BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranProblematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Quran

Problematika Tanda Waqaf dalam Mushaf Al-Quran

Apa yang hendak saya tulis di sini berangkat dari pengalaman yang penulis alami ketika mengikuti salah satu majelis ngaji Al-Quran secara daurah di pesantren. Pengalaman yang berkaitan dengan problematika yang muncul dari penerapan tanda waqaf dan tekstualitas mushaf yang masih menjadi pegangan.

Waqaf dalam Al-Quran

Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa dalam tradisi pembacaan Al-Quran tidak ada satu pun waqaf yang mengharuskan berhenti. Hal ini sebagaimana dikonfirmasi oleh Ibn al-Jazariy dalam Matn al-Jazariyyah-nya,

وَلَيْسَ فِي الْقُرآنِ مِنْ وَقْفٍ وَجَبْ * وَلَا حَرَامٌ غَيْرَ مَا لَهُ سَبَبْ

“Tiada satu pun waqaf dalam Al-Quran yang wajib. Dan tiada pula satu pun waqaf yang haram, kecuali jika ada sebab tertentu yang mengharuskannya.”

Baca Juga: Mengenal Empat Waqaf dalam Membaca Al-Quran

Hal ini yang kemudian menjadi alasan bagi beberapa pembaca Al-Quran untuk tidak menaati rambu-rambu waqaf dalam mushaf Al-Quran. Apalagi jika rambu-rambu yang tertera ‘hanya’ sebatas anjuran yang tidak mengikat.

Dalam beberapa cetakan mushaf Al-Quran, pembagian tanda waqaf yang digunakan memang berbeda-beda. Dalam internal mushaf cetakan Indonesia saja, hal ini sangat beragam. Apalagi jika menambahkan mushaf cetakan luar negeri, daftar ragamnya akan semakin panjang. Namun sebagai contoh, mari kita ambil standar yang digunakan Mushaf Al-Quran Standar Indonesia.

Pasca dilakukannya beberapa penyempurnaan pada mushaf cetakan 2002, 12 macam tanda waqaf disederhanakan dan distandarkan menjadi hanya 7 macam: م yang berarti waqf lazim atau harus berhenti, لا yang berarti ‘adam al-waqf atau tidak boleh berhenti, ج yang berarti al-waqf ja’iz atau boleh berhenti, قلى yang berarti al-waqf aula atau lebih baik berhenti, صلى yang berarti al-washl aula atau lebih baik tidak berhenti, سكتة yang berarti berhenti sejenak tanpa mengambil nafas, dan tanda titik tiga yang disusun membentuk segitiga yang ditempatkan secara berdampingan atau disebut dengan mu‘anaqah yang berarti berhenti pada salah satu tanda.

Ke-7 tanda waqaf ini, apabila mengikuti kerangka ulasan Ibn al-Jazariy sebelumnya, pada dasarnya tidak bersifat wajib dan mengikat, bahkan termasuk waqaf lazim (ketiadaan hukum wajib berhenti pada waqaf lazim yang mengesankan adanya kontradiksi ini mungkin akan dibicarakan pada tulisan yang lain, insyaAllah).

Dengan kata lain, tidak ada konsekuensi hukum apa pun yang timbul bagi pembaca manakala ia tidak mematuhi tanda waqaf yang ada. Namun hal ini hanya berlaku pada aspek yang berkaitan dengan waqaf saja. Untuk masalah lain, lain lagi ceritanya. Masalah lain ini lah yang penulis maksudkan sebelumnya dengan problematika tanda waqaf dan tekstualitas mushaf Al-Quran.

Baca Juga: Tujuh Tanda Waqaf dalam Mushaf al-Qur’an yang Jarang Diketahui

Problematika Tanda Waqaf: Madd

Salah satu problem yang penulis jumpai berkenaan dengan penerapan tanda waqaf adalah masalah madd atau bacaan panjang. Masalah ini terjadi utamanya pada madd yang melibatkan pertemuan hamzah. Sedikitnya ada dua madd yang penulis dapati menjadi korban dalam masalah ini: madd ja’iz munfashil dan madd shilah thawilah.

Kasus yang menimpa dua madd ini terjadi apabila tanda waqaf al-waqf aula, yang notabenenya tidak wajib, berada diantara pertemuan madd dan hamzah yang jatuh setelahnya. Untuk lebih mudahnya lihat contoh ayat berikut ini,

وَلَهُمْ آذَانٌ لَا يَسْمَعُونَ بِهَا أُولَئِكَ كَالْأَنْعَامِ (الأعراف: 179)

وَمَا كَانُوا أَوْلِيَاءَهُ إِنْ أَوْلِيَاؤُهُ إِلَّا الْمُتَّقُونَ (الأنفال: 34)

contoh waqaf dalam Al-Quran
contoh waqaf dalam Al-Quran

Pada ayat pertama, Mushaf Al-Quran Standar Indonesia menempatkan tanda waqaf ini di antara kata biha dan ula’ika. Oleh karena rekomendasi dari tanda waqaf tersebut adalah berhenti, penulisan tanda madd tidak mengadopsi model madd ja’iz munfashil, dengan satu garis panjang, dan hanya ditulis madd thabi‘iy.

Akibat dari penulisan semacam ini, pembaca yang membaca washl yang kurang teliti atau bahkan kurang memahami konsep madd dalam ilmu tajwid cenderung berpegang pada tekstual mushaf Al-Quran yang ada. Padahal dalam ilmu tajwid, jika ayat pertama ini dibaca washl, hukum bacaannya kembali seperti semula, sebelum ditempatkannya tanda waqaf.

Hal yang sama juga berlaku pada ayat kedua. Bedanya, kasus dalam ayat ini adalah madd shilah. Mushaf Al-Quran Standar Indonesia menempatkan tanda waqafnya di antara kata auliya’ahu dan in. Penulisan tanda madd shilah thawilah dengan satu garis panjang juga tidak dijumpai di sini, mengingat rekomendasi dari tanda waqaf-nya adalah berhenti. Sehingga tanda madd yang ditulis merupakan shilah qashirah.

Penulisan tanda madd ini akan berbeda jika tanda waqaf yang ada adalah al-washl aula. Karena rekomendasi dari tanda waqaf ini adalah tidak berhenti, maka tanda madd ja’iz munfashil atau madd shilah qashirah tetap dimunculkan.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Seputar Aturan Waqaf dalam Surah Al-Fatihah Ketika Salat

Kesimpulan

Dari pengalaman ini penulis setidaknya sadar akan adanya dua hal. Pertama, ada keterbatasan tertentu yang tidak dapat dihindari dari penulisan sebuah teks. Dalam masalah ini, penerapan tanda waqaf dan tanda madd mau tidak mau harus menempuh langkah demikian setelah melakukan penyesuaian dan pertimbangan tertentu. Kedua, perhatian, ketelitian, serta penguasaan disiplin ilmu Al-Quran menjadi sebuah keniscayaan dalam pembacaan Al-Quran. Karena lagi-lagi, tekstualitas mushaf tidak dapat dijadikan sebagai acuan. Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...