BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Para ahli tafsir ahkam menyatakan, air hujan yang memiliki sifat asal suci dan menyucikan, tidak selamanya terus-menerus memiliki kedua sifat tersebut. Percampuran air hujan dengan hal lain dapat membuat air hujan tidak lagi dibuat berwudhu, bahkan bisa saja tidak lagi suci alias menjadi air najis. Kesimpulan ini didapat dari analisa terhadap ayat-ayat tentang hukum air hujan dan beberapa hadis yang menunjukkan perubahan hukum air dengan sebab bercampur dengan benda lain. Apa saja faktor yang dapat mengubah status air hujan tersebut dan perubahan seperti apa yang dapat mengubah hukum air hujan? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini,

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Hukum Asal Air Hujan

Allah berfirman mengenai hukum asal air hujan:

وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِّنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً لِّيُطَهِّرَكُمْ بِهٖ

 Dan menurunkan air (hujan) dari langit kepadamu untuk menyucikan kamu dengan (hujan) itu, (QS. Al-Anfal [8] :11)

di ayat lain Allah berfirman:

وَاَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاۤءِ مَاۤءً طَهُوْرًا ۙ

Kami turunkan dari langit air yang sangat suci (QS. Al-Furqan [25] :48).

Lewat redaksi thahuuran di atas, Imam Al-Qurthubi menyatakan bahwa air hujan memiliki sifat asal yang ganda, yakni suci dan menyucikan. Ia juga menyatakan bahwa air yang turun dari langit (air hujan) serta yang muncul dari (air sumber dst.), memiliki sifat suci serta menyucikan meski kadang berbeda-beda warna, rasa dan baunya. Suci memiliki arti tidaklah najis, sedang menyucikan memiliki arti dapat dibuat berwudhu, mandi besar serta bersuci lainnya.

Hanya saja sifat asal ini dapat berubah seiring bercampurnya air tersebut dengan benda lain. Imam Al-Qurthubi membagi proses pencampuran dalam tiga bagian. Pertama, bercampur dengan benda lain yang juga memiliki sifat suci serta menyucikan seperti halnya debu. Pencapuran ini tidak merubah sifat asal air. Kedua, bercampur dengan benda yang hanya suci tanpa memiliki sifat menyucikan seperti kopi. Maka pencampuran ini membuat air kehilangan sifat mensucikannya. Ketiga, bercampur dengan benda yang tidak suci dan menyucikan seperti kotoran binatang. Maka pencampuran ini menghilangkan sifat suci sekaligus menyucikannya air (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/39).

Namun uraian Imam Al-Qurthubi di atas masihlah perlu pelajari kembali. Sebab beliau juga menyatakan bahwa percampuran dengan benda suci yang tidak menyucikan, yang keberadaannya sulit dipisahkan dengan air sebagaimana lumut, maka tidak merubah sifat suci dan menyucikannya air. Beberapa ulama’ juga membedakan antara mukhalit atau percampuran secara menyeluruh sebagaimana air kopi yang tidak memungkinkan untuk memisahkan keduanya, dan mujawir atau percampuran yang tidak menyeluruh seperti air dan lumut yang masih memungkinkan untuk memisahkan keduanya (Al-Majmu’/1/103).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Salah satu proses percampuran yang telah disepakati ulama’ yang dapat menghilangkan sifat mensuyikannya air, adalah percampuran yang dapat menghilangkan kemutlakan nama air. Atau lebih mudahnya membuat air yang sebelumnya dapat disebut air biasa, menjadi memiliki nama lain. Misalnya dicampur dengan susu atau kopi sehingga menjadi bernama air susu dan air kopi. Hukum ini didasarkan ayat tentang kebolehan tayamum yang salah satunya menggantungkan bolehnya tayamum sebab ketiadaan air dengan redaksi secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa air yang tidak mutlak tidak dapat dibuat bersuci dan keberadaannya tidak menghalangi bolehnya bertayamum (Al-Bayan/1/16).

Imam Ar-Razi menambahkan, kalangan mazhab syafi’iyah meyakini bahwa air dapat kehilangan sifat suci dan menyucikannya meski tidak bercampur dengan benda lain. Yakni ketika melalui proses sudah dibuat bersuci terlebih dahulu atau biasa diistilahkan dengan air musta’mal (air yang sudah bekas dibuat bersuci). Keyakinan adanya air musta’mal didasarkan salah satunya pada sebuah hadis sahih yang diriwayatkan dari sahabat Abi Hurairah:

« لاَ يَغْتَسِلُ أَحَدُكُمْ فِى الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُبٌ »

Janganlah salah seorang dari kalian mandi di air yang tidak mengalir, sementara ia sedang junub (HR. Imam Muslim)

Berbagai uraian di atas menunjukkan hukum asal air hujan serta air dari mata air semisal, adalah suci dan menyucikan. Namun ada kalanya dua sifat tersebut hilang salah satunya ataupun keduanya disebabkan telah bercampur dengan benda lain atau telah melalui proses pemakaian untuk bersuci. Hanya saja tidak setiap percampuran dapat menghilangkan dua sifat tersebut dari air. Penjelasan lebih rinci dapat dipelajari dalam kitab-kitab fikih berbagai mazhab. Wallahu a’lam bish showab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....