lagi tentang anak Allah mulai berkembang di akhir abad ke-4 Masehi. (Abdullah, Teologi Damai: Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam, 2012). Berbeda dengan Abdullah, dalam Teologi Damai, Wempie J. Lintuuran dalam bukunya yang berjudul Trinitas mengungkapkan beberapa pandangan kesejarahan terkait perkembangan doktrin trinitas (anak Allah) ini.
Pertama, tokoh yang mempopulerkan istilah trinitas pertama kali adalah Ignatius, pada tahun 110 Masehi. Setelah menyuarakan trinitas, Ignatius kemudian menyeru supaya para pengikut Kristus untuk taat kepada Bapa dan Roh (Kudus).
Kedua, tokoh yang mempopulerkan istilah trinitas pertama kali adalah Valentinus pada sekitar tahun 100-160 Masehi. Hal ini dibuktikan dengan adanya buku yang berjudul On the Three Natures yang membahas tentang keesaan Allah secara alegoris (Wempie J. Lintuuran, Trinitas: Keesaan Allah dari Perspektif Alkitab, 2018).
Dalam Alkitab sendiri, istilah anak Allah masih menuai banyak penafsiran. Salah satunya adalah pandangan yang disuguhkan oleh Barth yang menyatakan bahwa Jesus Christ is not God (Yesus bukanlah Tuhan). Pandangan ini sebenarnya sangat multifafsir.
Pertama, bahasa “anak Allah” hendaknya tidak dipahami sebagai bahasa yang pasti dan tidak bisa diinterpretasikan. Sebab, andaikata bahasa itu dipahami dengan satu pintu, niscaya akan lahir pemahaman bahwa Allah itu punya istri yang mengakibatkan lahirlah anak Allah tersebut.
Kedua, Boleh jadi, pernyataan Barth tersebut menghendaki bahwa Yesus (anak Bapa) bukanlah seorang Tuhan, melainkan hanya seorang utusan yang mengalami proses peng-Allah an diri melalui sebuah proses yang disebut sebagai tajalli (manunggaling kawulo Gusti) (Abdullah, Teologi Damai: Rekonstruksi Paradigmatik Relasi Kristen dan Islam, 2012).
Baca juga: Sosok Hajar dalam Narasi Al-Kitab dan Al-Qur’an
Konsep Anak Allah dalam Al-Qur’an
Imam al-Mawardi (w. 450 H) dalam tafsirnya yang bernama al-Nukat wa al-Uyun menafsirkan lafadz Ibn Allah (Anak Allah) kepada dua tafsiran. Pertama, al-Mawardi menyatakan bahwa alasan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah lantaran bunda Maria (baca: Maryam) melahirkan anak tanpa seorang ayah. Secara logika, hal ini tidak mungkin terjadi. Sebab, mana ada anak lahir di dunia tanpa hubungan biologis antara bapak dan ibu.
Kedua, menurut al-Mawardi, alasan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah lantaran Yesus (baca: Isa) bisa membangkitkan orang yang telah mati dan juga bisa menyembuhkan orang yang sakit. Namun, yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa kemampuan yang dimiliki Yesus tersebut tidak bisa terjadi tanpa izin Allah (Abu al-Hasan al-Mawardi, al-Nukat wa al-Uyun, 2010).
Mufassir lain seperti al-Syaukani (w. 1250 H) mempunyai pandangan yang sama dengan al-Mawardi dalam al-Nukat wa al-Uyun nya. Namun, al-Syaukani mengimbuhi dengan pernyataan baru. Menurutnya, keyakinan kaum Nasrani terhadap istilah anak Allah ini dikarenakan dalam kitab Injil, Yesus (baca: Isa) terkadang disifati dengan “anak Allah” dan terkadang pula disifati dengan “anak manusia” (Muhammad ibn Ali al-Syaukani, Fath al-Qadir, 2013).
Menurut al-Syaukani, inilah yang menjadikan kaum Nasrani meyakini bahwa Yesus adalah anak Allah. Namun demikian, penulis beranggapan bahwa istilah anak Allah merupakan istilah yang sarat mengandung makna. Sehingga untuk memahaminya perlu dilakukan kajian kebahasaan. Sebab, dalam ajaran Islam sendiri lumrah dengan bahasa-bahasa kiasan, seperti wali Allah (kekasih Allah), rasul Allah (utusan Allah) dan lain-lain. Wallahu a’lam.
Baca juga: Kisah Nabi Isa, Lahir Tanpa Ayah Hingga Diangkat ke Langit