BerandaKhazanah Al-QuranMushaf Al-QuranMenyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (Part 2)

Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia (Part 2)

Pasca publikasi yang penulis lakukan terhadap tulisan berjudul Menyoal Kelaziman Waqaf Lazim dalam Mushaf Al-Qur’an Standar Indonesia, penulis mendapatkan feedback dari seorang kawan yang isinya mempertanyakan standar penetapan waqaf lazim dalam mushaf Al-Qur’an. Menurutnya, ada beberapa waqaf lazim yang dinilai menjanggalkan. Ia juga sempat menanyakan perihal tersebut kepada Pak Muchlis M. Hanafi sendiri sewaktu berkunjung ke Bayt Al-Qur’an.

Namun sesuai isi tulisan yang telah penulis terbitkan tersebut, penulis menjawab bahwa standar penetapan waqaf, merujuk pada mushaf Kementerian Agama tahun 1986, adalah hasil musyawarah ulama Al-Qur’an dan tanda yang juga digunakan dalam mushaf terbitan Makkah dan Mesir. Penulis juga menyampaikan bahwa penulis belum menemukan rujukan literatur yang secara sharih menyebutkan pembagian tanda waqaf sebagaimana dilakukan oleh mushaf, baik Indonesia maupun Makkah atau Mesir.

Terkait kejanggalan yang dinilai ada oleh kawan tadi, di waktu yang sama, penulis menemukan kasus waqaf lazim yang barangkali menarik untuk dibicarakan, yaitu waqaf lazim yang ada dalam surah Ali Imran ayat 7. Menjadi lebih menarik karena ayat ini populer disebut sebagai dalil tentang adanya ayat mutasyabihat dalam Al-Quran, dan adanya waqaf di ayat ini juga ikut andil dalam perbedaan cara baca yang kemudian juga menyebabkan perbedaan pemahamannya.

Dalil adanya ayat mutasyabihat

Dalam kajian ‘ulum al-qur’an, kita telah mengenal pembahasan tentang muhkam dan mutasyabih. Yakni pembahasan yang menitikberatkan aspek pengertian dan pemahaman atas maksud yang dikandung sebuah ayat. Muhkam berarti telah diketahui arti dan maksudnya, sedangkan mutasyabih tidak demikian dan hanya Allah yang mengetahuinya.

Pembahasan mengenai muhkam dan mutasyabih ini lazimnya diikuti dengan landasan dalil yang melegitimasi kemungkinan dan keabsahan mengetahui arti dan maksud dari ayat-ayat mutasyabihat. Landasan dalil yang dimaksud adalah Surah Ali Imran [3] ayat 7. Berikut tulisan ayat tersebut kami kutip dari laman quran kemenag,

هُوَ الَّذِيْٓ اَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتٰبَ مِنْهُ اٰيٰتٌ مُّحْكَمٰتٌ هُنَّ اُمُّ الْكِتٰبِ وَاُخَرُ مُتَشٰبِهٰتٌ ۗ فَاَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِغَاۤءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغَاۤءَ تَأْوِيْلِهٖۚ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهٗٓ اِلَّا اللّٰهُ ۘوَالرَّاسِخُوْنَ فِى الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ اٰمَنَّا بِهٖۙ كُلٌّ مِّنْ عِنْدِ رَبِّنَا ۚ وَمَا يَذَّكَّرُ اِلَّآ اُولُوا الْاَلْبَابِ – ٧

“Dialah yang menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepadamu (Muhammad). Di antaranya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab (Al-Qur’an) dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, mereka mengikuti yang mutasyabihat untuk mencari-cari fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya kecuali Allah. Dan orang-orang yang ilmunya mendalam berkata, “Kami beriman kepadanya (Al-Qur’an), semuanya dari sisi Tuhan kami.” Tidak ada yang dapat mengambil pelajaran kecuali orang yang berakal.”

Dalam ayat ini, para ulama mengalami perbedaan cara membaca, utamanya pada hubungan (‘athaf) pada kata wa al-rasikhun dengan kalimat sebelumnya, yakni illa Allah. Perbedaan cara baca ini lah yang kemudian menentukan kemungkinan pengertian dan pemahaman ayat mutasyabihat. Keterangan perbedaan ini salah satunya dapat kita temui di kitab Al-Qawa’id Al-Asasiyah fi Ulum Al-Quran karya Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.

Mereka yang menghubungkan kata wa al-rasikhun dengan kalimat sebelumnya berarti menganggap bahwa ayat mutasyabihat tidak hanya diketahui oleh Allah saja, tetapi juga mungkin diketahui arti dan maksudnya oleh orang-orang yang rasikh. Namun bagi mereka yang tidak mengaitkan keduanya, dan menganggap bahwa kata wa al-rasikhun merupakan awal kalimat tersendiri berarti hanya mengakui ilmu Allah atas ayat mutasyabihat.

Waqaf Lazim dalam dalil ayat mutasyabihat

Menariknya, dalam beberapa mushaf yang penulis jumpai terkait tanda waqaf dalam ayat ini, penulis menemukan adanya tanda waqaf lazim (disimbolkan dengan huruf mim) tepat sebelum kata wa al-rasikhun. Hal ini jika mengacu ketetapan aturan waqaf lazim, maka harus dibaca berhenti pada kata illa Allah, dan tidak boleh dibaca washal. Apakah demikian?

Apabila merujuk ulasan yang telah penulis berikan sebelumnya, waqaf lazim dalam potongan ayat tersebut jelas tidak tepat. Hal ini dikarenakan para ulama sendiri masih mengalami selisih pendapat terkait pemberhentian ayat sesuai dengan pemahaman ayat yang diinginkan.

Jika waqaf lazim ini keukeuh diterapkan, implikasi yang timbul justru akan ‘berbahaya’. Dimana paham kajian muhkam dan mutasyabih akan dikerucutkan pada satu narasi saja, yakni mutasyabihat hanya dapat diketahui oleh Allah. Sementara narasi yang lain, yang mengakui adanya kemungkinan pengertian dan pemahaman maksud mutasyabihat, menjadi tidak diakui dari sisi bacaan (qira’ah). Tinggal menunggu waktu saja bagi narasi ini untuk ‘menghilang’ dari sub pembahasan muhkam dan mutasyabih.

Namun demikian, yang lebih menarik lagi menurut penulis adalah beberapa mushaf yang penulis jumpai ini berbeda dengan mushaf yang direlease oleh Kementerian Agama sendiri. Mushaf dalam aplikasi Qur’an Kemenag misalnya, justru tidak membubuhkan satu tanda waqaf pun antara frasa illa Allah dan wa al-rasikhun. Pun begitu dengan mushaf Madinah Mujamma‘ Malik Fahd, yang dalam masalah tanda waqaf menjadi rujukan MASI, meski membubuhkan tanda waqaf tetapi hanya al-waqf aula dan tidak sampai waqaf lazim.

Hal ini berarti ada perbedaan antara master mushaf dari Kemenag yang dianut dengan mushaf cetakan turunannya. Mengingat dalam beberapa mushaf ini, penulis mendapati tanda tashih yang diberikan oleh Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an (LPMQ) Kemenag. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah tashih yang diberikan LPMQ tidak menjangkau aspek tanda waqaf? Ataukah memang master mushaf yang diberikan berbeda dari yang diterbitkan sendiri oleh Kemenag?

Tetapi penting dicatat sebelumnya bahwa dalam tulisan ini penulis hanya merujuk pada aplikasi Qur’an Kemenag dan mushaf Madinah sebagai pembanding. Penulis tidak berkesempatan merujuk secara langsung mushaf cetak Kemenag tahun 1986 atau 2012 yang mungkin berbeda dari versi aplikasinya. Namun setidaknya, perbandingan ini dapat memberikan sedikit gambaran terkait persoalan kelaziman waqaf lazim dan implikasinya terhadap produk cetak mushaf Al-Qur’an dan disiplin ilmu Al-Qur’an (‘ulum al-qur’an). Wallahu a‘lam bi al-shawab.

Nor Lutfi Fais
Nor Lutfi Fais
Santri TBS yang juga alumnus Pondok MUS Sarang dan UIN Walisongo Semarang. Tertarik pada kajian rasm dan manuskrip kuno.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...